Suturing
A.
Indikasi
Suturing
Fungsi utama
dari suturing adalah untuk membantu stabilisasi flap pada fase penyembuhan pada
jaringan lunak. Suturing juga berfungsi untuk memegang jaringan lunak yang
rusak tetap pada posisinya sampai luka dirasa sembuh. Indikasi dari suturing
sendiri adalah (Schwartz, 1994):
1. Mengikat
pembuluh darah
2. Luka
laserasi
3. Stabilisasi
drain
4. Menempatkan
material hemostatik
5. Imobilisasi
flap pedikel
B.
Kontraindikasi
Suturing
Kontraindikasi penjahitan luka atau
penutupan luka segera adalah pada jenis luka sebagai berikut (Kudur, dkk., 2009):
1. Luka
yang memungkinkan terjadinya infeksi, seperti:
a. Luka
akibat gigitan manusia
b. Luka
akibat gigitan hewan
2. Luka
avulsi dimana ada jaringan yang hilang, penjahitan dapat ditunda untuk
mengawasi kemungkinan terjadinya jaringan nekrotik, dan adanya debris
3. Luka
infeksi
C.
Klasifikasi
Benang Jahit
Peningkatan besar dalam suturing
telah dimulai pada tahun 1865 saat disinfektan dan sterilisasi mulai digunakan
dalam operasi. Benang jahit sendiri dibagi menjadi 2 kategori dasar yang
tersedia sekarang, yaitu (Fragiskos, 2007):
1. Resorbable
Sutures
Benang jahit ini adalah benang
jahit yang di resorbsi dalam waktu tertentu, yang biasanya bersamaan dengan
waktu penyembuhan luka. Benang jahit ini terbuat dari gut atau jaringan vital
(catgt, kolagen, fascia, dll.) dan ada juga yang plain atau chromic atau dari
material sintesis seperti polyglycolic acid (Dexon). Pain catgut ter absorbs
kurang lebih 8 hari, benang jahit chromic dalam 12-15 hari, dan benang jahit
sintesis (Dexon) kurang lebih 20 hari.
2. Non-Resorbable
suture
Benang jarum ini adalah benang
jarum yang benangnya akan tetap pada jaringan dan tidak akan teresorbsi, rapi
harus di potong dan di ambil dalam 7 hari setelah penempatan. Benang ini
terbuat dari macam-macam material alam, kebanyakan adalah surgical silk
(monofilamentous aatau miltifilamentous) dan surgical cotton suture.
Ukuran benang jahit yang biasa digunakan untuk
resorbable suture adalah 4-0 dan 3-0, dan untuk non-resorbable adalah 3-0 dan
2-0. Semua material benang jahit dalam bentuk steril dan dikirimkan dalam
tempat yang steril juga.
D.
Macam
Macam Bentuk dan Kegunaan Jarum Jahit
Jarum jahit bisa
dibedakan menurut ujung jarumnya, yaitu (Fragiskos, 2007; Siervo, ,2008):
1. Needle
with Round or Oval Cross-Sectional View
Jarum ini
biasanya digunakan untuk menjahit mukosa tipis dan dipertimabngkan atraumatic.
Kekurangan dari jarum ini adalah jarum ini membutuhkan tekanan yang kuat untuk
melewati jaringan yang bisa mengakibatkan penjahitan luka menjadi lebih sulit.
2. Triangular
Needles
Jarum ini
mempunyai ujung cut yang tajam dan lebih digunakan untuk menjahit jaringan
lunak yang lebih tebal. Jika digunakan untuk mukosa yang tipis harus dilakukan
dengan sangat hati-hati karena dapat merobek jaringan.
Jarum jahit juga bisa
dibedakan bedasarkan bentuknya dalam tabel berikut ini(Siervo, 2008):
Tabel 1. Jarum
Jahit Berdasarkan Bentuknya
Bentuk Jarum
|
Penggunaan
Klinis
|
Lurus
|
·
Pilihan jarum untuk kulit
·
Jarang digunakan untuk oral surgery
·
Bisa digunakan untuk operasi hidung, faring,
tendon, dan saluran cerna
|
1/4
lingkaran
|
·
Pilihan jarum untuk asosiasi microsurgery dengan
benang tipis
·
Opthalmology
|
3/8
lingkaran
|
·
Oral surgery
·
Bisa digunakan untuk hampir semua operasi luka
|
1/2
lingkatan
|
·
Pilihan untuk oral surgery
·
Pemakaian jangkauan luas pada banyak operasi luka
|
5/8
lingkaran
|
·
Pilihan jarum untuk luka di saluran urogenital
|
variable
radius
|
·
Oral surgery
·
Ophthalmology, laparoscopy
|
E.
Step
by Step Teknik Penjahitan
1.
Persiapkan alat dan bahan (benang jahit,
jarum jahit, needle holder, pinset
cirurgis, gunting jaringan)
2.
Jepit 1/3 bagian ujung jarum (dekat
lubang) menggunakan needle holder seperti
pada gambar di bawah ini
3.
Melilitkan benang pada needle holder 2 kali lilitan kemudian
masukkan ke dalam lubang jarum yang kedua seperti pada gambar
4.
Masukkan jarum ke tepi
luka dengan jarak 2-3 mm, lalu dekatkan tepi luka yang satunya menggunakan
pinset cirurgis dan masukkan jarum ke tepi luka tersebut dengan jarak 2-3 mm
sehingga menyisakan 2 sisi benang jahit dengan sisi yang satunya lebih pendek.
5.
Lalu lepaskan jarum
dari benang jahit, lalu buat simpul dengan teknik 2 1 1 yaitu dengan cara
letakkan needle holder di atas benang
jahit lalu lilitkan benang jahit ke neddle
holder sebanyak 2 kali putaran. Lalu ambil benang jahit di sisi yang lebih
pendek menggunakan needle holder lalu
tarik benang jahit yang lebih pendek agar melewati lubang benang jahit yang
sudah dililitkan.
6.
Kemudian kencangkan.
Lalu lakukan hal yang sama dengan lilitan benang jahit 1 kali saja. Lakukan hal
ini sebanyak 2 kali. Lalu kencangkan
7.
Selanjutnya, potong sisa benang jahit
kira-kira 0,5 cm atau 5 mm.
F.
Syarat-Syarat
Penjahitan
1. Kenyamanan
bahan untuk digunakan atau untuk dipegang
2. Keamanan
yang cukup pada setiap alat
3. Kondisi
penjahitan selalu steril
4. Bahan
yang cukup elastik dan tidak terbuat dari bahan yang reaktif
5. Bahan
memiliki kekuatan yang cukup untuk penyembuhan luka
6. Kemampuan
bahan untuk biodegradasi kimia untuk mencegah perusakan dari benda asing
7. Operator
memegang jarum pada 2/3 ujung jarum
8. Saat
menembus jaringan jarum harus dalam posisi tegak lurus dengan jaringan
9. Jarum
melewati jaringan sesuai dengan lengkungnya
10. Jarak
penjahitan dari tepi luka 2-3 mm dan harus teratur
11. Jarak
antara satu jahitan dan jahitan lainnya adalah 3-5 mm dan harus teratur
12. Arah
jahitan jarus dari sisi bebas ke sisi yang tetap
13. Arah
jahitan jarus dari sisi yang tipis ke sisi yang tebal
14. Ikatan
tidak boleh terlalu erat hingga membuat mukosa menjadi putih
15. Simpul
tidak boleh berada diatas garis insisi (Modi, dkk., 2009)
G.
Macam-Macam
Teknik Suturing
1. Simple
Interrupted suture (Fragiskos, 2007)
a.
Gambaran umum
Simple
interrupted suture adalah teknik dimana
operator menjahit tepi luka dengan satu jahitan, disimpulkan kemudian dipotong.
Teknik ini bisa dilakukan sebagai berikut:
1)
Jarum ditusukkan pada kulit sisi pertama
dengan sudut sekitar 900, masuk subcutan lalu ke kulit sisi lainnya.
2)
Perlu diingat lebar dan kedalaman
jaringan kulit dan subcutan diusahakan agat tepi luka yang dijahit dapat
mendekat dengan posisi membuka ke arah luar (everted).
3)
Dibuat simpul benang dengan memegang
jarum dan benang diikat.
4)
Penjahitan dilakukan dari ujung luka ke
ujung luka yang lain
b.
Indikasi: Indikasi tipe jahitan ini
adalah pada semua luka
c.
Kontra indikasi: tidak ada
d.
Kelebihan
1)
Mudah
2)
Kekuatan jahitan besar
3)
Kecil kemungkinana menjerat sistem
sirkulasi sehingga mengurangi edema
4)
Mudah untuk mengatur tepi-tepi luka
5)
Bila benang putus hanya satu tempat yang
terbuka
6)
Apabila terjadi infeksi luka, cukup
dibuka jahitan di tempat yang terinfeksi
e.
Kerugian
1)
Pengerjaannya yang lama
2)
Bekas jahitan lebih terlihat
2. Simple
Continous Suture (Miloro, 2004)
a. Gambaran
umum
Simple Continous Suture adalah
serial jahitan yang dibuat dengan menggunakan benang tanpa terputus antara
jahitan sebelum dan sesudahnya. Untaian benang dapat diikat pada setiap ujung
jahitan. Teknik jahitannya dilakukan sebagai berikut:
1)
Diawali dengan menempatkan simpul 1 cm
di atas puncak luka yang terikat tetapi tidak dipotong
2)
Serangkaian jahitan sederhana
ditempatkan berturut-turut tanpa mengikat atau memotong bahan jahitan setelah
melalui satu simpul
3)
Spasi jahitan dan ketegangan harus
merata, sepanjang garis jahitan
4)
Setelah selesai pada ujung luka, maka
dilakukan pengikatan pada simpul terakhir pada akhir garis jahitan
5)
Simpul diikat di antara ujung ekor dari
benang yang keluar dari luka/ penempatan jahitan terakhir.
b. Indikasi:
luka pada daerah yang memerlukan kosmetik
c. Kontra
indikasi: pada jaringan lulka dengan tegangan besar
d. Keuntungan:
pengerjaan dalam waktu singkat dan hanya memerlukan sedikit simpul
e. Kerugian
1)
Jahitan menjadi mudah longgar jika satu
jahitan saja tidak kuat
2)
Sulit mengoreksi apabila terjadi infeksi
3)
Apabila terdapat infeksi (misalnya pus
pada area tertentu), pengangkatan harus sekaligus
3.
Mattress Suture (Fragiskos, 2007)
a. Gambaran
umum
Mattress suture merupakan teknik
penjahitan yang hampir sama dengan teknik simple interupted suture,
perbedaannya adalah adanya penambahan penetrasi jarum jahit pada tepi luka.
Teknik ini dibagi menjadi 2 yaitu, hotizontal dan vertical.
b. Indikasi:
kasus yang membutuhkan aproksimasi margin luar diperlukan. Untuk vertikal
suture biasanya digunakan untuk insisi dalam, sementara horizontal suture
digunakan untuk kasus yang memerlukan pembatasan dan penutupan jaringan lunak
di rongga tulang
c. Kontraindikasi:
tidak ada
d. Kelebihan:
berguna dalam memaksimalkan eversi luka, mengurangi ruang mati, dan mengurangi
ketegangan luka
e. Kekurangan:
penggarisan silang karena peningkatan ketegangan di seluruh luka dan masuknya 4
dan exit point dari jahitan di kulit.
4.
Subcuticuler continuous suture
(Fragiskos, 2007)
a. Gambaran
Umum
Teknik ini adalah teknik dimana
benang ditempatkan bersembunyi dibawah jaringan dermis sehingga yang terlihat
hanya bagian kedua ujung benang yang terletak di dekat kedua ujung luka. Hasil
akhirpada teknik ini hanya berupa garis. Teknik yang dilakukan adalah sebagai
berikut:
1) Tusukkan
jarum pada kulit sekitar 1-2 cm dari ujung luka keluar di daerah dermis kulit
salah satu dari tepi luka
2) Benang
kemudian dilewatkan pada jaringan dermis kulit sisi yang lain, secara
bergantian terus menerus sampai pada ujung luka yang lain, untuk kemudian
dikeluarkan pada kulit 1-2 cm dari ujung luka yang lain
3) Dengan
demikian maka benang berjalan menyusuri kulit pada kedua sisi secara parallel
di sepanjang luka tersebut.
b. Indikasi:
luka pada daerah yang memerlukan kosmetik
c. Kontraindikasi:
jaringan luka dengan tegangan besar
d. Kelebihan:
hasil akhir hanya berupa garis
e. Kekurangan:
tidak ada
Daftar
Pustaka
Fragiskos, F. D., 2007, Oral Surgery, Spinger, Berlin.
Kudur, M., Pai, S., Sripathi, H., dan Prabhu, S.,
2009. Sutures and suturing techniques in skin closure, Indian
Journal of Dermatology, Venereology, and Leprology, 75(4): 425-434.
Miloro, M., 2004, Peterson’s Principles Of Oral and Maxillofacial Surgery, BC Decker
Inc, Hamilton.
Modi,
M, 2009, Critical Evaluation of Suture Materials and Suturing Techniques In
Implant Dentistry. IJCID, 34-38.
Schwartz,
S., 1994, Principles of Surgery Volume 2
10thed.Mc-Graw Hill Publishing Company, New York
Siervo, S., 2008, Suturing Techniques in Oral Surgery, Quintessenza Edizioni, Ciro
Menotti.
No comments:
Post a Comment