Analgesik
dan Anti-Inflamasi
I.
Mekanisme Nyeri
Nyeri
merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam
bentuk kerusakan tersebut (Bahrudin, 2017). Nyeri merupakan suatu mekanisme
bagi tubuh dan individu untuk melindungi diri dan bereaksi untuk menghilangkan
rasa sakit tersebut (Febrina, dkk., 2016). Nyeri tidak muncul dengan sederhana,
mekanisme timbulnya nyeri datang karena proses multipel yaitu mosisepsi,
sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas
ektopik, rerorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus
cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat 4 proses tersendiri,
yaitu (Bahrudin, 2017):
A.
Transduksi
Transduksi merupakan proses dimana akhiran saraf aferen menerjemahkan
stimulus (misalnya pembedahan) ke dalam impuls nosiseptif. Ada 3 tipe serabut
saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu A-beta, A-delta, dan C, dimana
serabut yang merespon secara maksimal terhadap stimulasi non noksius yaitu
A-delta dan C. Ada reseptor lain selain reseptor diatas yang dinamakan serabut
sataf aferen silent nociceptor yang
juga terlibat dalam proses transduksi, yang
tidak berespon terhadap stimulasi eksternal tanpa adanya mediator
inflamasi.
B.
Transmisi
Transmisi adalah proses dimana impuls disalurkan menuju kornu dorsalis
medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak. Neuron aferen
primer merpakan penerima aktif dari sinyal elektrik dan kimiawi. Aksonnya
berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dan selanjutnya berhubungan dengan
banyak neuron spinal.
C.
Modulasi
Modulasi adalah proses amplifiaksi sinyal neural terkait nyeri (pain related neural signals). Pada kornu
dorsalis medula spinalis proses ini terutama terjadi, namun mungkin juga
terjadi di level yang lain. Serangkaian reseptor opioid ditemukan di kornu
dorsalis seperti mu, kappa, dan delta. Sistem nosiseptof juga mempunyai
jalur desending dari korteks frontalis, hipotalamus, dan area otak lainnya ke
otak tengah (midbrain) dan medula oblongata, lalu menuju ke medula spinalis.
Hasil dari proses inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau bahkan
penghambatan (blok) sinyal nosiseptif di kornu dorsalis.
D.
Presepsi
Presepsi dalam hal ini bisa kita sebut presepsi nyeri. Presepsi nyeri
adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Presepsi ini merupakan hasil dari
interaksi 3 proses sebelumnya, aspek psikologis dan aspek karakteristik
individu lainnya. Organ tubuh ujung syaraf
bebas nerfungsi sebahai reseptor nyeri yang dalam kulit merespon
stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nociseptor. Secara anatomis nociseptorada yang bermuyelin ada juga
yang tidak bermiyelin dari syaraf aferen.
Gambar 1.1 Proses Perjalanan Nyeri
Nyeri bisa diatasi dengan menggunakan
berbagai macam obat analgesik. Mekanisme analgesik di dalam tubuh yaitu dengan
cara menghalangi pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri, saraf sensoris, dan
sistem syaraf pusat (Flood, dkk., 2016).
II.
Analgesik
Analgesik adalah obat yang digunakan untuk mengurangi
atau menghilangkan rasa sakit atau obat-obat penghilang nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran. Pada kehidupan sehari-hari kita sadar tidak sadar kita
sering menggunakannua seperti untuk meredakan sakit kepala atau sakit giigi,
dimana salah satu komponen obat yang kita minum biasanya mengandung analgesik
atau pereda nyeri (Mita dan Husni, 2017).
Dikenal sebagai pereda rasa nyeri WHO mempunyai
strategi farmakologi yang dinamakan “WHO
Three Step Analgesic Ladder”, yaitu (Wardani, 2014):
A.
Tahap pertama dengan menggunakan obat analgetik
non-opioid seperti NSAID atau COX2 spesific
inhibitors.
B.
Tahap kedua, dilakukan apabila pasien masih
mengeluh nyeri. Maka pasien akan diberikan obat-obat non-opioid seperti tahapan
pertama namun ditambahkan obat opioid namun secara intermiten,
C.
Tahap ketiga, memberikan obat seperti pada tahap
keda namun ditambah opioid yang lebih kuat.
Seperti yang
sudah disebutkan di atas obat analgesik dibagi menjadi 2 yaitu (Mita dan Husni,
2017):
A.
Analgesik non-opioid
Obat analgesik non-opioid dalam ilmu farmakologi
sring disebut dengan analfgetik/analgetika/analgesik periger. Analgetik terdiri
dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Obat ini
cendering dapat menghilangkan rasa sakit atau meringankan rasa sakit tanpa
berpengarruh pada sistem susunan saraf pusat dan bahkan tidak menurunkan
tingkat kesadaran. Obat ini juga tidak menyebabkan adanya efek adiksi pada
penggunanya (Fro, 2018). Berikut merupakan contoh obat analgetik:
1.
Parasetamol
Parasetamol merupakan obat analgesik dengan cara kerja menghambat
sintesis prostaglandin terutama di sistem saraf pusat. Parasetamol tidak
empunyai daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan
lambung. Parasetamol mempunyai efek samping ringan dan aman untuk anak-anak
(kecuali dengan pertimbangan khusus dari dokter) (Indra, 2013).
a.
Farmakokinetik
Parasetamol cepat di absorbsi dari saluran pencernaan dengan kadar serum
puncak di capai dalam 30-60 menit. Waktu paruh dari paracetamol ini kira-kira 2
jam. Metabolisme di hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah
melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam sulfurik
kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian
dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi
menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril
dari glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan
dengan sulfhidril dari protein hati (Fro, 2018).
b.
Farmakodinamik
Efek dari analgetik parasetamol adalah menghilangkan atau mengurangi
nyeri ringan sampai sedang, karena hanya mempunyai efek ringan pada
siklooksigenase perifer. Praseamol menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang
diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Parasetamol menghambat
siklooksigenase sehinga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin
terganggu. Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari aspirin
sehingga obat ini menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat
peraturan panas. Obat ini menekan efek pirogen endogen denga menghambat sintesa
prostaglandin, tetapi demam yang diakibatkan pemberian prostaglandin tidak
dipengaruhi, demikian upa pengingkatan suhu sebab lain, seperti latihan fisik
(Fro, 2018).
c.
Indikasi
Indikasinya adalah untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang seperti
sakit kepala, sakit gigi, dan menurunkan demam (Fro, 2018).
d.
Kontraindikasi
Kontraindikasinya adalah pada pasien dengan allergi obat NSAID, memderita
hepatitis, gangguan hati atau ginjal, dan alkoholisme. Parasetamol juga tidak
boleh diberikan secara berulang kali kepada penderita anemia dan gangguan
jantung, paru, dan ginjal (Fro, 2018).
B.
Analgesik Opioid
Analgesik opioid adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf
pusa secara selektif. Obat ini digunakan untuk mengurangi rasa sakit, yang
moderat ataupun berat, seperti rasa sakit yang disebabkan oleh penyakit kanker,
serangan jantung akut, sesudah operasi atau penyakit ginjal. Analgesik jenis
ini sering juga digunakan untuk pramediaksi anastesi, bersama dengan atropin
untuk mengontrol sekresi (Nurmayanti, 2013).
Aktivitas analgesik ini jauh lebih besar dibandignkan dengan analgesik
non-opioid dimana apabila disalah gunakan pada umumnya akan menimbulkan efek
euforia pada pengguna. Pemberian obat ini secara terus menerus dapat
menimbulkan ketergantungan fisik dan mental atau kecanduan yang terjadi secara
cepat. Kelebihan dosis bisa menyebabkan kematian akibat terjadinya depresi
pernafasan (Nurmayanti, 2013). Berikut merupakan beberapa contoh obat analgesi
opioid:
1.
Morfin
Morfin merupakan jenis obat yang digunakan untuk mengatasi rasa sakit
yang terbilang parah dan berkepanjangan atau kronis. Morfin bekerja pada syaraf
dan otak sehingga tubuh tidak merasakan rasa sakit.
a.
Farmakokinetik
Resorbsi di usus baik, namun bioavaiilbilitnya hanya sekitar 25% karena
first pass effect yang besar. Morfin bekerja setelah 1-2 jam dan bertahan
hingga 7 jam. Morfin dimetabolisme dalam hati dan eksresi melalui kemih, empedu
dengan siklus enterohepatis dan tinja (Tjay dan Rahardja, 2010).
b.
Farmakodinamik
Obat in ibekerja dengan cara berikatan dengan reseptor opioid pada sistem
syaraf pusat, menghambat jalur nyeri, mengubah persepsi dan respon terhadap
rasa sakit dan menghasilkan depresi umum sistem syaraf pusat (Tjay dan
Rahardja, 2010)
c.
Indikasi
Khusus pada nyeri hebat, akut dan kronis. Seperti fase terminal dari
kanker. (Tjay dan Rahardja, 2010)
d.
Kontraindikasi
Pada pasien dengan alergi, pada pasien dengan ileus paralitik, diare
dimediasi toksik, depresi pernafasan, asma ronkial akut atau berat dan
lain-lain (Tjay dan Rahardja, 2010).
2.
Kodein
Kodein merupakan alkaloida alamiah yang terdapat dalam opium mentah.
kodein mempunyai efek analgesik lemah, sekitar 1.12 dari kekuatan analgesik
morfin. kodein adalah antitusif (antibatuk) (Joewana, 2003).
a.
Farmakokinetik
Absorbsi dalam salluran cerna cukup baik, resorbsi rektal baik.
Metabolisme ada di hati. Eksresi lewat kemih sebagai glukoronida dan 10% secara
utuh. Kodein mulai bekerja pada waktu 15 menit dan efek dapat bertahan selama
6-16 jam (Nurmayanti,2013).
b.
Farmakodinamik
Kodeine, seperti halnya agonis reseptor opioid lain yang lazim digunakan
secara klinis, bekerja melalui aktivasi reseptor µ (Mu Opioid Receptor, MOR). MOR terdapat pada SSP,
jaringan saraf selain SSP, dan jaringan nonsaraf. Meskipun ada indikasi
mekanisme kerja codeine terhadap MOR yang berperan dalam efek analgesik kodein,
hal tersebut bukanlah satu-satunya efek kodein terhadap tubuh manusia.
Keberadaan MOR yang luas di berbagai jaringan membuat penggunaan codeine sangat
rentan terhadap efek samping yang berhubungan dengan senyawa opiat. Efek
samping terkait penggunaan codeine yang diperantarai MOR antara lain depresi
napas akibat penurunan sensitivitas kemoreseptor karbon dioksida di medula,
mual dan muntah akibat rangsangan pusat muntah di medula, serta
penurunan transit makanan di saluran cerna. Berbagai efek codeine terhadap
banyak sistem organ inilah yang harus menjadi faktor pertimbangan dokter dalam
meninjau manfaat dan risiko penggunaan codeine sebagai pereda nyeri (McDonald
dan Lambert, 2016).
c.
Indikasi
Memiliki khasiat sama seperti morfin namun lebih lemeh 6-7 kalinya.
(Tjay dan Rahardja 2010).
d.
Kontraindikasi
Pada anak anak usia dibawah 12 tahun dan usia 12-18 tahun pasca operasi
tonsil dan adenoid. Pada pasien geriatri pria. Penggunaan juga perlu diwaspadai
pada pasien dengan masalah peningkatan tekanan intrakranial, penurunan
kesadaran, dan tekanan darah rendah (Yaigella, dkk., 2011).
III.
Mekanisme Peradangan
Peradangan adalah reaksi lokal jaringan pembuluh
darah terhadap cedera dan sering disertai nekrosis. Penyebab umum terjadinya
peradangan adalah infeksi bakteri dan virus maupun tumor, infark miokard akut,
dan proses-proses rematik. Sekalipun etiologi pasti tidak diketahui, memastikan
atau menyingkirkan adanya suatu proses peradangan dengan
pemeriksaan-pemeriksaan laboratorium pada seorang pasien yang menunjukkan
gejala-gejala dan tanda-tanda yang samar-samar seperti dapat membantu
memastikan apakah harus dilakukan pemeriksaan lanjutan atau menfghubungkan
gejala tersebut dengan sebab-sebab psikologis. Pada pasien dengan peradangan
yang jelas, respons terhadap terapi mungkin harus dipantau. Oleh karena itu,
sebuah strategi yang baik untuk manajemen peradangan juga penting (Speicher dan
Smith, 1996).
IV.
Anti Inflamasi
Obat anti-inflamasi adalah obat yang memberikan efek
analgesik dan antipiretik. Obat anti inflamasi ini dibagi menjadi 2 yaitu anti
inflamasi kortikosteroid dan anti inflamasi nonsteroid atau NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs) (Yaigela,
dkk., 2011). Obat-obat ini mempunyai fungsi dan cara kerjanya sendiri, yaitu
sebagai berikut:
A.
Anti Inflamasi Steroid
Obat anti-inflamasi steroid mempunyai farmakodinamik
menghambat fosfolipase, suatu enzim yang berperan menghambat asam arakhidonat
dari memberan lipid. Contoh obat golongan ini adalah hodrokortison, prednison,
betametason, dan deksametason. Indikasi obat obat ini adalah pada pasien
kondisi asma, rheumatoid arthritis, bronkitis dan lain-lain. Kontraindikasinya
adalah pada ibu hamil, menyusui, pada penderita tikak lambung atau ulkus usus
dua belas jari (duodenum) (Yaigela, dkk., 2011).
B.
Anti Inflamasi Non-Steroid
NSAID adalah kelompok obat yang digunakan untuk
meredakan nyeri, serta peradangan yang ditandai dengan kulit kemerahan, terasa
hangat, dan bengkak. Selain itu, obat in ijuga dapat digunakan untuk menurunkan
demam. NSAID sering dikonsumsi untuk mengatasi sakit kepala, nyeri menstruasi,
flu, radang sendi, cedera sendi, atau kesleo. Contoh dari NSAID adalah natrium
diklofenak, ibuprofen, asam mefenamat, dan beberapa obat selective cox-2
inhibitor. Farmakodinemik NSAID adalah menghambat siklooksigenase (COX 1 dan 2)
untuk menghentkan stimualsi hormon prostaglandin, karena hormon tersebut memicu
peradangan dan menguatkan impuls listrik yang terkirim dari saraf ke otak
sehingga meningkatkan rasa nyeri (Crofford, 2013).
Obat ini di absorbsi secara cepat dan sempurna melalui saluran cerna.
Obat ini mencapai konsentrasi tertinggi dalam plasma dalam 30 menit. Indikasi
penggunaan obat ini adalah pada pasien reumatoid artitis, pengobatan migren,
mialgia, dissmenorrjea, flu, nyeri post operasi dan lain-lain.
Kontraindikasinya adalah pada pasien dengan tukak lambung, enteritis, gangguan
ginjal, asma, hipersensitif dan lain-lain (Yaigela, dkk., 2011).
Daftar Pustaka
Bahrudin, M., 2017, Patofisiologi nyeri, Jurnal Patofisiologi Nyeri, 13 (1):
7-13.
Crofford, LJ, 2013, Use of NSAIDS in Treating Patients with
Arthritis. Arthritis Research & Therapy.
Febrina,
E., Nasrullah, D., Subarnas, A., dkk., 2016, Aktivitas analgesik ekstrak, fraksi n-heksan, etil asetat, dan air buah
pandan laut (pandanus tectorius) pada mencit dengan metode geliat, Jurnal Farmaka, 14(2): 1-10
Flood P, Rathmell JP, dan Shafer S., 2016, Stoelting’s Pharmacology & Physiology in
Anesthetic Practice 5th Edition. Wolter Kluwer Health
Fro, G., 2018, Paracetamol:
Perfect Treatment for Fever, Pains, Migraine Attack, Menstrual Cramp and Joint
Pains, CreateSpace Independent Publishing Platform, California.
Indra, I., 2013, Farmakologi tramadol, Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 13(1): 50-54.
Joewana, 2003, Gangguan
Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif: Penyalahgunaan
Napza/Narkoba, Penerbit Buku Kedoteran EGC, Jakarta.
McDonald J., dan Lambert DG, 2016, Opioid mechanisms and
opioid drugs. Anaesth Intensive Care Med,
17(9):464–468.
Mita,
S. R., dan Husni, P., 2017, Pemberian pemahaman mengenai penggunaan obat
analgesik secara rasional pada masyarakat arjasari kabupaten bandung, Jurnal Aplikasi Ipteks untuk Masyarakat,
6(3): 193-195.
Speicher, C. E., dan Smith, J. W., 1996, Pemilihan Uji Laboratorium yang Efektif,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Tjay dan Rahardja, 2010, Obat-Obat
Penting Edisi Keenam Khasiat, Penggunaan, dan Efek Sampingnya, PT. Alex
Media Komputindo, Jakarta.
Wardani, N. P., 2014, Manajemen Nyeri Akut, Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, Bali.
Weaver JM, 2013, New FDA Black Box Warning for Codeine: How
Will This Affect Dentists? Anesth Prog, 60(2):35–36.
Yaigela, J. A., Dowd. F. J., Johnson, B. S., dkk., 2011,
Pharmacology and Therapeutics for Dentistry, Mosby Elsevier, Missouri.
No comments:
Post a Comment