Antibiotik
I.
Pengertian Antibiotik
Antibiotik merupakan bahan kimiawi yang dihasilkan oleh
organisme dan dapat mengganggu organisme lain. Selain dihasilkan oleh
organisme, antibiotik juga bisa dihasilkan antibiotik baru yang secara sintesis
parsial yang sebagian mempunyai sifat yang lebih baik. Bahan yang ada di dalam
antibiotik biasanya bahan yang dapat membunuh bakteri (bakterisidal) atau
menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik) atau mikroorganisme lain.
Antibiotik adalah obat golongan obat keras yang hanya bisa didapatkan jika
diberi resep oleh dokter dan diperoleh di apotek. Hal ini disebabkan karena
efek berbahaya dalam tubuh apabila pemberian antibiotik tanpa memperhatikan
dosis. Penggunaan antibiotik akan menguntungkan dan memberikan efek jika
diresepkan dan dikonsumsi sesuai dengan aturan (Yarza, dkk., 2015).
Antibiotik sebaiknya diberikan kepada pasien dimulai dari
generasi pertama. Hal ini disebabkan karena antibiotik bekerja secara bertahap
dari yang lemah hingga kuat. Apabila langsung diberikan antibiotik generasi
ketiga dan penderita tidak menggunakan dengan baik sehingga menyebabkan bakteri
menjadi resisten maka akan sulit untuk menyembuhkan penderita jika mengalami
sakit yang mmbutuhkan antibiotik (Negara, 2014).
Antibiotik biasanya diresepkan berdasarkan pengalaman dengan
kata lain dokter gigi tidak mengetahui mikroorganisme apa yang menyebabkan
terjadinya peradangan, karena kultur atau eksudat tidak umum dibuat. Hal ini
menyebabkan antibiotik yang sering digunakan adalah antibiotik spektrum luas
(Yarza, dkk., 2015).
II.
Penggolongan Antibiotik
Jenis-jenis antibiotik ada bermacam-macam hingga 100 macam,
namun umumnya antibiotik ini berasal dari beberapa jenis antibiotik saja hingga
lebih mudah apabila dikelompokkan. Ada banyak cara untuk menggolongkan
antibiotik, yaitu (Heningtyas dan Hendriani, 2017):
A.
Struktur Kimia
a.
Golongan Aminoklikosida
b.
Golongan beta-laktam
c.
Golongan glikopeptida
d.
Golongan poliketida
e.
Golongan polimiksin
f.
Golongan kinolon
g.
Golongan sterptogramin
h.
Golongan oksazolidinon
i.
Golongan sulfonamida
j.
Antibiotika lain yang penting
B.
Berdasarkan sifat
Berdasarkan spektrum atau kisaran terjadinya, antibiotik
dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu (Pratiwi, 2008):
a.
Antibiotik berspektrum sempit (narrow spectrum), yaitu antibiotik yang
hanya mampu menghambat segolongan jenis bakteri saja, contohnya hanya mampu
menghambat atau membunuh bakteri gram negatif saja. Yang termasuk dalam
golongan ini adalah penisilin, streptomisin, neomisin, basitrasin.
b.
Antibiotik berspektrum luas (broad spectrum), yaitu antibiotik yang
dapat menghambat atau membunuh bakteri dari golongan gram positif maupun
negatif. Yang termasuk golongan ini yaitu tetrasiklin dan derivatnya,
kloramfenikol, ampisilin, sefalosporin, carbapenem dan lain-lain. Walaupun
suatu antibiotik berspektrum luas, efektivitas kliniknya belum tentu seluas
spektrumnya karena efektivitas maksimal diperoleh dengan menggunakan obat
terpilih untuk peradangan yang sedang dihadapi terlepas dari efeknya terhadap
mikroba lain. Antibiotik berspektrum luas cenderung menimbulkan superinfeksi
oleh bakteri atau jamur yang resisten. Di lain pihak, pada septikemia yang
penyebabnya belum diketahui diperlukan antibiotik yang berspektrum luas
sementara menunggu hasil pemeriksaan mikrobiologik.
C.
Mekanisme Aksi Antibiotik
a.
Menghambat sintetis atau merusak dinding sel
Dinding sel bakteri sangat unik, karena mengandung
peptidoglikan. Ada antibiotik yang merusak dinding sel mikroba dengan
menghambat sintesis enzim atau inaktivasi enzim, sehingga menyebabkan hilangnya
viabilitas dan sering menyebabkan sel lisis (Mahmudah, 2016). Antibiotik ini
meliputi penisilin, sepalosporin, sikloserin, vankomisin, ristosetin dan
basitrasin. Antibiotik ini menghambat sintesis dinding sel terutama dengan
mengganggu sintesis peptidoglikan. Dinding sel bakteri menentukan bentuk
karakteristik dan berfungsi melindungi bagian dalam sel terhadap perubahan
tekanan osmotik dan kondisi lingkungan lainnya (Mahmudah, 2016).
1)
Antibiotik Beta-laktam
Obat antibiotik beta-laktam umumnya bersifat bakterisid,
dan sebahian besar efektif terhadap organisme gram positif dan negatif.
Antibiotik ini mengganggu sintesis dinding sel bakteri, dengan menghambat
langkah terakhir sintesis peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang memberikan
stabilitas mekanin pada dinding sel bakteri (Permenkes, 2011).
a)
Penisilin
Penisilin dibagi menurut spektrum aktivitas, yaitu
(Permenkes, 2011):
i.Penisilin G dan V
Aktif terhadap kokus garam positif tetapi cepat
dihidrolisis oleh penisilinase atau beta-laktamase, sehingga tidak efektif
terhadap S. aureus. Obat ini bisa
diberikan dalam bentuk IM, IB dan oral. Waktu paruhnya adalah 30 menit dan di
eksresi ginjal kurang lebih untuk V 20-40 % dan untuk G 9-85%
ii.
Penisilin yang resisten terhadap beta-laktamase/penisilinase
Contoh dari obat ini adalah metisilin, nafsilin,
oksasilin dan lain-lain. Penisilin ini adalah obat pilihan utama untuk terapi S. aureus yang memproduksi penisilinase.
Aktivitas antibiotik kurang poten terhadap mikroorganisme yang sensitif
terhadap penisilin G. Obat ini bisa diberikan melalui jalur IM, IV, dan Oral.
Untuk waktu paruhnya berbeda-beda dari obat satu dan lainnya yaitu sekitar 24 menit-84
menit dan di eksresikan ginjal kurang lebih 31-90%
iii. Aminopeniilin
Contoh dari obat ini adalah ampisilin dan amoksisilin.
Selain mempunyai aktivitas terhadap bakteri gram positif, aminopenisilin juga
mempunyai aktivitas yang juga mencangkup mikroorganisme grarm negatif, seperti Haemophilus infenzae, E. coli, dan Prosteus mirabilis.
Obat-obat ini sering diberikan bersama inhibitor beta-laktamase untuk mencegah
hidrilisis oleh beta-laktamase yang semakin banyak ditemukan pada bakteri gram
negatif ini. Obat ini bisa diberikan lewat Oral, IM, dan IV. Waktu paruh obat
ini sekitar 80 menit – 120 menit dan di ekskresikan ginjal kurang lebih 40-92%
iv. Karboksipenisilin
Contoh dari obat ini adalah karbenisilin dan
tikarsilin. Antibiotik untuk Pesudomonas, Enterobacter, dan Proteus. Aktivitas
antibiotik lebih rendah dibanding ampisilin terhadap kokus gram positif, dan
kurang aktif dibanding piperasilin dalam melawan pseudomonas. Obat ini bisa
diberikan dengan cara oral, IM, dan IV. Waktu paruhnya sekitar 48 menit- 108
menit dan akan di eksresikan ginjal sekitar 85 dan 95 %
v.
Ureipenislin
Contoh dari obat ini adalah mezlosilin,
azlosilin, dan piperasilin. Aktivitas antibiotik terhadap pseudomonas,
Klebsiella, dan Gram-negatif lainnya. Dapat diberikan dengan cara IM dan IV.
Waktu paruhnya 0.8-1.7 jam dan di eksresikan ginjal sekitar 61-89 %
b)
Sefalosporin
Obat ini menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan
mekanisme serupa dengan penisilin. Sefalosporin diklasifikasikan berdasarkan
generasinya dalam tabel berikut (Permenkes, 2011)
Tabel 1.1 Klasifikasi obat sefalosporin berdasarkan
generasi
Obat
|
Cara Pemberian
|
Aktivitas
|
Waktu Paruh (jam)
|
Ekskresi Ginjal (%)
|
Generasi I
|
Sefadroksil
|
Oral
|
Antibiotik yang efektif terhadap gram
positif dan memiliki aktivitas sedang terhadap gram negatif
|
1,2-2,5
|
70-90
|
Sefazolin
|
IM IV
|
1,5-2,5
|
70-95
|
Sefaleksin
|
oral
|
1
|
95
|
Sefapirin
|
IM IV
|
0,6
|
50-70
|
Sefradin
|
oral
|
0,7
|
75-100
|
Generasi II
|
Sefaklor
|
IM IV
|
aktifitas antibiotik gram negatif yang
lebih tinggi daripada generasi I
|
0,6-0,9
|
60-85
|
sefamandol
|
IB
|
0,5-1,2
|
100
|
Sefmetazol
|
IM IV
|
1,2-1,5
|
85
|
Sefonisid
|
IM IV
|
3,5-4,5
|
95-99
|
sefotetan
|
IM IV
|
2,8-4,6
|
60-91
|
dll.
|
|
|
|
Generasi III
|
Sefdinir
|
Oral
|
aktifitas kurang aktif terhadap kokus gram
positif dibandingkan generasi I, tapi lebih aktif terhadap
Enterobacteriaceae, termasuk strain yang memproduksi beta-laktamese.
Seftazidim dan sefoperazon juga aktid terhadap P. aeruginosa tapi kurang aktif dibanding generasi III lainnya
terhadap kokus gram positif
|
1,7
|
18
|
Sefepim
|
IM IV
|
2,0
|
70-99
|
Sefiksim
|
Oral
|
2,3-3,7
|
50
|
Sefoperazon
|
IM IV
|
2
|
20-30
|
Sefoaksim
|
IM IV
|
1
|
40-60
|
dll.
|
|
|
|
Generasi IV
|
|
|
|
|
Seftazidim
|
IM IV
|
aktivitas lebih ulas dibanding generasi II dan
tahan terhadap beta-laktamase.
|
1,9
|
-
|
Safepim
|
IM
|
2
|
-
|
c)
Monobaktam (beta-laktam monosiklik)
Contoh obatnya adalah aztreonam. Obat ini resisten
terhadap beta-laktamase yang dibawa oleh bakteri gram-negatif. Aktif terutama
pada bakteri gram negatif. Bisa dimasukkan kedalam tebuh melalui parenteral dan
didistribusikan ke seluruh tubuh termasuk cairan serebrospinal. Waktu paruhnya
adalah 1,7 jam dan di eksresikan utuh melui urin (Permenkes, 2011).
d)
Karbapenem
Aktivitasnya menghambat gram positif, gram negatif dan
anaerob. Ketiganya sangat tahan terhadap beta laktamase (Permenkes, 2011).
e)
Inhibitor beta-laktamase
Inhibitor beta-laktamase melindungi antibiotik etalaktam
dengan menginaktivasi betalaktam. Asam klavulamnat mengikat betalaktamase dari
bakteri gram positif dan gram negatif secara ireversibel. Obat ini ada yang
bernama tazobaktam dimana apabila dikombinasikan dengan piperasilin untuk
penggunaan perenteral waktu paruhnya akan memanjang dan akan di eksresikan
melalui ginjal (Permenkes, 2011).
2)
Basitrasin
Obat ini adalah bakteri yang terdiri dari antibiotik
polipeptoda, yang paling utama adalah basitrasin A. Obat ini terseda dalam
bentuk salep. Obat ini jarang menyebabkan hipersensivitas namun apabila
memasuki sirkulasi sistemik akan bersifat nefrotoksik (Permenkes, 2011)
3)
Vankomisin
Vankomisin merupakan antibiotik lini ketiga terutama
aktif terhadap bakteri gram positif. Semua basil gram negatidf dan mikobakteria
resisten terhadap vanomisin. Oba t ini diberikan secara IB dengan waktu paruh
sekitar 6 jam (Permenkes, 2011).
b.
Menghambat sintesis protein
Penghambatan sintesis protein dapat berlangsung di dalam
ribosom. berdasarkan koefisien sedimentasinya, ribosom di-kelompokkan dalam 3
grup, yaitu (Geografi, dkk., 2014):
1)
Ribosom 80s, terdapat pada sel eukariot. Partikel ini terdiri dari
subunit 60s dan 40s.
2)
Ribosom 70s, didapatkan pada sel prokariot dan eukariot. Partikel ini
terdiri dari subunit 50s dan 30s.
3)
Ribosom 55s, hanya terdapat pada mitokondria mamalia dan menyerupai
ribosom bakteri baik fungsi maupun kepekaannya terhadap antibiotik.
Untuk memelihara kelangsungan hidupnya, sel mikroba perlu
mensintesis protein yang berlangsung di dalam ribosom bekerja sama dengan mRNA
dan tRNA gangguan sintesis protein akan berakibat sangat fatal, antibiotik
dengan mekanisme kerja seperti ini mempunyai daya antibakteri sangat kuat.
Antibiotik kelompok ini meliputi aminoglikosid, makrolid, linkomisin,
tetrasiklin, kloramphenikol, novobiosin, puromisin (Geografi, dkk., 2014).
Penghambatan biosintesis protein pada sel prokariot ini
bersifat sitostatik, karena mereka dapat menghentikan pertumbuhan dan
pembelahan sel. Bila sel dipindahkan ke media bebas antibiotik, mereka dapat
tumbuh kembali setelah antibiotik berkurang dari sel kecuali streptomisin yang
mempunyai aktivitas bakterisid. Pengaruh zat ini terhadap sel eukariot
diperkirakan sitotoksik. Beberapa penghambat ribosom 80s seperti puromisin dan
sikloheksimid sangat toksik terhadap sel mamalia, oleh karena itu tidak
digunakan untuk terapi, sedang tetrasiklin mempunyai toksisitas relatif kecil
bila digunakan oleh orang dewasa. Tetrasiklin menghambat biosintesis protein
yang terdapat pada ribosom 80s dan 70s. Erytromisin berikatan dengan ribosom
50s. Streptomisin berikatan dengan ribosom 30s dan menyebabkan kode mRNA salah
dibaca oleh tRNA, sehingga terbentuk protein abnormal dan non fungsionil
(Geografi, dkk., 2014)
c.
Antibiotik yang menghambat permeabilitas atau fungsi membran sel
Membran sitoplasma bakteri dan jamur tertentu lebih mudah
dirusak oleh agen tertentu daripada membran sel hewan (Katzung, 2009).
Antibiotik yang mengubah tegangan permukaan, dapat merusak permeabilitas
selektif dari membran sel mikroba (Gunawan, 2009). Akibatnya, aktivitas
kemoteraupetik selektif dapat terjadi. Antibiotik yang berperan dalam
menghambat fungsi membran sel yaitu azoles, polien, dan polimiksin (Katzung,
2009). Polimiksin dapat merusak membran sel setelah bereaksi dengan fosfat pada
fosfolipid membran sel mikroba. Polimiksin tidak efektif terhadap bakteri
Gram-positif karena jumlah fosfor bakteri ini lebih sedikit. Antibiotik polien
bereaksi dengan struktur sterol pada membran sel. Oleh karena itu, bakteri
tidak sensitif terhadap antibiotik polien, karena tidak memiliki struktur
sterol pada membran selnya (Gunawan, 2009).
d.
Antibiotik yang menghambat metabolisme sel mikroba
Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini ialah sulfonamida,
trimetoprim, p-aminosalisilat acid
(PAS) dan sulfon. Antibiotik ini bekerja dengan efek bakteriostatik. Mikroba
membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya (Gunawan, 2009). Bakteri
patogen harus mensintesis sendiri asam folat dari para amino benzoic acid (PABA). Sulfonamida bersaing dengan PABA
dalam pembentukan asam folat sehingga mencegah bergabung ke dalam folat.
Trimetoprim bekerja dengan menghambat enzim dihidrofolat reduktase (FAH2)
sehingga asam dihidrofolat tidak dapat direduksi menjadi asam tetrahidrofolat
(FAH4) yang berfungsi (Gunawan, 2009). PAS adalah analog PABA yang menghambat
asam folat pada Mycobacterium
tuberculosis (Gunawan, 2009). Sulfonamid adalah analog struktur PABA dan
menghambat dihidropteroat sintetase
(Katzung, 2009). Sulfonamida tidak efektif terhadap Mycobacterium tuberculosis dan sebaliknya PAS tidak efektif
terhadap bakteri yang sensitif terhadap Sulfonamida (Gunawan, 2009).
e.
Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba (Permenkes,
2011)
1)
Kuinolon
a)
Asam nalidiksat
Asam nalidiksat menghambat sebagian besar
Enterobacteriaceae
b)
Flourokuinolon
Golongan flourokuinolon meliputi nofloksasin,
siprofolosasin, ofloksasin, moksifloksasin, dan lain-lain. Flourokuinolon bisa
digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh gonokokus, Shigella, E, coli,
Salmonella, Haemophilus, Moeaxella
caraeehalis serta Enterobacteriaceae dan
P.
aeruginisa.
2)
Nitrofiran
Nitrofiran meliputi nitrofurantoin, furazolidin, dan
nitrofurazon. Absorbsi melalui saluran cerna 94% dan idak berubah dengan adanya
makanan. Nitrofuran bisa menghambat gram positid dan negatif, termasik E. coli, Staphtlococcus sp., Klebsiella sp,
Enterococcus sp, Neisseria sp, Salmonella sp, Shigella sp, dan Proteus sp.
III.
Penerapan Antibiotik di Kedokteran Gigi
Pada penerapannya di dunia kedokteran gigi, antibiotik
digunakan untuk 2 tujuan yaitu, sebagai berikut (Udaykumar, 2007).:
A.
Sebagai pengobatan atau terapi antibiotik
Pemberian antibiotik sebagai pengobatan atau terapi
antibiotik bisa pada peradangan odontogenik maupun kasus non-odontogenik. Untuk
kasus odontogenik Pengobatan diberikan dalam beberapa situasi peradangan
odontogenik akut yang berasal dari pulpa misalnya sebagai pendukung dalam
perawatan saluran akar, gingivitis nekrotis ulseratif akut, abses periapikal,
periodontitis agresif, abses periodontal, dan osteomyelitis. Pemberian
antibiotik tidak disarankan pada kasus gingivitis. Perluasan inflamasi cepat
dan berat sebaiknya dirawat dengan pemberian antibiotik, sementara inflamasi
yang ringan dan terlokalisir dimana drainase dapat dilakukan, maka pemberian
antibiotik tidak perlu. Abses peridontal sering dirawat dengan insisi dan
drainase tanpa pemberian antibiotik karena abses periodontal jarang disertai
demam, malaise, limfadenopati, dan tanda-tanda sistemik lainnya. Tetapi, abses
periodontal perlu diberikan terapi antibiotik ketika disertai tanda dan gejala
sistemik, atau ketika insisi dan drainase tidak dapat dilakukan. Hal ini
berbeda pada terapi antibiotik untuk peradangan yang berasal dari pulpa atau
periapikal, dimana seharusnya lebih agresif karena lebih cenderung meluas ke
permukaan wajah. Terapi antibiotik untuk kasus abses periodontal diberikan
dalam dosis tinggi dan durasi yang singkat. Perawatan osteomyelitis yaitu
berupa terapi antibiotik dan pembedahan. Dikarenakan keanekaragaman bakteri
penyebabnya, pembuatan kultur dan tes sensitivitas sesegera mungkin menjadi
penting untuk mendapatkan terapi antibiotik yang paling tepat.
Antibiotik turunan β-laktam dapat dipertimbangkan sebagai
antibiotik pilihan, asalkan tidak ada alergi. Namun, hanya sedikit obat dari
kelompok ini yang dapat diresepkan. Peradangan non-odontogenik yang termasuk
peradangan spesifik dari rongga mulut (TBC, sifilis, lepra), dan peradangan
nonspesifik membran mukosa, otot dan wajah, kelenjar ludah dan tulang. Proses
ini membutuhkan perawatan yang panjang, dan obat yang digunakan biasanya
termasuk klindamisin dan flurokuinolon (seperti siprofloksasin, norfloksasin,
dan moksifloksasin).
B.
Sebagai profilaksis antibiotik
Pengobatan sebagai profilaksis ini diberikan dengan tujuan sebagai
pencegahan endokarditis infektif yang dindikasikan pada pasien yang berisiko
dalam hal prosedur invasif dalam rongga mulut. Indikasi pemakaian antibiotik
dengan tujuan ini adalah pada pasien dengan katup jantung buatan, riwayat
endokarditis, memeiliki penyakit jantung kongenital seperti jantung konginetal
sianosis dan lain-lain. Pengobatan dengan tujuan ini juga diindikasikan untuk
pasien dengan riwayat peradangan prostesis sendi.
Pada kasus kedokteran gigi penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien
sehat ini hanya dianjurkan dalam kasus pencabutan gigi impaksi, bedah
periapkal, bedah tulang, bedadh implan, penyambungan tuland dan operasi untuk
timor jinak. Antibiotik ini juga tidak boleh sembarangan diberikan pada pasien
dengan faktor risiko peradangan lokal atau sistemik termasuk pasien onkologi,
pasien dengan kekebalan tubuh rendah, pasien dengan gangguan metabolik seperti
diabetes, dan pasien yang telah menjalani splenektomi–antibiotik profilaksis
harus diberaikan sebelum melakukan prosedur invasif. Kontraindikasi penggunaan
obat ini adalah pada prosedur dental atau keadaan seperti anestesi topikal pada
jaringan yang tidak meradang, pengambilan radiografi gigi, penggunaan
gigitiruan lepasan atau alat ortodontik, penyesuaian alat ortodontik,
penempatan braket ortodontik, dan pencabutan gigi desidui serta perdarahan
karena trauma di bibir dan mukosa.
Pada dunia
kedokteran gigi, pemberian jenis antibiotik tidak boleh sembarangan hanya
menurut kepercayaan dokter giginya saja, namun pemberian antibiotik harus
sesuai dengan indikasi dari pasien. Berikut merupakan indikasi penggunaan
antibiotik kedokteran gigi (Udaykumar, 2007).
Tabel 1.2 Indikasi Penggunaan Antibiotik Kedokteran Gigi
Keadaan
|
Pilihan obat
|
Obat alternatif
|
Penyakit periodontal
|
• GUNA (gingivitis ulseratif nekrose akut)
|
• Penisilin V,
• Amoksisilin
|
• Metronidazole,
• Tetrasiklin
|
• Abses periodontal
|
• Penisilin V
|
• Tetrasiklin
|
• Localized juvenile periodontitis
|
• Doksisiklin,
• Tetrasiklin
|
• Amoksisilin ditambah metronidazole
• Augmentin (amoksisilin ditambah klavulanat)
|
• Periodontitis pada dewasa
|
• Tidak indikasi antibiotik
|
• Klindamisin
|
• Rapid advancing periodontitis (RAP) atau
Periodontitis agresif
|
• Doksisiklin,
• Tetrasiklin,
• Metronidazole
|
• Amoksisilin ditambah metronidazole
|
Peradangan Oral
|
• Peradangan jaringan lunak (abses, selulitis fasial,
pasca-bedah, perikoronitis)
|
• Penisilin V
• Amoksisilin
|
• Doksisiklin
• Klindamisin
• Sefalosporin
• Tetrasiklin
|
• Osteomyelitis
|
• Penisilin V
• Amoksisilin
|
• Klindamisin
• Sefalosporin
• Siprofloksasin
• Eritromisin
|
Peradangan campuran yang tidak sensitif terhadap
penisilin
|
• Peradangan akibat bakteri aerob
|
• Amoksisilin
|
• Sefalosporin
• Sulfonamid
• Tetrasiklin
|
• Peradangan karena bakteri
anaerob dan kronis
|
• Metronidazole
• Klindamisin
|
• Sefalosporin
• Augmentin
• Tetrasiklin
• Metronidazole + pensilin
|
Profilaksis
|
Mencegah endokarditis infektif
• Pasien dengan penyakit jantung reumatik dan katup jantung
buatan
• Pasien dengan riwayat endokarditis infektif
• Pasien dengan penyakit jantung bawaan (misalnya penyakit
jantung sianotik)
• Penerima cangkok jantung
• Pada penderita valvulopati
Profilaksis peradangan lokal
• Pada pasien sehat (misalnya kasus pencabutan gigi impaksi,
bedah periapikal, bedah tulang, bedah implan, penyambungan tulang, dan
operasi untuk tumor jinak)
• Pada pasien dengan penyakit sistemik (pasien onkologi, pasien
imunosupresan, pasien dengan gangguan metabolik seperti diabetes tidak
terkontrol, dan pasien yang telah menjalani splenektomi)
|
Tidak alergi pada penisilin – PO:
Amoksisilin
|
Pasien yang tidak dapat diberikan PO, maka pemberian melalui
IV/IM:
• Ampisilin
• Sefazolin atau seftriakson
Pasien yang alergi dengan penisilin atau ampisilin, pemberian
melalui PO:
• Klindamisin
• Azitromisin/ klaritromisin
Pasien yang alergi dengan ampisilin atau penisilin dan tidak
dapat diberikan PO, maka diberikan IV/IM:
• Sefazolin atau seftriakson
• Klindamisin
|
Pemberian
dosis antibiotik pada perawatan kedokteran gigi juga tidak boleh sembarangan,
berikut merupakan tabel pemberian dosis dan jalr pemberian dari substansi obat
pada peradangan odontogenik dan tabel pemberian dosis dan pemilihan waktu
pemberian pada endokarditis bakterial pada prosedur oral (Udaykumar, 2007).
Tabel
1.3 Penggunaan dosis antibiotik pada peradangan odontogenik
Substansi Obat
|
Jalur Pemberian
|
Dosis
|
Amoksisilin
|
po
|
500 mg/8 jam
|
Amoksisilin-Asam Klavulanat
|
po
|
• 250 mg amoksisilin+125 mg klavulanat/8 jam
• 500 mg amoksisilin+125 mg klavulanat/8 jam
|
Klindamisin
|
po
|
ringan-sedang: 150-300 mg/6 jam
berat: 300-450 mg/6 jam
|
Azitromisin
|
po
|
500 mg/24 jam 3 hari berurutan
|
Siprofloksasin
|
po
|
500 mg/12 jam
|
Metronidazol
|
po
|
500-750 mg/8 jam
|
Sefadroksil
|
po
|
500-1000 mg/12 jam
|
Eritromisin
|
po
|
250 mg/6 jam atau 500 mg/12 jam
|
Gentamisin
|
Im atau iv
|
240 mg/24 jam
|
Penisilin
|
im atau iv
|
1,2-2,4 juta IU/24 jam hingga 24 juta IU/24 jam
|
Tabel 1.4 Penggunaan dosis antibiotik sebagai profilaksis
antibiotik pada endokarditis bakterial pada prosedur oral
Antibiotik
|
Dosis
|
Peemilihan Waktu
|
Amoksisilin
|
2 g po
|
½-1 jam sebelum
|
Ampisilin
|
2 g im atau iv
|
½ jam sebelum
|
Klindamisin
|
600 mg po
|
1 jam sebelum
|
|
600 mg po atau iv
|
½ jam sebelum
|
Sefaleksin atau Sefadroksil
|
2 g po
|
1 jam sebelum
|
Azitromisin atau Klaritromisin
|
500 mg po
|
1 jam sebelum
|
Eritromisin
|
500 mg po
|
1 jam sebelum
|
Sefazolin
|
1 g im atau iv
|
½ jam sebelum
|
Seftriakson
|
1 g im atau iv
|
1 jam sebelum
|
IV.
Resistensi terhadap Antibiotik
Resistensi
merupakan tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri dengan pemberian antibiotik
secara sistemik dengan dosis normal yang seharusnya atau kadar hambat
minimalnya. Resistensi terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau lain hal
yang menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia atau
bahan lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi. Bakteri
yang mampu bertahan hidup dan berkembang biak, menimbulkan lebih banyak bahaya.
Kepekaan bakteri terhadap kuman ditentukan oleh kadar hambat minimal yang dapat
menghentikan perkembangan bakteri (Utami, 2011).Timbulnya resistensi terhadap
suatu antibiotika terjadi berdasarkan salah satu atau lebih mekanisme berikut
(Utami, 2011):
A.
Bakteri mensintesis suatu enzim inaktivator atau penghancur antibiotika.
Misalnya Stafilokoki, resisten terhadap penisilin G menghasilkan
beta-laktamase, yang merusak obat tersebut. Betalaktamase lain dihasilkan oleh
bakteri batang Gram-negatif.
B.
Bakteri mengubah permeabilitasnyaterhadap obat. Misalnya tetrasiklin,
tertimbun dalam bakteri yang rentan tetapi tidak pada bakteri yang resisten.
C.
Bakteri mengembangkan suatu perubahan struktur sasaran bagi obat.
Misalnya resistensi kromosom terhadap aminoglikosida berhubungan dengan
hilangnya (atau perubahan) protein spesifik pada subunit 30s ribosom bakteri
yang bertindak sebagai reseptor pada organisme yang rentan.
D.
Bakteri mengembangkan perubahan jalur metabolik yang langsung dihambat
oleh obat. Misalnya beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamid tidak
membutuhkan PABA ekstraseluler, tetapi seperti sel mamalia dapat menggunakan
asam folat yang telah dibentuk.
E.
Bakteri mengembangkan perubahan enzim yang tetap dapat melakukan fungsi metabolismenya
tetapi lebih sedikit dipengaruhi oleh obat dari pada enzim pada kuman yang
rentan. Misalnya beberapa bakteri yang rentan terhadap sulfonamid, dihidropteroat
sintetase, mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi terhadap sulfonamid dari
pada PABA
Resistensi
antibiotika adalah penggunaan yang meluas dan irasional. Terjadinya resistensi
antibiotika bisa terjadi apabila ada faktor-faktor yang mendukung terjadinya
resistensi, beberapa faktornya antara lain (Utami, 2011):
A. Penggunaannya
yang kurang tepat (irrasional)
Terlalu singkat, dalam dosia yang
terlalu rendah, diagnosa awal yang salah, dalam potensi yang tidak adekuat.
B. Faktor
yang berhubungan dengan pasien.
Pasien dengan pengetahuan yang
salah akan cenderung menganggap wajib diberikan antibiotik dalam penanganan
penyakit meskipun disebabkan oleh virus, misalnya flu, batuk-pilek, demam yang
banyak dijumpai di masyarakat. Pasien dengan kemampuan finansial yang baik akan
meminta diberikan terapi antibiotik yang paling baru dan mahal meskipun tidak
diperlukan. Bahkan pasien membeli antibiotika sendiri tanpa peresepan dari
dokter (self medication). Sedangkan pasien dengan kemampuan finansial
yang rendah seringkali tidak mampu untuk menuntaskan regimen terapi.
C. Peresepan
Peresepan dalam jumlah besar,
meningkatkan unnecessary health care expenditure dan seleksi resistensi
terhadap obat-obatan baru. Peresepan meningkat ketika diagnose awal belum
pasti. Klinisi sering kesulitan dalam menentukan antibiotik yang tepat karena
kurangnya pelatihan dalam hal penyakit infeksi dan tatalaksana antibiotiknya.
D. Penggunaan
monoterapi
Dibandingkan dengan penggunaan terapi kombinasi, penggunaan
monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi.
E. Perilaku
hidup sehat
Hal ini terutama bagi tenaga
kesehatan, misalnya mencuci tangan setelah memeriksa pasien atau desinfeksi
alat-alat yang akan dipakai untuk memeriksa pasien.
F. Penggunaan
di rumah sakit
Adanya infeksi endemik atau
epidemik memicu penggunaan antibiotika yang lebih massif pada bangsalbangsal
rawat inap terutama di intensive care unit. Kombinasi antara pemakaian
antibiotik yang lebih intensif dan lebih lama dengan adanya pasien yang sangat
peka terhadap infeksi, memudahkan terjadinya infeksi nosokomial.
G. Penggunaannya
untuk hewan dan binatang ternak
Antibiotik juga dipakai untuk
mencegah dan mengobati penyakit infeksi pada hewan ternak. Dalam jumlah besar
antibiotik digunakan sebagai suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang
pertumbuhan hewan ternak. Bila dipakai dengan dosis subterapeutik, akan
meningkatkan terjadinya resistensi.
H. Promosi
komersial dan penjualan besar-besaran oleh perusahaan farmasi serta didukung
pengaruh globalisasi memudahkan terjadinya pertukaran barang sehingga jumlah
antibiotika yang beredar semakin luas. Hal ini memudahkan akses masyarakat luas
terhadap antibiotika.
Daftar Pustaka
Geografi, L.,
Wahyono, D., dan Yasin, N. M., 2014, Evaluasi penggunaan antibiotik untuk
terapi infeksi saluran kemih pada pasien sindrom nefrotik pediatri, Jurnal Majanemen dan Pelayanan Farmasi,
4(1): 1-6.
Gunawan S.G., 2009,
Farmakologi dan Terapi, Edisi Kelima,
Balai Penerbit FK UI, Jakarta.
Heningtyas, S. A.
P. dan Hedriani, 2017, Evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien rawat inap
dirumah sakit “x” provinsi jawa barat secara kuantitatif pada bulan november-desember
2017, Jurnal Farmaka, 16(2): 97-104.
Katzung, B.G., 2009, Farmakologi
Dasar dan Klinik, Edisi kelima, Salemba Medika, Jakarta.
Mahmudah, F.,
Sumiwi, S. A., dan Hartini, S., 2016, Studi penggunaan antibiotik berdasarkan
atc/ddd dan du 90% di bagian bedah digestif di salah satu rumah sakit di
bandung, Jurnal Farmasi Klinik Indonesia,
5(4): 293-398.
Negara, K. S.,
2014, Analisis implementasi kebijakan penggunaan antibiotika rasional untuk
mencegah resistensi antibiotika di rsup sanglah denpasar: studi kasus infeksi
methicillin resistant staphylococcus aureus, Jurnal Administrasi Kebijakan Kesehatan, 1(1): 42-50.
Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/MENKES /PER/XII/2011 Tentang Pedoman
Umum Penggunaan Antibiotik.
Pratiwi, S.T., 2008, Mikrobiologi
Farmasi, Erlangga, Jakarta.
Udaykumar,P., 2007, Textbook
of Pharmacology for Dental and Allied Health Sciences, Jaypee Brothers
Medical Publishers, India.
Utami, E. R., 2011, Antibiotika, resistensi,
dn rasionalitas terapi, Jurnal El-hayah,
1(4): 191-198.
Yarza, H. L.,
Yanwirasti, dan Irawati, L., 2015, Hubungan tingkat pengetahuan dan sikap
dengan penggunaan antibiotik tanpa resep dokter, Jurnal Kesehatan Andalas, 4(1): 151-156.