Wednesday, April 29, 2020

Antibiotik


Antibiotik

I.         Pengertian Antibiotik
Antibiotik merupakan bahan kimiawi yang dihasilkan oleh organisme dan dapat mengganggu organisme lain. Selain dihasilkan oleh organisme, antibiotik juga bisa dihasilkan antibiotik baru yang secara sintesis parsial yang sebagian mempunyai sifat yang lebih baik. Bahan yang ada di dalam antibiotik biasanya bahan yang dapat membunuh bakteri (bakterisidal) atau menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik) atau mikroorganisme lain. Antibiotik adalah obat golongan obat keras yang hanya bisa didapatkan jika diberi resep oleh dokter dan diperoleh di apotek. Hal ini disebabkan karena efek berbahaya dalam tubuh apabila pemberian antibiotik tanpa memperhatikan dosis. Penggunaan antibiotik akan menguntungkan dan memberikan efek jika diresepkan dan dikonsumsi sesuai dengan aturan (Yarza, dkk., 2015).
Antibiotik sebaiknya diberikan kepada pasien dimulai dari generasi pertama. Hal ini disebabkan karena antibiotik bekerja secara bertahap dari yang lemah hingga kuat. Apabila langsung diberikan antibiotik generasi ketiga dan penderita tidak menggunakan dengan baik sehingga menyebabkan bakteri menjadi resisten maka akan sulit untuk menyembuhkan penderita jika mengalami sakit yang mmbutuhkan antibiotik (Negara, 2014).
Antibiotik biasanya diresepkan berdasarkan pengalaman dengan kata lain dokter gigi tidak mengetahui mikroorganisme apa yang menyebabkan terjadinya peradangan, karena kultur atau eksudat tidak umum dibuat. Hal ini menyebabkan antibiotik yang sering digunakan adalah antibiotik spektrum luas (Yarza, dkk., 2015).

II.       Penggolongan Antibiotik
Jenis-jenis antibiotik ada bermacam-macam hingga 100 macam, namun umumnya antibiotik ini berasal dari beberapa jenis antibiotik saja hingga lebih mudah apabila dikelompokkan. Ada banyak cara untuk menggolongkan antibiotik, yaitu (Heningtyas dan Hendriani, 2017):

A.    Struktur Kimia
a.       Golongan Aminoklikosida
b.      Golongan beta-laktam
c.       Golongan glikopeptida
d.      Golongan poliketida
e.       Golongan polimiksin
f.       Golongan kinolon
g.      Golongan sterptogramin
h.      Golongan oksazolidinon
i.        Golongan sulfonamida
j.        Antibiotika lain yang penting
B.     Berdasarkan sifat
Berdasarkan spektrum atau kisaran terjadinya, antibiotik dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu (Pratiwi, 2008):
a.       Antibiotik berspektrum sempit (narrow spectrum), yaitu antibiotik yang hanya mampu menghambat segolongan jenis bakteri saja, contohnya hanya mampu menghambat atau membunuh bakteri gram negatif saja. Yang termasuk dalam golongan ini adalah penisilin, streptomisin, neomisin, basitrasin.
b.      Antibiotik berspektrum luas (broad spectrum), yaitu antibiotik yang dapat menghambat atau membunuh bakteri dari golongan gram positif maupun negatif. Yang termasuk golongan ini yaitu tetrasiklin dan derivatnya, kloramfenikol, ampisilin, sefalosporin, carbapenem dan lain-lain. Walaupun suatu antibiotik berspektrum luas, efektivitas kliniknya belum tentu seluas spektrumnya karena efektivitas maksimal diperoleh dengan menggunakan obat terpilih untuk peradangan yang sedang dihadapi terlepas dari efeknya terhadap mikroba lain. Antibiotik berspektrum luas cenderung menimbulkan superinfeksi oleh bakteri atau jamur yang resisten. Di lain pihak, pada septikemia yang penyebabnya belum diketahui diperlukan antibiotik yang berspektrum luas sementara menunggu hasil pemeriksaan mikrobiologik.

C.     Mekanisme Aksi Antibiotik
a.       Menghambat sintetis atau merusak dinding sel
Dinding sel bakteri sangat unik, karena mengandung peptidoglikan. Ada antibiotik yang merusak dinding sel mikroba dengan menghambat sintesis enzim atau inaktivasi enzim, sehingga menyebabkan hilangnya viabilitas dan sering menyebabkan sel lisis (Mahmudah, 2016). Antibiotik ini meliputi penisilin, sepalosporin, sikloserin, vankomisin, ristosetin dan basitrasin. Antibiotik ini menghambat sintesis dinding sel terutama dengan mengganggu sintesis peptidoglikan. Dinding sel bakteri menentukan bentuk karakteristik dan berfungsi melindungi bagian dalam sel terhadap perubahan tekanan osmotik dan kondisi lingkungan lainnya (Mahmudah, 2016).
1)      Antibiotik Beta-laktam
Obat antibiotik beta-laktam umumnya bersifat bakterisid, dan sebahian besar efektif terhadap organisme gram positif dan negatif. Antibiotik ini mengganggu sintesis dinding sel bakteri, dengan menghambat langkah terakhir sintesis peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang memberikan stabilitas mekanin pada dinding sel bakteri (Permenkes, 2011).
a)      Penisilin
Penisilin dibagi menurut spektrum aktivitas, yaitu (Permenkes, 2011):
i.Penisilin G dan V
Aktif terhadap kokus garam positif tetapi cepat dihidrolisis oleh penisilinase atau beta-laktamase, sehingga tidak efektif terhadap S. aureus. Obat ini bisa diberikan dalam bentuk IM, IB dan oral. Waktu paruhnya adalah 30 menit dan di eksresi ginjal kurang lebih untuk V 20-40 % dan untuk G 9-85%
ii.   Penisilin yang resisten terhadap beta-laktamase/penisilinase
Contoh dari obat ini adalah metisilin, nafsilin, oksasilin dan lain-lain. Penisilin ini adalah obat pilihan utama untuk terapi S. aureus yang memproduksi penisilinase. Aktivitas antibiotik kurang poten terhadap mikroorganisme yang sensitif terhadap penisilin G. Obat ini bisa diberikan melalui jalur IM, IV, dan Oral. Untuk waktu paruhnya berbeda-beda dari obat satu dan lainnya yaitu sekitar 24 menit-84 menit dan di eksresikan ginjal kurang lebih 31-90%
iii. Aminopeniilin
Contoh dari obat ini adalah ampisilin dan amoksisilin. Selain mempunyai aktivitas terhadap bakteri gram positif, aminopenisilin juga mempunyai aktivitas yang juga mencangkup mikroorganisme grarm negatif, seperti Haemophilus infenzae, E. coli, dan Prosteus mirabilis. Obat-obat ini sering diberikan bersama inhibitor beta-laktamase untuk mencegah hidrilisis oleh beta-laktamase yang semakin banyak ditemukan pada bakteri gram negatif ini. Obat ini bisa diberikan lewat Oral, IM, dan IV. Waktu paruh obat ini sekitar 80 menit – 120 menit dan di ekskresikan ginjal kurang lebih 40-92%
iv. Karboksipenisilin
Contoh dari obat ini adalah karbenisilin dan tikarsilin. Antibiotik untuk Pesudomonas, Enterobacter, dan Proteus. Aktivitas antibiotik lebih rendah dibanding ampisilin terhadap kokus gram positif, dan kurang aktif dibanding piperasilin dalam melawan pseudomonas. Obat ini bisa diberikan dengan cara oral, IM, dan IV. Waktu paruhnya sekitar 48 menit- 108 menit dan akan di eksresikan ginjal sekitar 85 dan 95 %
v.   Ureipenislin
Contoh dari obat ini adalah mezlosilin, azlosilin, dan piperasilin. Aktivitas antibiotik terhadap pseudomonas, Klebsiella, dan Gram-negatif lainnya. Dapat diberikan dengan cara IM dan IV. Waktu paruhnya 0.8-1.7 jam dan di eksresikan ginjal sekitar 61-89 %
b)      Sefalosporin
Obat ini menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan mekanisme serupa dengan penisilin. Sefalosporin diklasifikasikan berdasarkan generasinya dalam tabel berikut (Permenkes, 2011)
Tabel 1.1 Klasifikasi obat sefalosporin berdasarkan generasi
Obat
Cara Pemberian
Aktivitas
Waktu Paruh (jam)
Ekskresi Ginjal (%)
Generasi I
Sefadroksil
Oral
Antibiotik yang efektif terhadap gram positif dan memiliki aktivitas sedang terhadap gram negatif
1,2-2,5
70-90
Sefazolin
IM IV
1,5-2,5
70-95
Sefaleksin
oral
1
95
Sefapirin
IM IV
0,6
50-70
Sefradin
oral
0,7
75-100
Generasi II
Sefaklor
IM IV
aktifitas antibiotik gram negatif yang lebih tinggi daripada generasi I
0,6-0,9
60-85
sefamandol
IB
0,5-1,2
100
Sefmetazol
IM IV
1,2-1,5
85
Sefonisid
IM IV
3,5-4,5
95-99
sefotetan
IM IV
2,8-4,6
60-91
dll.



Generasi III
Sefdinir
Oral
aktifitas kurang aktif terhadap kokus gram positif dibandingkan generasi I, tapi lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain yang memproduksi beta-laktamese. Seftazidim dan sefoperazon juga aktid terhadap P. aeruginosa tapi kurang aktif dibanding generasi III lainnya terhadap kokus gram positif
1,7
18
Sefepim
IM IV
2,0
70-99
Sefiksim
Oral
2,3-3,7
50
Sefoperazon
IM IV
2
20-30
Sefoaksim
IM IV
1
40-60
dll.



Generasi IV




Seftazidim
IM IV
aktivitas lebih ulas dibanding generasi II dan tahan terhadap beta-laktamase.
1,9
-
Safepim
IM
2
-

c)      Monobaktam (beta-laktam monosiklik)
Contoh obatnya adalah aztreonam. Obat ini resisten terhadap beta-laktamase yang dibawa oleh bakteri gram-negatif. Aktif terutama pada bakteri gram negatif. Bisa dimasukkan kedalam tebuh melalui parenteral dan didistribusikan ke seluruh tubuh termasuk cairan serebrospinal. Waktu paruhnya adalah 1,7 jam dan di eksresikan utuh melui urin (Permenkes, 2011).
d)     Karbapenem
Aktivitasnya menghambat gram positif, gram negatif dan anaerob. Ketiganya sangat tahan terhadap beta laktamase (Permenkes, 2011).
e)      Inhibitor beta-laktamase
Inhibitor beta-laktamase melindungi antibiotik etalaktam dengan menginaktivasi betalaktam. Asam klavulamnat mengikat betalaktamase dari bakteri gram positif dan gram negatif secara ireversibel. Obat ini ada yang bernama tazobaktam dimana apabila dikombinasikan dengan piperasilin untuk penggunaan perenteral waktu paruhnya akan memanjang dan akan di eksresikan melalui ginjal (Permenkes, 2011).
2)      Basitrasin
Obat ini adalah bakteri yang terdiri dari antibiotik polipeptoda, yang paling utama adalah basitrasin A. Obat ini terseda dalam bentuk salep. Obat ini jarang menyebabkan hipersensivitas namun apabila memasuki sirkulasi sistemik akan bersifat nefrotoksik (Permenkes, 2011)
3)      Vankomisin
Vankomisin merupakan antibiotik lini ketiga terutama aktif terhadap bakteri gram positif. Semua basil gram negatidf dan mikobakteria resisten terhadap vanomisin. Oba t ini diberikan secara IB dengan waktu paruh sekitar 6 jam (Permenkes, 2011).
b.      Menghambat sintesis protein
Penghambatan sintesis protein dapat berlangsung di dalam ribosom. berdasarkan koefisien sedimentasinya, ribosom di-kelompokkan dalam 3 grup, yaitu (Geografi, dkk., 2014):
1)      Ribosom 80s, terdapat pada sel eukariot. Partikel ini terdiri dari subunit 60s dan 40s.
2)      Ribosom 70s, didapatkan pada sel prokariot dan eukariot. Partikel ini terdiri dari subunit 50s dan 30s.
3)      Ribosom 55s, hanya terdapat pada mitokondria mamalia dan menyerupai ribosom bakteri baik fungsi maupun kepekaannya terhadap antibiotik.
Untuk memelihara kelangsungan hidupnya, sel mikroba perlu mensintesis protein yang berlangsung di dalam ribosom bekerja sama dengan mRNA dan tRNA gangguan sintesis protein akan berakibat sangat fatal, antibiotik dengan mekanisme kerja seperti ini mempunyai daya antibakteri sangat kuat. Antibiotik kelompok ini meliputi aminoglikosid, makrolid, linkomisin, tetrasiklin, kloramphenikol, novobiosin, puromisin (Geografi, dkk., 2014).
Penghambatan biosintesis protein pada sel prokariot ini bersifat sitostatik, karena mereka dapat menghentikan pertumbuhan dan pembelahan sel. Bila sel dipindahkan ke media bebas antibiotik, mereka dapat tumbuh kembali setelah antibiotik berkurang dari sel kecuali streptomisin yang mempunyai aktivitas bakterisid. Pengaruh zat ini terhadap sel eukariot diperkirakan sitotoksik. Beberapa penghambat ribosom 80s seperti puromisin dan sikloheksimid sangat toksik terhadap sel mamalia, oleh karena itu tidak digunakan untuk terapi, sedang tetrasiklin mempunyai toksisitas relatif kecil bila digunakan oleh orang dewasa. Tetrasiklin menghambat biosintesis protein yang terdapat pada ribosom 80s dan 70s. Erytromisin berikatan dengan ribosom 50s. Streptomisin berikatan dengan ribosom 30s dan menyebabkan kode mRNA salah dibaca oleh tRNA, sehingga terbentuk protein abnormal dan non fungsionil (Geografi, dkk., 2014)
c.       Antibiotik yang menghambat permeabilitas atau fungsi membran sel
Membran sitoplasma bakteri dan jamur tertentu lebih mudah dirusak oleh agen tertentu daripada membran sel hewan (Katzung, 2009). Antibiotik yang mengubah tegangan permukaan, dapat merusak permeabilitas selektif dari membran sel mikroba (Gunawan, 2009). Akibatnya, aktivitas kemoteraupetik selektif dapat terjadi. Antibiotik yang berperan dalam menghambat fungsi membran sel yaitu azoles, polien, dan polimiksin (Katzung, 2009). Polimiksin dapat merusak membran sel setelah bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membran sel mikroba. Polimiksin tidak efektif terhadap bakteri Gram-positif karena jumlah fosfor bakteri ini lebih sedikit. Antibiotik polien bereaksi dengan struktur sterol pada membran sel. Oleh karena itu, bakteri tidak sensitif terhadap antibiotik polien, karena tidak memiliki struktur sterol pada membran selnya (Gunawan, 2009).
d.      Antibiotik yang menghambat metabolisme sel mikroba 
Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini ialah sulfonamida, trimetoprim, p-aminosalisilat acid (PAS) dan sulfon. Antibiotik ini bekerja dengan efek bakteriostatik. Mikroba membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya (Gunawan, 2009). Bakteri patogen harus mensintesis sendiri asam folat dari para amino benzoic acid (PABA). Sulfonamida bersaing dengan PABA dalam pembentukan asam folat sehingga mencegah bergabung ke dalam folat. Trimetoprim bekerja dengan menghambat enzim dihidrofolat reduktase (FAH2) sehingga asam dihidrofolat tidak dapat direduksi menjadi asam tetrahidrofolat (FAH4) yang berfungsi (Gunawan, 2009). PAS adalah analog PABA yang menghambat asam folat pada Mycobacterium tuberculosis (Gunawan, 2009). Sulfonamid adalah analog struktur PABA dan menghambat dihidropteroat sintetase (Katzung, 2009). Sulfonamida tidak efektif terhadap Mycobacterium tuberculosis dan sebaliknya PAS tidak efektif terhadap bakteri yang sensitif terhadap Sulfonamida (Gunawan, 2009).
e.       Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba (Permenkes, 2011)
1)      Kuinolon
a)      Asam nalidiksat
Asam nalidiksat menghambat sebagian besar Enterobacteriaceae
b)      Flourokuinolon
Golongan flourokuinolon meliputi nofloksasin, siprofolosasin, ofloksasin, moksifloksasin, dan lain-lain. Flourokuinolon bisa digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh gonokokus, Shigella, E, coli, Salmonella, Haemophilus, Moeaxella caraeehalis serta Enterobacteriaceae dan  P. aeruginisa.
2)      Nitrofiran
Nitrofiran meliputi nitrofurantoin, furazolidin, dan nitrofurazon. Absorbsi melalui saluran cerna 94% dan idak berubah dengan adanya makanan. Nitrofuran bisa menghambat gram positid dan negatif, termasik E. coli, Staphtlococcus sp., Klebsiella sp, Enterococcus sp, Neisseria sp, Salmonella sp, Shigella sp, dan Proteus sp.

III.    Penerapan Antibiotik di Kedokteran Gigi
Pada penerapannya di dunia kedokteran gigi, antibiotik digunakan untuk 2 tujuan yaitu, sebagai berikut (Udaykumar, 2007).:
A.    Sebagai pengobatan atau terapi antibiotik
Pemberian antibiotik sebagai pengobatan atau terapi antibiotik bisa pada peradangan odontogenik maupun kasus non-odontogenik. Untuk kasus odontogenik Pengobatan diberikan dalam beberapa situasi peradangan odontogenik akut yang berasal dari pulpa misalnya sebagai pendukung dalam perawatan saluran akar, gingivitis nekrotis ulseratif akut, abses periapikal, periodontitis agresif, abses periodontal, dan osteomyelitis. Pemberian antibiotik tidak disarankan pada kasus gingivitis. Perluasan inflamasi cepat dan berat sebaiknya dirawat dengan pemberian antibiotik, sementara inflamasi yang ringan dan terlokalisir dimana drainase dapat dilakukan, maka pemberian antibiotik tidak perlu. Abses peridontal sering dirawat dengan insisi dan drainase tanpa pemberian antibiotik karena abses periodontal jarang disertai demam, malaise, limfadenopati, dan tanda-tanda sistemik lainnya. Tetapi, abses periodontal perlu diberikan terapi antibiotik ketika disertai tanda dan gejala sistemik, atau ketika insisi dan drainase tidak dapat dilakukan. Hal ini berbeda pada terapi antibiotik untuk peradangan yang berasal dari pulpa atau periapikal, dimana seharusnya lebih agresif karena lebih cenderung meluas ke permukaan wajah. Terapi antibiotik untuk kasus abses periodontal diberikan dalam dosis tinggi dan durasi yang singkat. Perawatan osteomyelitis yaitu berupa terapi antibiotik dan pembedahan. Dikarenakan keanekaragaman bakteri penyebabnya, pembuatan kultur dan tes sensitivitas sesegera mungkin menjadi penting untuk mendapatkan terapi antibiotik yang paling tepat.
Antibiotik turunan β-laktam dapat dipertimbangkan sebagai antibiotik pilihan, asalkan tidak ada alergi. Namun, hanya sedikit obat dari kelompok ini yang dapat diresepkan. Peradangan non-odontogenik yang termasuk peradangan spesifik dari rongga mulut (TBC, sifilis, lepra), dan peradangan nonspesifik membran mukosa, otot dan wajah, kelenjar ludah dan tulang. Proses ini membutuhkan perawatan yang panjang, dan obat yang digunakan biasanya termasuk klindamisin dan flurokuinolon (seperti siprofloksasin, norfloksasin, dan moksifloksasin).
B.     Sebagai profilaksis antibiotik
Pengobatan sebagai profilaksis ini diberikan dengan tujuan sebagai pencegahan endokarditis infektif yang dindikasikan pada pasien yang berisiko dalam hal prosedur invasif dalam rongga mulut. Indikasi pemakaian antibiotik dengan tujuan ini adalah pada pasien dengan katup jantung buatan, riwayat endokarditis, memeiliki penyakit jantung kongenital seperti jantung konginetal sianosis dan lain-lain. Pengobatan dengan tujuan ini juga diindikasikan untuk pasien dengan riwayat peradangan prostesis sendi.
Pada kasus kedokteran gigi penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien sehat ini hanya dianjurkan dalam kasus pencabutan gigi impaksi, bedah periapkal, bedah tulang, bedadh implan, penyambungan tuland dan operasi untuk timor jinak. Antibiotik ini juga tidak boleh sembarangan diberikan pada pasien dengan faktor risiko peradangan lokal atau sistemik termasuk pasien onkologi, pasien dengan kekebalan tubuh rendah, pasien dengan gangguan metabolik seperti diabetes, dan pasien yang telah menjalani splenektomi–antibiotik profilaksis harus diberaikan sebelum melakukan prosedur invasif. Kontraindikasi penggunaan obat ini adalah pada prosedur dental atau keadaan seperti anestesi topikal pada jaringan yang tidak meradang, pengambilan radiografi gigi, penggunaan gigitiruan lepasan atau alat ortodontik, penyesuaian alat ortodontik, penempatan braket ortodontik, dan pencabutan gigi desidui serta perdarahan karena trauma di bibir dan mukosa.

Pada dunia kedokteran gigi, pemberian jenis antibiotik tidak boleh sembarangan hanya menurut kepercayaan dokter giginya saja, namun pemberian antibiotik harus sesuai dengan indikasi dari pasien. Berikut merupakan indikasi penggunaan antibiotik kedokteran gigi (Udaykumar, 2007).
Tabel 1.2 Indikasi Penggunaan Antibiotik Kedokteran Gigi
Keadaan
Pilihan obat
Obat alternatif
Penyakit periodontal

• GUNA (gingivitis ulseratif nekrose akut)


• Penisilin V,
• Amoksisilin


• Metronidazole,
• Tetrasiklin


• Abses periodontal


• Penisilin V


• Tetrasiklin


Localized juvenile periodontitis


• Doksisiklin,
• Tetrasiklin


• Amoksisilin ditambah metronidazole
• Augmentin (amoksisilin ditambah klavulanat)


• Periodontitis pada dewasa


• Tidak indikasi antibiotik


• Klindamisin


Rapid advancing periodontitis (RAP) atau Periodontitis agresif


• Doksisiklin,
• Tetrasiklin,
• Metronidazole


• Amoksisilin ditambah metronidazole

Peradangan Oral

• Peradangan jaringan lunak (abses, selulitis fasial, pasca-bedah, perikoronitis)


• Penisilin V
• Amoksisilin


• Doksisiklin
• Klindamisin
• Sefalosporin
• Tetrasiklin


• Osteomyelitis


• Penisilin V
• Amoksisilin


• Klindamisin
• Sefalosporin
• Siprofloksasin
• Eritromisin

Peradangan campuran yang tidak sensitif terhadap penisilin

• Peradangan akibat bakteri aerob


• Amoksisilin


• Sefalosporin
• Sulfonamid
• Tetrasiklin


• Peradangan karena bakteri anaerob dan kronis


• Metronidazole
• Klindamisin


• Sefalosporin
• Augmentin
• Tetrasiklin
• Metronidazole + pensilin

Profilaksis
Mencegah endokarditis infektif
• Pasien dengan penyakit jantung reumatik dan katup jantung buatan
• Pasien dengan riwayat endokarditis infektif
• Pasien dengan penyakit jantung bawaan (misalnya penyakit jantung sianotik)
• Penerima cangkok jantung
• Pada penderita valvulopati

Profilaksis peradangan lokal
• Pada pasien sehat (misalnya kasus pencabutan gigi impaksi, bedah periapikal, bedah tulang, bedah implan, penyambungan tulang, dan operasi untuk tumor jinak)
• Pada pasien dengan penyakit sistemik (pasien onkologi, pasien imunosupresan, pasien dengan gangguan metabolik seperti diabetes tidak terkontrol, dan pasien yang telah menjalani splenektomi)

Tidak alergi pada penisilin – PO:
Amoksisilin
Pasien yang tidak dapat diberikan PO, maka pemberian melalui IV/IM:
• Ampisilin
• Sefazolin atau seftriakson

Pasien yang alergi dengan penisilin atau ampisilin, pemberian melalui PO:
• Klindamisin
• Azitromisin/ klaritromisin

Pasien yang alergi dengan ampisilin atau penisilin dan tidak dapat diberikan PO, maka diberikan IV/IM:
• Sefazolin atau seftriakson
• Klindamisin

Pemberian dosis antibiotik pada perawatan kedokteran gigi juga tidak boleh sembarangan, berikut merupakan tabel pemberian dosis dan jalr pemberian dari substansi obat pada peradangan odontogenik dan tabel pemberian dosis dan pemilihan waktu pemberian pada endokarditis bakterial pada prosedur oral (Udaykumar, 2007).
Tabel 1.3 Penggunaan dosis antibiotik pada peradangan odontogenik
Substansi Obat
Jalur Pemberian
Dosis
Amoksisilin
po
500 mg/8 jam
Amoksisilin-Asam Klavulanat
po

• 250 mg amoksisilin+125 mg klavulanat/8 jam
• 500 mg amoksisilin+125 mg klavulanat/8 jam

Klindamisin
po
ringan-sedang: 150-300 mg/6 jam
berat: 300-450 mg/6 jam
Azitromisin
po
500 mg/24 jam 3 hari berurutan
Siprofloksasin
po
500 mg/12 jam
Metronidazol
po
500-750 mg/8 jam
Sefadroksil
po
500-1000 mg/12 jam
Eritromisin
po
250 mg/6 jam atau 500 mg/12 jam
Gentamisin
Im atau iv
240 mg/24 jam
Penisilin
im atau iv
1,2-2,4 juta IU/24 jam hingga 24 juta IU/24 jam



Tabel 1.4 Penggunaan dosis antibiotik sebagai profilaksis antibiotik pada endokarditis bakterial pada prosedur oral
Antibiotik
Dosis
Peemilihan Waktu
Amoksisilin
2 g po
½-1 jam sebelum
Ampisilin
2 g im atau iv
½ jam sebelum
Klindamisin
600 mg po
1 jam sebelum

600 mg po atau iv
½ jam sebelum
Sefaleksin atau Sefadroksil
2 g po
1 jam sebelum
Azitromisin atau Klaritromisin
500 mg po
1 jam sebelum
Eritromisin
500 mg po
1 jam sebelum
Sefazolin
1 g im atau iv
½ jam sebelum
Seftriakson
1 g im atau iv
1 jam sebelum










IV.    Resistensi terhadap Antibiotik
          Resistensi merupakan tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri dengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yang seharusnya atau kadar hambat minimalnya. Resistensi terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau lain hal yang menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia atau bahan lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi. Bakteri yang mampu bertahan hidup dan berkembang biak, menimbulkan lebih banyak bahaya. Kepekaan bakteri terhadap kuman ditentukan oleh kadar hambat minimal yang dapat menghentikan perkembangan bakteri (Utami, 2011).Timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotika terjadi berdasarkan salah satu atau lebih mekanisme berikut (Utami, 2011):
A.    Bakteri mensintesis suatu enzim inaktivator atau penghancur antibiotika. Misalnya Stafilokoki, resisten terhadap penisilin G menghasilkan beta-laktamase, yang merusak obat tersebut. Betalaktamase lain dihasilkan oleh bakteri batang Gram-negatif.
B.     Bakteri mengubah permeabilitasnyaterhadap obat. Misalnya tetrasiklin, tertimbun dalam bakteri yang rentan tetapi tidak pada bakteri yang resisten.
C.     Bakteri mengembangkan suatu perubahan struktur sasaran bagi obat. Misalnya resistensi kromosom terhadap aminoglikosida berhubungan dengan hilangnya (atau perubahan) protein spesifik pada subunit 30s ribosom bakteri yang bertindak sebagai reseptor pada organisme yang rentan.
D.    Bakteri mengembangkan perubahan jalur metabolik yang langsung dihambat oleh obat. Misalnya beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamid tidak membutuhkan PABA ekstraseluler, tetapi seperti sel mamalia dapat menggunakan asam folat yang telah dibentuk.
E.     Bakteri mengembangkan perubahan enzim yang tetap dapat melakukan fungsi metabolismenya tetapi lebih sedikit dipengaruhi oleh obat dari pada enzim pada kuman yang rentan. Misalnya beberapa bakteri yang rentan terhadap sulfonamid, dihidropteroat sintetase, mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi terhadap sulfonamid dari pada PABA
Resistensi antibiotika adalah penggunaan yang meluas dan irasional. Terjadinya resistensi antibiotika bisa terjadi apabila ada faktor-faktor yang mendukung terjadinya resistensi, beberapa faktornya antara lain (Utami, 2011):
A.    Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional)
Terlalu singkat, dalam dosia yang terlalu rendah, diagnosa awal yang salah, dalam potensi yang tidak adekuat.
B.     Faktor yang berhubungan dengan pasien.
Pasien dengan pengetahuan yang salah akan cenderung menganggap wajib diberikan antibiotik dalam penanganan penyakit meskipun disebabkan oleh virus, misalnya flu, batuk-pilek, demam yang banyak dijumpai di masyarakat. Pasien dengan kemampuan finansial yang baik akan meminta diberikan terapi antibiotik yang paling baru dan mahal meskipun tidak diperlukan. Bahkan pasien membeli antibiotika sendiri tanpa peresepan dari dokter (self medication). Sedangkan pasien dengan kemampuan finansial yang rendah seringkali tidak mampu untuk menuntaskan regimen terapi.
C.     Peresepan
Peresepan dalam jumlah besar, meningkatkan unnecessary health care expenditure dan seleksi resistensi terhadap obat-obatan baru. Peresepan meningkat ketika diagnose awal belum pasti. Klinisi sering kesulitan dalam menentukan antibiotik yang tepat karena kurangnya pelatihan dalam hal penyakit infeksi dan tatalaksana antibiotiknya.
D.    Penggunaan monoterapi
Dibandingkan dengan penggunaan terapi kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi.
E.     Perilaku hidup sehat
Hal ini terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya mencuci tangan setelah memeriksa pasien atau desinfeksi alat-alat yang akan dipakai untuk memeriksa pasien.
F.      Penggunaan di rumah sakit
Adanya infeksi endemik atau epidemik memicu penggunaan antibiotika yang lebih massif pada bangsalbangsal rawat inap terutama di intensive care unit. Kombinasi antara pemakaian antibiotik yang lebih intensif dan lebih lama dengan adanya pasien yang sangat peka terhadap infeksi, memudahkan terjadinya infeksi nosokomial.
G.    Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak
Antibiotik juga dipakai untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi pada hewan ternak. Dalam jumlah besar antibiotik digunakan sebagai suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan ternak. Bila dipakai dengan dosis subterapeutik, akan meningkatkan terjadinya resistensi.
H.    Promosi komersial dan penjualan besar-besaran oleh perusahaan farmasi serta didukung pengaruh globalisasi memudahkan terjadinya pertukaran barang sehingga jumlah antibiotika yang beredar semakin luas. Hal ini memudahkan akses masyarakat luas terhadap antibiotika.



Daftar Pustaka


Geografi, L., Wahyono, D., dan Yasin, N. M., 2014, Evaluasi penggunaan antibiotik untuk terapi infeksi saluran kemih pada pasien sindrom nefrotik pediatri, Jurnal Majanemen dan Pelayanan Farmasi, 4(1): 1-6.

Gunawan S.G., 2009, Farmakologi dan Terapi, Edisi Kelima, Balai Penerbit FK UI, Jakarta.

Heningtyas, S. A. P. dan Hedriani, 2017, Evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien rawat inap dirumah sakit “x” provinsi jawa barat secara kuantitatif pada bulan november-desember 2017, Jurnal Farmaka, 16(2): 97-104.

Katzung, B.G., 2009, Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi kelima, Salemba Medika, Jakarta.

Mahmudah, F., Sumiwi, S. A., dan Hartini, S., 2016, Studi penggunaan antibiotik berdasarkan atc/ddd dan du 90% di bagian bedah digestif di salah satu rumah sakit di bandung, Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, 5(4): 293-398.

Negara, K. S., 2014, Analisis implementasi kebijakan penggunaan antibiotika rasional untuk mencegah resistensi antibiotika di rsup sanglah denpasar: studi kasus infeksi methicillin resistant staphylococcus aureus, Jurnal Administrasi Kebijakan Kesehatan, 1(1): 42-50.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/MENKES /PER/XII/2011 Tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik.

Pratiwi, S.T., 2008, Mikrobiologi Farmasi, Erlangga, Jakarta.

Udaykumar,P., 2007, Textbook of Pharmacology for Dental and Allied Health Sciences, Jaypee Brothers Medical Publishers, India.

Utami, E. R., 2011, Antibiotika, resistensi, dn rasionalitas terapi, Jurnal El-hayah, 1(4): 191-198.

Yarza, H. L., Yanwirasti, dan Irawati, L., 2015, Hubungan tingkat pengetahuan dan sikap dengan penggunaan antibiotik tanpa resep dokter, Jurnal Kesehatan Andalas, 4(1): 151-156.

No comments:

Post a Comment

Health Management

Health Management 1.       Kewajiban-kewajiban pemerintah dalam Undang-Undang Kesehatan Pada Undang Undang Republik Indonesia Nomor ...