Wednesday, April 29, 2020

Analgesik dan Anti-Inflamasi


Analgesik dan Anti-Inflamasi

I.         Mekanisme Nyeri
Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut (Bahrudin, 2017). Nyeri merupakan suatu mekanisme bagi tubuh dan individu untuk melindungi diri dan bereaksi untuk menghilangkan rasa sakit tersebut (Febrina, dkk., 2016). Nyeri tidak muncul dengan sederhana, mekanisme timbulnya nyeri datang karena proses multipel yaitu mosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik, rerorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat 4 proses tersendiri, yaitu (Bahrudin, 2017):
A.    Transduksi
Transduksi merupakan proses dimana akhiran saraf aferen menerjemahkan stimulus (misalnya pembedahan) ke dalam impuls nosiseptif. Ada 3 tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu A-beta, A-delta, dan C, dimana serabut yang merespon secara maksimal terhadap stimulasi non noksius yaitu A-delta dan C. Ada reseptor lain selain reseptor diatas yang dinamakan serabut sataf aferen silent nociceptor yang juga terlibat dalam proses transduksi, yang  tidak berespon terhadap stimulasi eksternal tanpa adanya mediator inflamasi.
B.     Transmisi
Transmisi adalah proses dimana impuls disalurkan menuju kornu dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak. Neuron aferen primer merpakan penerima aktif dari sinyal elektrik dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dan selanjutnya berhubungan dengan banyak neuron spinal.
C.     Modulasi
Modulasi adalah proses amplifiaksi sinyal neural terkait nyeri (pain related neural signals). Pada kornu dorsalis medula spinalis proses ini terutama terjadi, namun mungkin juga terjadi di level yang lain. Serangkaian reseptor opioid ditemukan di kornu dorsalis seperti mu, kappa, dan delta. Sistem nosiseptof juga mempunyai jalur desending dari korteks frontalis, hipotalamus, dan area otak lainnya ke otak tengah (midbrain) dan medula oblongata, lalu menuju ke medula spinalis. Hasil dari proses inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau bahkan penghambatan (blok) sinyal nosiseptif di kornu dorsalis.
D.    Presepsi
Presepsi dalam hal ini bisa kita sebut presepsi nyeri. Presepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Presepsi ini merupakan hasil dari interaksi 3 proses sebelumnya, aspek psikologis dan aspek karakteristik individu lainnya. Organ tubuh ujung syaraf  bebas nerfungsi sebahai reseptor nyeri yang dalam kulit merespon stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nociseptor. Secara anatomis nociseptorada yang bermuyelin ada juga yang tidak bermiyelin dari syaraf aferen.
Gambar 1.1 Proses Perjalanan Nyeri
          Nyeri bisa diatasi dengan menggunakan berbagai macam obat analgesik. Mekanisme analgesik di dalam tubuh yaitu dengan cara menghalangi pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri, saraf sensoris, dan sistem syaraf pusat (Flood, dkk., 2016).

II.      Analgesik
Analgesik adalah obat yang digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit atau obat-obat penghilang nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Pada kehidupan sehari-hari kita sadar tidak sadar kita sering menggunakannua seperti untuk meredakan sakit kepala atau sakit giigi, dimana salah satu komponen obat yang kita minum biasanya mengandung analgesik atau pereda nyeri (Mita dan Husni, 2017). 
Dikenal sebagai pereda rasa nyeri WHO mempunyai strategi farmakologi yang dinamakan “WHO Three Step Analgesic Ladder”, yaitu (Wardani, 2014):
A.    Tahap pertama dengan menggunakan obat analgetik non-opioid seperti NSAID atau COX2 spesific inhibitors.
B.     Tahap kedua, dilakukan apabila pasien masih mengeluh nyeri. Maka pasien akan diberikan obat-obat non-opioid seperti tahapan pertama namun ditambahkan obat opioid namun secara intermiten,
C.     Tahap ketiga, memberikan obat seperti pada tahap keda namun ditambah opioid yang lebih kuat.
Seperti yang sudah disebutkan di atas obat analgesik dibagi menjadi 2 yaitu (Mita dan Husni, 2017):
A.    Analgesik non-opioid
Obat analgesik non-opioid dalam ilmu farmakologi sring disebut dengan analfgetik/analgetika/analgesik periger. Analgetik terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Obat ini cendering dapat menghilangkan rasa sakit atau meringankan rasa sakit tanpa berpengarruh pada sistem susunan saraf pusat dan bahkan tidak menurunkan tingkat kesadaran. Obat ini juga tidak menyebabkan adanya efek adiksi pada penggunanya (Fro, 2018). Berikut merupakan contoh obat analgetik:
1.      Parasetamol
Parasetamol merupakan obat analgesik dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di sistem saraf pusat. Parasetamol tidak empunyai daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung. Parasetamol mempunyai efek samping ringan dan aman untuk anak-anak (kecuali dengan pertimbangan khusus dari dokter) (Indra, 2013).
a.       Farmakokinetik
Parasetamol cepat di absorbsi dari saluran pencernaan dengan kadar serum puncak di capai dalam 30-60 menit. Waktu paruh dari paracetamol ini kira-kira 2 jam. Metabolisme di hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari protein hati (Fro, 2018).
b.      Farmakodinamik
Efek dari analgetik parasetamol adalah menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang, karena hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer. Praseamol menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Parasetamol menghambat siklooksigenase sehinga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari aspirin sehingga obat ini menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat peraturan panas. Obat ini menekan efek pirogen endogen denga menghambat sintesa prostaglandin, tetapi demam yang diakibatkan pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian upa pengingkatan suhu sebab lain, seperti latihan fisik (Fro, 2018).
c.       Indikasi
Indikasinya adalah untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang seperti sakit kepala, sakit gigi, dan menurunkan demam (Fro, 2018).
d.      Kontraindikasi
Kontraindikasinya adalah pada pasien dengan allergi obat NSAID, memderita hepatitis, gangguan hati atau ginjal, dan alkoholisme. Parasetamol juga tidak boleh diberikan secara berulang kali kepada penderita anemia dan gangguan jantung, paru, dan ginjal (Fro, 2018).
B.     Analgesik Opioid
Analgesik opioid adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusa secara selektif. Obat ini digunakan untuk mengurangi rasa sakit, yang moderat ataupun berat, seperti rasa sakit yang disebabkan oleh penyakit kanker, serangan jantung akut, sesudah operasi atau penyakit ginjal. Analgesik jenis ini sering juga digunakan untuk pramediaksi anastesi, bersama dengan atropin untuk mengontrol sekresi (Nurmayanti, 2013).
Aktivitas analgesik ini jauh lebih besar dibandignkan dengan analgesik non-opioid dimana apabila disalah gunakan pada umumnya akan menimbulkan efek euforia pada pengguna. Pemberian obat ini secara terus menerus dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan mental atau kecanduan yang terjadi secara cepat. Kelebihan dosis bisa menyebabkan kematian akibat terjadinya depresi pernafasan (Nurmayanti, 2013). Berikut merupakan beberapa contoh obat analgesi opioid:
1.      Morfin
Morfin merupakan jenis obat yang digunakan untuk mengatasi rasa sakit yang terbilang parah dan berkepanjangan atau kronis. Morfin bekerja pada syaraf dan otak sehingga tubuh tidak merasakan rasa sakit.
a.       Farmakokinetik
Resorbsi di usus baik, namun bioavaiilbilitnya hanya sekitar 25% karena first pass effect yang besar. Morfin bekerja setelah 1-2 jam dan bertahan hingga 7 jam. Morfin dimetabolisme dalam hati dan eksresi melalui kemih, empedu dengan siklus enterohepatis dan tinja (Tjay dan Rahardja, 2010).
b.      Farmakodinamik
Obat in ibekerja dengan cara berikatan dengan reseptor opioid pada sistem syaraf pusat, menghambat jalur nyeri, mengubah persepsi dan respon terhadap rasa sakit dan menghasilkan depresi umum sistem syaraf pusat (Tjay dan Rahardja, 2010)
c.       Indikasi
Khusus pada nyeri hebat, akut dan kronis. Seperti fase terminal dari kanker. (Tjay dan Rahardja, 2010)
d.      Kontraindikasi
Pada pasien dengan alergi, pada pasien dengan ileus paralitik, diare dimediasi toksik, depresi pernafasan, asma ronkial akut atau berat dan lain-lain (Tjay dan Rahardja, 2010).
2.      Kodein
Kodein merupakan alkaloida alamiah yang terdapat dalam opium mentah. kodein mempunyai efek analgesik lemah, sekitar 1.12 dari kekuatan analgesik morfin. kodein adalah antitusif (antibatuk) (Joewana, 2003).
a.       Farmakokinetik
Absorbsi dalam salluran cerna cukup baik, resorbsi rektal baik. Metabolisme ada di hati. Eksresi lewat kemih sebagai glukoronida dan 10% secara utuh. Kodein mulai bekerja pada waktu 15 menit dan efek dapat bertahan selama 6-16 jam (Nurmayanti,2013).
b.      Farmakodinamik
Kodeine, seperti halnya agonis reseptor opioid lain yang lazim digunakan secara klinis, bekerja melalui aktivasi reseptor µ (Mu Opioid Receptor, MOR). MOR terdapat pada SSP, jaringan saraf selain SSP, dan jaringan nonsaraf. Meskipun ada indikasi mekanisme kerja codeine terhadap MOR yang berperan dalam efek analgesik kodein, hal tersebut bukanlah satu-satunya efek kodein terhadap tubuh manusia. Keberadaan MOR yang luas di berbagai jaringan membuat penggunaan codeine sangat rentan terhadap efek samping yang berhubungan dengan senyawa opiat. Efek samping terkait penggunaan codeine yang diperantarai MOR antara lain depresi napas akibat penurunan sensitivitas kemoreseptor karbon dioksida di medula, mual dan muntah akibat rangsangan pusat muntah di medula, serta penurunan transit makanan di saluran cerna. Berbagai efek codeine terhadap banyak sistem organ inilah yang harus menjadi faktor pertimbangan dokter dalam meninjau manfaat dan risiko penggunaan codeine sebagai pereda nyeri (McDonald dan Lambert, 2016).
c.       Indikasi
Memiliki khasiat sama seperti morfin namun lebih lemeh 6-7 kalinya. (Tjay dan Rahardja 2010).
d.      Kontraindikasi
Pada anak anak usia dibawah 12 tahun dan usia 12-18 tahun pasca operasi tonsil dan adenoid. Pada pasien geriatri pria. Penggunaan juga perlu diwaspadai pada pasien dengan masalah peningkatan tekanan intrakranial, penurunan kesadaran, dan tekanan darah rendah (Yaigella, dkk., 2011).

III.   Mekanisme Peradangan
Peradangan adalah reaksi lokal jaringan pembuluh darah terhadap cedera dan sering disertai nekrosis. Penyebab umum terjadinya peradangan adalah infeksi bakteri dan virus maupun tumor, infark miokard akut, dan proses-proses rematik. Sekalipun etiologi pasti tidak diketahui, memastikan atau menyingkirkan adanya suatu proses peradangan dengan pemeriksaan-pemeriksaan laboratorium pada seorang pasien yang menunjukkan gejala-gejala dan tanda-tanda yang samar-samar seperti dapat membantu memastikan apakah harus dilakukan pemeriksaan lanjutan atau menfghubungkan gejala tersebut dengan sebab-sebab psikologis. Pada pasien dengan peradangan yang jelas, respons terhadap terapi mungkin harus dipantau. Oleh karena itu, sebuah strategi yang baik untuk manajemen peradangan juga penting (Speicher dan Smith, 1996).

IV.   Anti Inflamasi
Obat anti-inflamasi adalah obat yang memberikan efek analgesik dan antipiretik. Obat anti inflamasi ini dibagi menjadi 2 yaitu anti inflamasi kortikosteroid dan anti inflamasi nonsteroid atau NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs) (Yaigela, dkk., 2011). Obat-obat ini mempunyai fungsi dan cara kerjanya sendiri, yaitu sebagai berikut:
A.    Anti Inflamasi Steroid
Obat anti-inflamasi steroid mempunyai farmakodinamik menghambat fosfolipase, suatu enzim yang berperan menghambat asam arakhidonat dari memberan lipid. Contoh obat golongan ini adalah hodrokortison, prednison, betametason, dan deksametason. Indikasi obat obat ini adalah pada pasien kondisi asma, rheumatoid arthritis, bronkitis dan lain-lain. Kontraindikasinya adalah pada ibu hamil, menyusui, pada penderita tikak lambung atau ulkus usus dua belas jari (duodenum) (Yaigela, dkk., 2011).
B.     Anti Inflamasi Non-Steroid
NSAID adalah kelompok obat yang digunakan untuk meredakan nyeri, serta peradangan yang ditandai dengan kulit kemerahan, terasa hangat, dan bengkak. Selain itu, obat in ijuga dapat digunakan untuk menurunkan demam. NSAID sering dikonsumsi untuk mengatasi sakit kepala, nyeri menstruasi, flu, radang sendi, cedera sendi, atau kesleo. Contoh dari NSAID adalah natrium diklofenak, ibuprofen, asam mefenamat, dan beberapa obat selective cox-2 inhibitor. Farmakodinemik NSAID adalah menghambat siklooksigenase (COX 1 dan 2) untuk menghentkan stimualsi hormon prostaglandin, karena hormon tersebut memicu peradangan dan menguatkan impuls listrik yang terkirim dari saraf ke otak sehingga meningkatkan rasa nyeri (Crofford, 2013).
Obat ini di absorbsi secara cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Obat ini mencapai konsentrasi tertinggi dalam plasma dalam 30 menit. Indikasi penggunaan obat ini adalah pada pasien reumatoid artitis, pengobatan migren, mialgia, dissmenorrjea, flu, nyeri post operasi dan lain-lain. Kontraindikasinya adalah pada pasien dengan tukak lambung, enteritis, gangguan ginjal, asma, hipersensitif dan lain-lain (Yaigela, dkk., 2011).

Daftar Pustaka


Bahrudin, M., 2017, Patofisiologi nyeri, Jurnal Patofisiologi Nyeri, 13 (1): 7-13.

Crofford, LJ, 2013, Use of NSAIDS in Treating Patients with Arthritis. Arthritis Research & Therapy.

Febrina, E., Nasrullah, D., Subarnas, A., dkk., 2016, Aktivitas analgesik ekstrak, fraksi n-heksan, etil asetat, dan air buah pandan laut (pandanus tectorius) pada mencit dengan metode geliat, Jurnal Farmaka, 14(2): 1-10

Flood P, Rathmell JP, dan Shafer S., 2016, Stoelting’s Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice 5th Edition. Wolter Kluwer Health

Fro, G., 2018, Paracetamol: Perfect Treatment for Fever, Pains, Migraine Attack, Menstrual Cramp and Joint Pains, CreateSpace Independent Publishing Platform, California.

Indra, I., 2013, Farmakologi tramadol, Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 13(1): 50-54.

Joewana, 2003, Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif: Penyalahgunaan Napza/Narkoba, Penerbit Buku Kedoteran EGC, Jakarta.

McDonald J., dan  Lambert DG, 2016, Opioid mechanisms and opioid drugs. Anaesth Intensive Care Med, 17(9):464–468.

Mita, S. R., dan Husni, P., 2017, Pemberian pemahaman mengenai penggunaan obat analgesik secara rasional pada masyarakat arjasari kabupaten bandung, Jurnal Aplikasi Ipteks untuk Masyarakat, 6(3): 193-195.

Speicher, C. E., dan Smith, J. W., 1996, Pemilihan Uji Laboratorium yang Efektif, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Tjay dan Rahardja, 2010, Obat-Obat Penting Edisi Keenam Khasiat, Penggunaan, dan Efek Sampingnya, PT. Alex Media Komputindo, Jakarta.

Wardani, N. P., 2014, Manajemen Nyeri Akut, Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali.

Weaver JM, 2013, New FDA Black Box Warning for Codeine: How Will This Affect Dentists? Anesth Prog, 60(2):35–36.

Yaigela, J. A., Dowd. F. J., Johnson, B. S., dkk., 2011, Pharmacology and Therapeutics for Dentistry, Mosby Elsevier, Missouri.

No comments:

Post a Comment

Health Management

Health Management 1.       Kewajiban-kewajiban pemerintah dalam Undang-Undang Kesehatan Pada Undang Undang Republik Indonesia Nomor ...