Sunday, January 6, 2019

Hubungan Antara Dokter dan Pasien

I.               Transaksi Terapetik Dokter dan Pasien
Transaksi terapetik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatan dipusatkan untuk kebutuhan pasien (Uripni, dkk., 2002). Transaksi ini juga merupakan perjanjian berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedia belah pihak, perjanjian ini memiliki objek dan sifat yang khusus (Nasution, 2005).
Transaksi ini dilakukan dengan suasana saling percaya mempercayai (konfidential), dimana bentuk perjanjiannya yaitu penjanjian melakukan usaha (perikatan usaa) untuk menyembuhkan pasiennya, bukan perjanjian hasil (memperjanjikan kesembuhan) (Octovian dan Sitohang, 2017). Transaksi ini bukan hanya berlaku untuk dokter dan pasien saja namun juga tenaga medis yang lainnya. Transaksi ini dilakukan karena masyarakat menggantungkan harapan hidup dan/atau kesembuhan pasien kepada tenaga medis (Yunanto, 2011).

II.            Informed Concent
Informed concent adalah surat pernyataan persetujuan yang disetujui pasien atau orang tuanya untuk setiap tindakan perawatan yang mengandung risiko (Sariningsih, 2006). Informed consent diatur dalam pasal 45 Undang-undang no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Di dalam pasal pasal peraturan tersebut menyatakan setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) juga bisa menjadi dasar hukum dari informed concent dimana walaupun tidak menyebutkan kataa-kata ini secara langsung. Di dalam KUHPer ini dijelasskan bahwa suatu perajanjian tidak diharuskan secara tertulis kecuali untuk perjanjian-perjanjian tertentu yang secara khusus disyaratkan adanya formalitas ataupun perbuatan (fisik) tertentu. Dijelaskan juga arti perjanjian pada pasal 1313 tentang harusnya melibatkan 2 orang ata lebih, lalu dipertehas dalam pasal 1320 KUHPer bahwa haruslah dibuat kata sepakat dari pihak tanpa adanya paksaan kekhilafan maupun penipuan (Octovian dan Sitohang, 2017).
Saat terjadi perjanjian antara dokter dan pasien dengan menggunakan informed concent perlu digarisbawahi yaitu persetujuan ini bisa diberikan apabila pasien sudah menerima penjelasan dari dokter. Pasien atau keluarga pasien harus mendapatkan informasi yang jelas mengenai tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter. Keharusan mendapat informasi yang jelas ini merupakan hal mutlak bagi pasien dan/atau keluarga pasien. (Mayasari, 2017). Sebagaimana yang sudah disebutkan juga pada Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 sekurang-kurangnya pasien mendapakan penjelasan yaitu (Wardhani, 2009):
A.      Diagnosis dan tata cara tindakan medis,
B.       Tujuan tindakan medis yang dilakukan,
C.       Alternatif tindakan lain dan risikonya,
D.      Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
E.       Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Informed concent atau persetujuan ini bisa dilakukan atau disetujui baik secara lisan maupun tertulis. Pada Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 290/Menkes/Per/III/2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran pasal 2 dan 3 disebutkan bahwa informed concent yang tertulis dilakukan pada tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi dan tindakan kedokteran yang tidak mengandung risiko tinggi bisa diberikan persetujuan secara lisan. Selain itu, dalam keadaan emergency informed concent tidak diperlukan dan menjadi tanggung jawab dari rumah sait dan dokter (Realita, 2016).
Informed concent yang tertulis wajib ditandatangani oleh pihak berwenang yaitu antara 2 pihak yang melaksanakan perjanjian. Pada Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 dijelaskan bahwa:
A.      Mereka yang ada dalam keadaan sadar dan sehat mental, telah berumur 21 tahun/telah melangsungkan perkawinan,
B.       Bagi mereka yang telah berusia lebih dari 21 tahun tapi di bawah pengampuan maka persetujuan diberikan oleh wali/pengampu
C.       Bagi mereka yang di bawah umur (belum 21 tahun & belum melangsungkan perkawinan) diberikan oleh orang tua/wali/ keluarga terdekat atau induk semang
D.      Bagi pasien yang dalam keadaan tidak sadar/pingsan & tidak didampingi oleh keluarga terdekat & secara medik memerlukan tindakan segera, tidak diperlukan persetujuan
E.       Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
F.        Yang bertanggungjawab atas pelaksanaan informasi & persetujuan adalah dokter, dalam hal dilaksanakan di RS/klinik, maka RS/klinik tersebut ikut bertanggungjawab.

III.         Hak dan Kewajiban Dokter dan Pasien
A.    HAK DAN KEWAJIBAN DOKTER
Hak dan Kewajiban Dokter ada pada Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 50 dan 51, berikut merupakan hak dan kewajiban dokter dan dokter gigi:
1.      Hak:
a.       Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai standar profesi dan standar operasional prosedur.
b.      Memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar operasional prosedur.
c.       Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya.
d.      Menerima imbalan jasa.
2.      Kewajiban:
a.       Memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar operasional prosedur serta kebutuhan medis.
b.      Apabila tidak tersedia alat kesehatan atau tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan/pengobatan, bisa merujuk pasien ke dokter/sarana kesehatan lain yang mempunyai kemampuan lebih baik.
c.       Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan setelah pasien itu meninggal dunia.
d.      Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang mampu melakukannya.
e.       Mengikuti perkembangan ilmu kedokteran.
B.       Hak dan Kewajiban Pasien
Hak dan Kewajiban Dokter ada pada Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 52 dan 53, berikut merupakan hak dan kewajiban pasien:
1.      Hak:
a.    Mendapatkan penjelasan lengkap tentang rencana tindakan medis yang akan dilakukan dokter.
b.    Bisa meminta pendapat dokter lain (second opinion).
c.    Mendapat pelayanan medis sesuai dengan kebutuhan.
d.   Bisa menolak tindakan medis yang akan dilakukan dokter bila ada keraguan.
e.    Bisa mendapat informasi rekam medis.
2.      Kewajiban:
a.    Memberikan informasi yang lengkap, jujur dan dipahami tentang masalah kesehatannya.
b.    Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter.
c.    Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan.
d.   Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
IV.        Perbedaan Inspaning Verbintenis dan Resultant Verbintenis
A.      Inspaning Verbintenis
Inspaning verbintenis merupakan perikatan berdasarkan usaha daya upaya aatau ikhtiar untuk mencapai suaru hasil. Pasien memberikan kepercayaan sepenuhnya pada dokter supaya dokter berupaya semaksimal mungkin untuk menyembuhkan pasien. Jadi pada perikatan ini dokter tidak menjamin dan menjanjikan bahwa pasien akan sembuh (Putra, 2001).
B.     Resultaats Verbintenis
Resultaats verbintenis merupakan perikatan berdasarkan prestasi atau hasil kerja, misal pada contoh untuk kasus dokter gigi adalah membuat gigi palsu, pada dokter ahli orthopedi membuat prothesa kaki, pada dokter ahli bedah kosmetik yang memperbaiki agar gidung mancung atau bentuk bagian tubuh lainnya (Putra, 2001).

V.            Analisis Skenario
A.      Skenario
-

B.     Analisis Berhubungan dengan Kontrak Terapetik, Hak dan Kewajiban Dokter
Pada skenario ini kontrak terapetik yang dilakukan keduanya adalah pertama-tama pada keinginan Wanda yang mempercayai drg. Ricky ini untuk menangani sakit yang dideritanya. Pada skenario ini drg. Ricky sudah memenuhi beberapa hal dan kewajibannya sebagai dokter gigi, hak yang sudah ia dapatkan adalah info lengkap dari pasien pada kasus ini dan ia juga sidah menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya seperti melayani Wanda sesuai dengan prosedur yang seharusnya dijalankan yaitu prosedur perawatan saluran akar dimana drg. Ricky juga sudah menjelaskan semua informasi yang berhak didapatkan oleh Wanda sebagai pasien. Tetapi ada juga hak yang bisa dibilang tidak terpenuhi yaitu menerima imbalan jasa, dalam kasus ini dijelaskan bahwa Wanda meminta diskon perawatan dan meminta cicilan pada proses pembayarannya. Apabila persetujuan dari masalah pembayaran ini dilaksanakan pada awal saat pembentukan informed concent maka hal ini tidak masalah karena sudah ada perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, namun disisi lain apabila hal ini belum disetujui oleh kedua belah pihak, hal ini bisa dibawa sampai ke ranah hukum. Pada kasus ini juga disebutkan bahwa ada tetangga dari pasien Wanda yang menyampaikan bahwa dokter memberikan garansi perawatan dengan hasil yang memuaskan dan perawatannya cepat. Hal ini apabila disebutkan oleh drg. Ricky sendiri maka hal ini sangat melanggar kode etik kedokteran karena seorang dokter tidak boleh menjanjikan kesembuhan pasien dari awal kontrak terapetik yang dilakukan juga karena ada beberapa risiko yang tidak bisa ditebak oleh seorang dokter itu sendiri yang dinamakan risiko medis yang juga akan dijelaskan pada awal informed consent. Disisi lain apabila tetangganya tersebut yang menyebutkan mengenai garansi perawatan drg. Ricky maka hal tersebut tidak dipermasalahkan karena masyarakat mempunyai pandangan sendiri dan bisa berpendapat sesuai dengan yang ia dapatkan. Namun pada skenario ini menurut saya drg. Ricky tidak mungkin mengatakan bahwa dia dapat memberikan garansi perawatan cepat karena buktinya pada saat Wanda meminta untuk melakukan perawatan yang dipersingkat menjadi satu hari drg. Ricky tidak menyanggupi dan mengatakan bahwa hanya berusaha merawat dengan semaksimal mungkin sesuai dengan inspaning verbitenis dari tenanga medis. Pada kasus ini juga disebutkan bahwa Wanda sebagai seorang artis ingin mengiklankan tempat praktek drg. Ricky di media sosial miliknya, hal ini tidak diperbolehkan karena juga melanggar kode etik kedokteran. Di media sosial perawatan hanya boleh di sebarluaskan untuk kepentingan edukasi saja dimana untuk membantu masyarakat mengerti akan hal yang terjadi pada kesehatan diri dia masing-masing.



Daftar Pustaka

 

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)

Mayasari, D. E., 2017, Tinjauan yuridis tentang informed consent sebagai hak pasien dan kewajiban dokter, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika, 13(2): 93-102.

Nasution, B. J., 2005, Hukum Kesehatan Pertanggungkan Dokter, Rineka Cipta, Surabaya.
Octovion, E. S., 2017, Kajian hukum mengenai persetujuan tindakan medis (informed consent) dalam pelayanan kesehatan ditinjau dari aspek hukum perjanjian, Jurnal Lex Crimen, 6(9): 50-57.

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran

Putra, S., 2001, Ispaningsverbintenis dan resultaatsverbintenis dalam transaksi terapeutik kaitannya dengan uu no. 8 tahun 1999 tentang perlindungan pasien, Jurnal Hukum, 8(18), 199-211.

Realita, F., Widanti, A., dan Wibowo, D. B., 2016, Implementasi persetujuan tindakan medis (informed consent) pada kegiatan bakti sosial kesehatan di rumah sakit islam sultan agung semarang, Jurnal Hukum Kesehatan, 2(1): 30-41.

Sariningsih, E., 2006, Teknik Mengeluarkan Gigi Fraktur Dengan Mudah Dan Cepat, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

Uripni, C. L., Sujianto, U., dan Indrawati, T., 2002, Komunikasi Kebidanan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Wardhani, R., K., 2009, Tinjauan yutidis persetujuan tindakan medis (infored concent) di rsup dr. kariadi semarang, Thesis, Universitas Diponegoro, Semarang.
Yunanto, 2011, Pertanggungjawaban dokter dalam transaksi terapeutik, Jurnal Law Reform, 6(1): 109-123.


No comments:

Post a Comment

Health Management

Health Management 1.       Kewajiban-kewajiban pemerintah dalam Undang-Undang Kesehatan Pada Undang Undang Republik Indonesia Nomor ...