Sunday, January 6, 2019

Tindakan Malpraktik dan Sengketa Medik


I.         Aturan Tentang Batasan Dokter Boleh Mengiklankan Diri
Seorang dokter tidak diperkenankan untuk mengiklankan dirinya dan kehebatannya dalam menyembuhkan pasien. Seorang dokter harus sadar dimana semua kemampuan baik pengetahuan dan ketrampilan profesi yang ia miliki adalah karena karunia dan kemurahan dari Tuhan Yang Maha Esa saja (Pelafu, 2015).
Batasan pengiklanan diri dari dokter diatur dalam kode etik kedokteran indonesia pasal 4 yang berbunyi “Setiap dokter harus menghindari diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri” dalam pasal ini dijelaskan bahwa ridak boleh mengiklankan kemampuannya, atau kelebihan-kelebihan yang dimilikinya baik lisan maupun dalam tulisan (Pelafu, 2015).
Selain pada kode etik kedokteran indonesia, aturan tentang pengiklanan diri ada pada pasal 3 yang berbunyi “Dalam menjalankan profesinya Dokter Gigi di Indonesia tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan untuk mencari keuntungan pribadi” dimana pada ayat 1 disebutkan juga bahwa jelasnya “Dokter Gigi di Indonesia dilarang melakukan promosi dalam bentuk apapun seperti memuji diri, mengiklankan alat dan bahan apapun, memberi iming-iming baik langsung maupun tidak langsung dan lain – lain, dengan tujuan agar pasien datang berobat kepadanya.” (Pokja Rancangan Kode Etik Kedokteran Gigi, 2014). 

II.      Definisi Malpraktik
Malpraktek adalah kegagalan seorang profesional untuk melakukan praktik sesuai dengan standar profesi yang berlaku bagi seseorang yang karena memiliki ketrampilan dan pendidikan, yang tidak boleh dilakukan oleh teaga kesehtan. Malpraktik bisa juga diartikan tidak melakukan apa yang harus dilakukan atau lalai dalam kewajibannya dan/atau melanggar suatu ketentuan berdasarkan peraturan perundang-undangan (Ake, 2002).
Menurut Azwar (1996 dalam Heryanto, 2010) malpraktik adalah kesalahan profesional oleh dokter yang dikarenakan saat melakukan pekerjaan profesionalnya tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau dikalukan oleh dokter pada umumnya dalam situasi dan kondisi yang sama. Azwar (1996 dalam Heryanto, 2010) juga menyebutkan bahwa malpraktik adalah kesalahan yang diperbuat oleh dokter, oleh karena melakukan pekerjaan kedokteran di bawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal, dapat dilakukan oleh setiap dokter dalam situasi atau tempat yang sama. (1996 dalam Heryanto, 2010) juga menegaskan malpraktik yang ketiga adalah setiap kesalahan profesional diperbuat oleh seorang dokter, yang di dalamnya termasuk kesalahan karena perbuatan yang tidak masuk akal karena keterampilan yang kurang dalam menyelenggarakan kewajiban atau keprofesionalan yang dimilikinya.
Dalam hukum Indonesia tidak dikenal adanya istilah malpraktik, baik dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan maupun dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Pada undang-undang tersebut malpraktik disebut sebagai kesalahan atau kelalaian dokter pada pasal 54 dan 55 Undang-undang No. 23 Tahun 1992, sedangkan disebutkan sebagai pelanggaran disiplin dokter pasal 84 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 (Heryanto, 2010).

III.   Macam-Macam Malpraktik
Malpraktik bisa dibagi menjadi 2 bentuk jika ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum yaitu (Isfandyarie, 2005):
A.      Malpraktek Etik (Ethical Malpractice)
Malpraktik etik adalah dimana saat seorang tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan etika profesinya. Etika yang dituangkan dalam kode etik merupakan standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku bagi tenaga kesehatan dalam kode etik dan bidangnya masing-masing.
B.       Malpraktik Yuridis (Yuridical Malpractice)
Malpraktik yuridis bisa dibedakan menjadi 3 bentuk, yaitu:
1.      Malpraktik Perdata (Civil Malpractice)
Malpraktik ini terjadi jika terdapat wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien. Pada malpraktik ini yang dijadikan ukuran adalah kelalaiannya yang ringan (culpa levis), namun apabila terjadi kelalaian berat (culpa lata) maka sudah termasuk ke malpraktik pidana. Contoh kasusnya adalah misal dokter meninggalkan sisa perban di dalam tubuh pasien, hal ini kesalahan masih dapat diperbaiki dengan adanya operasi kedua untuk mengambil perban sehingga tidka menimbulkan negatif yang berkepanjangan terhadap pasien.
2.      Malpraktik Pidana (Criminal Malpractice)
Malpraktik pidana terjadi apabila pasien meninggal atau mengalami kecacatan karena kekurang hati-hatian atau krang cermat dalam upaya perawatan, malpraktik pidana ada 3 bentuk, yaitu:
a.       Malpraktik pidana karena kesengajaan (intensional)
Malpraktik pidana karena kesengajaan terjadi misalnya tenaga medis yang tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat darurat padahal diketahui tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan yang tidak benar, selain itu melakukan aborsi tanpa tindakan medis juga termasuk dalam malpraktik ini
b.      Malpraktik pidana karena kecerobohan (recklessness)
Malpraktik pidana karena kecerobohan terjadi misalnya saat tenaga kesehtan melakukan tindakan tida sesuai dengan standar proefsi arau melakukn tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
c.       Malpraktik pidana karena kealpaan (negligence)
Malpraktik pidana karena kealpaan terjadi misalnya apabila terjadi kecacaran atau kematian pada pasien akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-hati.
3.      Malpraktik Administratif (Administrative Malpractice)
Malpraktik administratif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktik bidan tanpa lisensi atau izin praktik atau sudah kadaluarsa. Selain itu menjalankan praktik tanpa membuat catatan medik juga termasuk dalam malpraktik ini.

IV.   Peran PDGI, MKEK dan MKDKI dalam Penyelesaian Sengketa Medik
Penyelesaian sengketa medik bisa diselesaikan dengan berbagai cara. Peran Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) sebagai organisasi profesi dalam menyikapi anggotanya yang tersangkut dalam sengketa medis harus bijaksana. Dalam menyikapi anggotanya PDGI dapat membentuk Badan Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BPPA) berdasarkan pasal 7 ADRT tahun 2008. BPPA mempunyai tugas dan wewenangnya antara lain melaksanakan tugas pembelaan dan pembinaan pelaksanaan etik kedokteran gigi, disiplin dan hukum, memberi pertimbangan atau usul kepada yang berwenang atas pelanggaran etika, disiplin dan hukum, mengadakan konsultasi timbal balik dengan instansi terjait sehubungan dengna pembelaan dan pembinaan anggota (Budi, 2010).
PDGI memang telah menyiapkan BPPA untuk kepentingan membela anggotanya, namun apabila dokter gigi tersebut melanggal peraturan dan perundangan yang berlaku maka tidak akan dilindungi. Seorang dokter gigi akan dilindungi oleh BPPA apabila dituduh melanggar hukum dimana dokter gigi dalam melaksanakan tugas profesinya dilakukan sesuai dengan kode etik kedokteran gigi, lafal sumpah dokterm standar profesi, peraturan dan perundangan bagi tenaga kesehatan berlaku. Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung no. B 006/R-31/I/1982 tanggal 19 Oktober 1982 Tentang Perkara Profesi Kesehatan, bahwa tenaga kesehatan tidak meneruskan perkara sebelum konsultasi dengan pejabat Dinas Kesehatan atau Departemen Keseharan Republik Indonesia (Budi, 2010).
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) mempunyai peran dalam penyelesaian sengketa medik, MKEK mempunyai wewenangan untuk menyidangkan dokter apabila melanggar etika, selain itu MKEK juga dapat menyidangkan dokter yang melanggar disiplin profesi dokter di wilayah yang belum terdapat Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Apabila seorang dokter diduga melakukan sengketa medik yang berupa pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka dokter tersebut akan dipanggil dan disidang oleh MKEK untuk diintai pertanggung jawaban (etik dan disiplin profesi) nya (IDI, 2012; Sukohar dan Carolia, 2016).
Peran MKEK hanya melakukan persidangan disiplin profesi, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Putusan MKEK tidak ditunjukan untuk kepentingan peradilan, jadi tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di peradilan keuai atas perintah pengadilan sebagai permintaan keterangan ahli. Eksekusi putusan MKEK wilayah dilaksanakan oleh pengurus IDI wilayah yang bersangkutan (Sukohar dan Carolia, 2016).
MKDKI juga mempunyai peran dalam penyelesaian sengketa medik. MKDKI mempunyai tugas untuk menegakkan aturan-aturan dan ketentuan penerapan keilmuan kedokteran dalam pelaksanaan pelayanan medis yang seharusnya diikuti oleh dokter dan dokter gigi. Oleh karenanya MKDKI merupakan badan yang menagani kasus-kasus dugaan pelanggaran disiplin kedokteran atau kedokteran gigi dan menetapkan sangsi (Guwandi, 2009; Budi, 2010).
MKDKI menangani perkara sengketa medik berdasarkan Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia No. 17/KKI/KEP/VIII/2006 Tentang Penegakaan Disiplin Profesi Kedoktern. Pelanggaran disiplin dapat dikelompokkan menjadi 3 hal yaitu, melaksanakan praktik kedokteran yang tidak kompeten, tugas dan tanggung jawab profesional pada pasien tidak dilaksanakan dengan baik, berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi kedokteran (Nusye, 2009; Budi, 2010).

V.      Prosedur Penyelesaian Tindakan Malpraktik dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Medik
Penyelesaian tindakan malpraktik dan sengketa medik bisa dibilang dapat dilakukan dengan cara yang sama. Sengketa medik sendiri bisa dibilang sebagai malpraktik medik karena malpraktik sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh dokter saja namun juga dilakukan oleh profesional-profesionalnya pada profesinya masing-masing (Putra, 2012).
Penyelesaian tindakan malpraktik dan sengketa medik bisa dilakukan dengan berbagai cara yaitu:
A.      Mediasi
Mediasi adalah hal yang biasa dilakukan dalam suatu persoalan kehidupan. Ini merupakan proses bernegosiasi dengan melibatkan pihak diluar yang bersengketa untuk membantu kedua belah pihak mendapatkan keputusan. Pihak ketiga biasanya dipilih karena kehendak sendiri, ditunjuk oleh penguasa, atau diminta oleh kedua belah pihak (Fuady, 2000). Keuntungan menggunakan jalan ini adalah menghasilkan kesepakatan win-win solution sehingga para pihak secara bebas menentukan kesepakatan dan tetap mempunyai hubungan baik antar pihak yang bersegketa (Putra, 2012).
B.       Lembaga Profesi
Dikarenakan zaman yang sudah berkembang, dan masyarakat yang berkembang dugaan malpraktik semakin marak terjadi. Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai lembaga yang bernama MKDKI yang bisa mengkaji kejadian malpraktik dan sengketa medik. MKDKI bertugas mengkaji apakah dugaan malpraktik yang dilakukan oleh seorang dokter tersebut benar adanya. MKDKI akan mencari tau apakah kerugian yang dialami pasien dikarenakan oleh kelalaian atau risiko tindakan medik. Apabila disebabkan oleh kelalaian maka pasien berhak mendapatkan ganti rugi, sedangkan apabila disebabkan oleh risiko tindakan medik maka tidak akan mendapatkan ganti rugi. MKDKI bisa menjalankan tugasnya apabila ada pengaduan, apabila pengaduan diterima maka akan disidangkan dan apabila melanggar disiplin ada beberapa rekomendasi sanksi yaitu peringatan tertulis atau pencabutan STR sementara atau tetap (Seran dan Setyowati, 2010).
C.       Peradilan
Apabila lembaga profesi menduga kasus malpraktik yang diadukan oleh masyarakat didapati melanggar hukum MKDKI akan menganjurkan supaya bisa dibawa ke pengadilan untuk diperiksa, karena Undang-Undang Praktik Kedokteran hanya fokus pada disiplin kedokteran saja, dan gugatan pidana atau perdata diserahkan kepada peradilan umum dengan memakai saksi ahli apabila diperlukan. Di peradilan, dokter akan disidang sesuai dengan pasal-pasal dalam KUHP atau KUHPer sesuai dengan kesalahan yang dilakukan oleh dokter tersebut. Selanjutnya apabila dokter terbukti bersalah makan akan dihukum sesuai dengan tindakannya dan apabila tidak dihukum akan dibebaskan dan dibersihkan nama baiknya (Yunanto dan Helmi, 2010).



Daftar Pustaka


Ake, J., 2002, Malpraktik dalam Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Azwar, A., 1996, Kriteria Malpraktik dalam Profesi Kesehatan, Makalah Kongres Nasional IV PERHUKI, Surabaya.

Budi, A., T., 2010, Upaya bantuan hukum dokter gigi dalam menghadapi sengketa medis, Jurnal PDGI, 59(1): 1-7.

Fuady, M., 2000, Abritase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Guwandi, J., 2009, Pengantar Ilmu Hukum Medik dan Bioetika, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Heryanto, B., 2010, Malpraktik dokter dalam perspektif hukum, Jurnal Dinamika Hukum, 10(2): 183-191.

Ikatan Dokter Indonesia, Kode Etik Kedokteran Indonesia, IDI, Jakarta.

Isfandyarie, A., 2005, Malpraktek dan Resiko Medik, Prestasi Pustaka, Jakarta.

Nusye, K. J., 2009, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktik, Pustaka Yustisia, Yogyakarta.

PB PDGI, 2008, Anggaran Dasar Rumah Tangga, Konggres PDGI XXIII, Surabaya.

Pelafu, J., 2015, Pelaksanaan penegakan kode etik kedokteran, Jurnal Lex Crimen, 4(3): 43-49.

Pokja Rancangan Kode Etik Kedokteran Gigi, 2014, Lafal Sumpah Dokter Gigi Dan Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia, Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Jakarta.

Putra, R. K., 2012, Peran ikatan dokter indonesia dalam penyelesaian kasus sengketa medik di polda diy, Skripsi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Seran, M., dan Setyowati, A. M. W., 2010, Dilema Etik dan Hukum dalam Pelayanan Medis, Mandar Maju, Bandung.

Sukohar, A., dan Carolia, N., Peraan majelis kehormatan etik kedokteran indonesia, Jurnal Kedokteran Unila, 1(2): 363-368.

Yunanto, A., dan Helmi, 2010, Hukum Pidana Malapraktik Medik Tinjauan dan Prespektif Medikolegal, Penerbit Andi, Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment

Health Management

Health Management 1.       Kewajiban-kewajiban pemerintah dalam Undang-Undang Kesehatan Pada Undang Undang Republik Indonesia Nomor ...