Transaksi
terapetik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan
kegiatan dipusatkan untuk kebutuhan pasien (Uripni, dkk., 2002). Transaksi ini
juga merupakan perjanjian berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan
kewajiban bagi kedia belah pihak, perjanjian ini memiliki objek dan sifat yang
khusus (Nasution, 2005).
Transaksi
ini dilakukan dengan suasana saling percaya mempercayai (konfidential), dimana
bentuk perjanjiannya yaitu penjanjian melakukan usaha (perikatan usaa) untuk
menyembuhkan pasiennya, bukan perjanjian hasil (memperjanjikan kesembuhan)
(Octovian dan Sitohang, 2017). Transaksi ini bukan hanya berlaku untuk dokter
dan pasien saja namun juga tenaga medis yang lainnya. Transaksi ini dilakukan
karena masyarakat menggantungkan harapan hidup dan/atau kesembuhan pasien
kepada tenaga medis (Yunanto, 2011).
II.
Informed Concent
Informed
concent adalah surat pernyataan persetujuan yang disetujui pasien atau orang
tuanya untuk setiap tindakan perawatan yang mengandung risiko (Sariningsih,
2006). Informed consent diatur dalam pasal 45 Undang-undang no 29 tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Di dalam pasal
pasal peraturan tersebut menyatakan setiap tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) juga bisa menjadi dasar hukum dari
informed concent dimana walaupun tidak menyebutkan kataa-kata ini secara
langsung. Di dalam KUHPer ini dijelasskan bahwa suatu perajanjian tidak
diharuskan secara tertulis kecuali untuk perjanjian-perjanjian tertentu yang
secara khusus disyaratkan adanya formalitas ataupun perbuatan (fisik) tertentu.
Dijelaskan juga arti perjanjian pada pasal 1313 tentang harusnya melibatkan 2
orang ata lebih, lalu dipertehas dalam pasal 1320 KUHPer bahwa haruslah dibuat
kata sepakat dari pihak tanpa adanya paksaan kekhilafan maupun penipuan
(Octovian dan Sitohang, 2017).
Saat
terjadi perjanjian antara dokter dan pasien dengan menggunakan informed concent
perlu digarisbawahi yaitu persetujuan ini bisa diberikan apabila pasien sudah
menerima penjelasan dari dokter. Pasien atau keluarga pasien harus mendapatkan
informasi yang jelas mengenai tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter.
Keharusan mendapat informasi yang jelas ini merupakan hal mutlak bagi pasien dan/atau
keluarga pasien. (Mayasari, 2017). Sebagaimana yang sudah disebutkan juga pada
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 sekurang-kurangnya pasien mendapakan
penjelasan yaitu (Wardhani, 2009):
A. Diagnosis
dan tata cara tindakan medis,
B. Tujuan
tindakan medis yang dilakukan,
C. Alternatif
tindakan lain dan risikonya,
D. Risiko
dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
E. Prognosis
terhadap tindakan yang dilakukan.
Informed
concent atau persetujuan ini bisa dilakukan atau disetujui baik secara lisan
maupun tertulis. Pada Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
290/Menkes/Per/III/2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran pasal 2 dan 3
disebutkan bahwa informed concent yang tertulis dilakukan pada tindakan
kedokteran yang mengandung risiko tinggi dan tindakan kedokteran yang tidak
mengandung risiko tinggi bisa diberikan persetujuan secara lisan. Selain itu,
dalam keadaan emergency informed concent tidak diperlukan dan menjadi tanggung
jawab dari rumah sait dan dokter (Realita, 2016).
Informed
concent yang tertulis wajib ditandatangani oleh pihak berwenang yaitu antara 2
pihak yang melaksanakan perjanjian. Pada Permenkes Nomor 290 Tahun 2008
dijelaskan bahwa:
A. Mereka
yang ada dalam keadaan sadar dan sehat mental, telah berumur 21 tahun/telah
melangsungkan perkawinan,
B. Bagi
mereka yang telah berusia lebih dari 21 tahun tapi di bawah pengampuan maka
persetujuan diberikan oleh wali/pengampu
C. Bagi
mereka yang di bawah umur (belum 21 tahun & belum melangsungkan perkawinan)
diberikan oleh orang tua/wali/ keluarga terdekat atau induk semang
D. Bagi
pasien yang dalam keadaan tidak sadar/pingsan & tidak didampingi oleh
keluarga terdekat & secara medik memerlukan tindakan segera, tidak
diperlukan persetujuan
E. Dalam
keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah
kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
F.
Yang bertanggungjawab atas pelaksanaan
informasi & persetujuan adalah dokter, dalam hal dilaksanakan di RS/klinik,
maka RS/klinik tersebut ikut bertanggungjawab.
III.
Hak dan Kewajiban Dokter dan Pasien
A. HAK DAN KEWAJIBAN DOKTER
Hak dan Kewajiban Dokter ada pada Undang-Undang No.
29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 50 dan 51, berikut merupakan hak
dan kewajiban dokter dan dokter gigi:
1. Hak:
a.
Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai standar
profesi dan standar operasional prosedur.
b.
Memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar operasional
prosedur.
c.
Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya.
d.
Menerima imbalan jasa.
2. Kewajiban:
a.
Memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar operasional
prosedur serta kebutuhan medis.
b.
Apabila tidak tersedia alat kesehatan atau tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan/pengobatan, bisa merujuk pasien ke dokter/sarana kesehatan lain
yang mempunyai kemampuan lebih baik.
c.
Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan
setelah pasien itu meninggal dunia.
d.
Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang mampu melakukannya.
e.
Mengikuti perkembangan ilmu kedokteran.
B.
Hak dan Kewajiban
Pasien
Hak dan Kewajiban Dokter ada pada Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran Pasal 52 dan 53, berikut merupakan hak dan kewajiban pasien:
1.
Hak:
a.
Mendapatkan penjelasan lengkap tentang rencana tindakan medis yang akan
dilakukan dokter.
b.
Bisa meminta pendapat dokter lain (second opinion).
c.
Mendapat pelayanan medis sesuai dengan kebutuhan.
d.
Bisa menolak tindakan medis yang akan dilakukan dokter bila ada keraguan.
e.
Bisa mendapat informasi rekam medis.
2. Kewajiban:
a.
Memberikan informasi yang lengkap, jujur dan dipahami tentang masalah
kesehatannya.
b.
Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter.
c.
Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan.
d.
Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
IV.
Perbedaan Inspaning Verbintenis dan
Resultant Verbintenis
A. Inspaning
Verbintenis
Inspaning
verbintenis merupakan perikatan berdasarkan usaha daya upaya aatau ikhtiar
untuk mencapai suaru hasil. Pasien memberikan kepercayaan sepenuhnya pada
dokter supaya dokter berupaya semaksimal mungkin untuk menyembuhkan pasien.
Jadi pada perikatan ini dokter tidak menjamin dan menjanjikan bahwa pasien akan
sembuh (Putra, 2001).
B. Resultaats
Verbintenis
Resultaats
verbintenis merupakan perikatan berdasarkan prestasi atau hasil kerja, misal
pada contoh untuk kasus dokter gigi adalah membuat gigi palsu, pada dokter ahli
orthopedi membuat prothesa kaki, pada dokter ahli bedah kosmetik yang
memperbaiki agar gidung mancung atau bentuk bagian tubuh lainnya (Putra, 2001).
V.
Analisis Skenario
A. Skenario
-
B. Analisis
Berhubungan dengan Kontrak Terapetik, Hak dan Kewajiban Dokter
Pada
skenario ini kontrak terapetik yang dilakukan keduanya adalah pertama-tama pada
keinginan Wanda yang mempercayai drg. Ricky ini untuk menangani sakit yang
dideritanya. Pada skenario ini drg. Ricky sudah memenuhi beberapa hal dan
kewajibannya sebagai dokter gigi, hak yang sudah ia dapatkan adalah info
lengkap dari pasien pada kasus ini dan ia juga sidah menjalankan kewajibannya
sebagaimana mestinya seperti melayani Wanda sesuai dengan prosedur yang
seharusnya dijalankan yaitu prosedur perawatan saluran akar dimana drg. Ricky
juga sudah menjelaskan semua informasi yang berhak didapatkan oleh Wanda
sebagai pasien. Tetapi ada juga hak yang bisa dibilang tidak terpenuhi yaitu
menerima imbalan jasa, dalam kasus ini dijelaskan bahwa Wanda meminta diskon
perawatan dan meminta cicilan pada proses pembayarannya. Apabila persetujuan
dari masalah pembayaran ini dilaksanakan pada awal saat pembentukan informed
concent maka hal ini tidak masalah karena sudah ada perjanjian yang disetujui
oleh kedua belah pihak, namun disisi lain apabila hal ini belum disetujui oleh
kedua belah pihak, hal ini bisa dibawa sampai ke ranah hukum. Pada kasus ini
juga disebutkan bahwa ada tetangga dari pasien Wanda yang menyampaikan bahwa
dokter memberikan garansi perawatan dengan hasil yang memuaskan dan
perawatannya cepat. Hal ini apabila disebutkan oleh drg. Ricky sendiri maka hal
ini sangat melanggar kode etik kedokteran karena seorang dokter tidak boleh
menjanjikan kesembuhan pasien dari awal kontrak terapetik yang dilakukan juga
karena ada beberapa risiko yang tidak bisa ditebak oleh seorang dokter itu
sendiri yang dinamakan risiko medis yang juga akan dijelaskan pada awal
informed consent. Disisi lain apabila tetangganya tersebut yang menyebutkan
mengenai garansi perawatan drg. Ricky maka hal tersebut tidak dipermasalahkan
karena masyarakat mempunyai pandangan sendiri dan bisa berpendapat sesuai dengan
yang ia dapatkan. Namun pada skenario ini menurut saya drg. Ricky tidak mungkin
mengatakan bahwa dia dapat memberikan garansi perawatan cepat karena buktinya
pada saat Wanda meminta untuk melakukan perawatan yang dipersingkat menjadi
satu hari drg. Ricky tidak menyanggupi dan mengatakan bahwa hanya berusaha
merawat dengan semaksimal mungkin sesuai dengan inspaning verbitenis dari
tenanga medis. Pada kasus ini juga disebutkan bahwa Wanda sebagai seorang artis
ingin mengiklankan tempat praktek drg. Ricky di media sosial miliknya, hal ini
tidak diperbolehkan karena juga melanggar kode etik kedokteran. Di media sosial
perawatan hanya boleh di sebarluaskan untuk kepentingan edukasi saja dimana
untuk membantu masyarakat mengerti akan hal yang terjadi pada kesehatan diri
dia masing-masing.
Daftar Pustaka
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
Mayasari,
D. E., 2017, Tinjauan yuridis tentang informed consent sebagai hak pasien dan
kewajiban dokter, Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Katolik Darma Cendika, 13(2): 93-102.
Nasution,
B. J., 2005, Hukum Kesehatan
Pertanggungkan Dokter, Rineka Cipta, Surabaya.
Octovion,
E. S., 2017, Kajian hukum mengenai persetujuan tindakan medis (informed
consent) dalam pelayanan kesehatan ditinjau dari aspek hukum perjanjian, Jurnal Lex Crimen, 6(9): 50-57.
Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran
Putra,
S., 2001, Ispaningsverbintenis dan resultaatsverbintenis dalam transaksi
terapeutik kaitannya dengan uu no. 8 tahun 1999 tentang perlindungan pasien, Jurnal Hukum, 8(18), 199-211.
Realita,
F., Widanti, A., dan Wibowo, D. B., 2016, Implementasi persetujuan tindakan
medis (informed consent) pada kegiatan bakti sosial kesehatan di rumah sakit
islam sultan agung semarang, Jurnal Hukum
Kesehatan, 2(1): 30-41.
Sariningsih,
E., 2006, Teknik Mengeluarkan Gigi
Fraktur Dengan Mudah Dan Cepat, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
Uripni,
C. L., Sujianto, U., dan Indrawati, T., 2002, Komunikasi Kebidanan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Wardhani,
R., K., 2009, Tinjauan yutidis persetujuan tindakan medis (infored concent) di
rsup dr. kariadi semarang, Thesis,
Universitas Diponegoro, Semarang.
Yunanto,
2011, Pertanggungjawaban dokter dalam transaksi terapeutik, Jurnal Law Reform, 6(1): 109-123.
No comments:
Post a Comment