Sunday, December 2, 2018

Artikel Demam Thypoid dan Demam Parathypoid


Artikel Demam Thypoid dan Demam Parathypoid

I.          Gambaran Umum Thypoid dan Paratypoid
Demam thypoid adalah penyakit yang disebabkan kuman Salmonella typhii, kuman ini adalah kuman berbentuk batang yang merupakan kuman gram negatif dan anaerob (Tapan, 2004). Kuman pathogen ini menginfeksi usus halus, yang menyebabkan penderita mengalami panas dan ada keluhan pada saluran cerna yang muncul 1-3 minggu setelah terkena. Kuman ini biasanya ditularkan melalui konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh tinja atau urin orang yang terkontaminasi (Nuruzzaman dan Syahru, 2016).
Demam parathypoid adalah penyakit enterik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella paratyphoid. Secara klinis maupun patologis penyakit ini sama dengan demam thypoid namun biasanya lebih ringan (Alamsyah, 2006). Demam parathypoid ini mempunyai masa inkubasi lebih pendek dan masa sakit juga lebih pendek sehingga bisa dikatakan jika demam parathyfoid lebih ringan dibandingkan dengan demam thypoid (Djauzi, 2009).
II.       Insidensi Demam Thypoid dan Parathypoid
Menurut Cita (2011) dalam jurnalnya disebutkan bahwa di Indonesia insidensi demam thypoid dan parathypoid diperkirakan sekitar 300-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun , dimana ini berarti ada 600.000-1.500.000 kasus per tahun. Menurut jurnal Pramitasari (2013) disebutkan bahwa data WHO tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di dunia dengan indidensi 600.000 kasis kematihan per tahun. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009, demam tifoid atau paratifoid menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2009 yaitu sebanyak 80.850 kasus dan banyaknya pasien yang meninggal adalah 1.747 pasien. Sedangkan tahun 2010 yaitu sebanyak 41.081 paseien rawat inap di rumah sakit dan banyaknya pasien yang meninggal adalah 274 pasien.
Jurnal Purba dkk. (2016) menyebutkan bahwa, studi yang dilaukkan di daerah urban di negara Asia pada anak-anak usia 5-15 tahun menunjukkan bahwa insidensi dengan biakan darah positif mencapai 180-194 per 100.000 anak, di Asia Selatan sebesar 400-500 per 100.000 anak, di Asia Tenggara 100-200 per 100.000 anak, dan di Asia Timur Laut kurang dari 100 kasus per 100.000 anak.
III.    Etiologi Demam Thypoid dan Parathypoid
Demam thypoid dan parathypoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi atau Salmonella parathypi dari genus Salmonella enterica. Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif yang memiliki flagellata, berbentuk batang, tidak membentuk spora, otil, dan berkapsul. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti dalam air, sampah dan debu, bahkan bisa bertahan sampai selama beberapa bulan sampai setahun jika melekat di dalam tija, mentega, susu, keju, dan air beku, namun dapat mati dengan pemanasan suhu 60oC selama 15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi (Cita, 2011).
Bakteri Salmonella thypi dan Salmonella parathypi merupakan salah satu penyebab infeksi tersering di daerah tropis, khususnya tempat yang kumuh dengan kebersihan yang kurang. Infeksi dari bakteri ini biasanya masuk secara fekal-oral. Bakteri Salmonella thypi dan Salmonella parathypi ini harus mencapai usus halus untuk menimbulkan infeksi dari penyakit demam thypoid dan parathypoid ini. Salah satu faktor yang menghalangi Salmonella thypi mencapai usus halus adalah asam lambung, bila asam lambung berkurang atau makanan terlalu cepat melewat i lambung maka akan memudahkan infeksi Salmonella typhi (Cita, 2011).
Setelah masuk ke saluran cerna dan mencapai usus halus, Salmonella typhi akan ditangkap oleh makrofag di usus halus dan memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteremia primer. Selanjutnya, Salmonella typhi akan mengikuti aliran darah hingga sampai di kandung empedu. Bersama dengan sekresi empedu ke dalam saluran cerna, Salmonella typhi kembali memasuki saluran cerna dan akan menginfeksi Peyer’s patches, yaitu jaringan limfoid yang terdapat di ileum, kemudian kembali memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteremia sekunder. Pada saat terjadi bakteremia sekunder, dapat ditemukan gejala-gejala klinis dari demam tifoid (Cita, 2011).
IV.    Manifestasi Klinis Demam Typhoid dan Demam Paratyphoid
Manifestasi klinis penyakit ini dimulai dari masa inkubasi yang berlangsung pada umumnya 10-12 hari. Biasanya pada pada awal penyakit gejalanya tidak khas seperti anoreksia, rasa malas, sakit kepala bagian  depan, nyeri otot, lidah kotor, dan gangguan perut. Manifestasi klinis penyakt ini bisa dibagi menjadi minggu-minggu sebagai berikut (Nelwan, 2012):
A.    Minggu Pertama (Awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºC hingga 40ºC, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali per menit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan sembelit silih berganti.
Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Pada anak , diare dijumapi pada awal gejaa lalu dilanjutkan dengan konstipasi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ke-7 dan terbatas pada perut disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi.
B.     Minggu Kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi. Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif nadi penderita, semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh.
Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium. Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering, merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain.
C.     Minggu Ketiga
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa kurang fokus,otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Kembung masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.


D.    Minggu Keempat
Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.
V.       Patofisiologi Demam Thypoid dan Parathypoid
Patofisiologi penyakit ini dimulai dari kuman Salmonella typhi dan Salmonella parathypi  masuk ke saluran gastrointestinal akan masuk ke mukosa dan ditelan oleh makrofag di lamina propia lau masuk ke kelenjar getah bening mesenterium. Tidak semua kuman bisa masuk ke dalam usus halus, karerna sebagian akan dimusnahkan oleh asam lambung. Setelah masuk ke kelenjar getah bening bakteri memasuki peredaran darah lalu terjadi bakteremia pertama yang asimomatis, lalu masuk ke organ terutama hati dan tulang yang dilanjutkan dengan pelepasan kumam dan endotoksin ke peredaran darah sehingga menyebabkan bakteremia kedua. Sebagian kuman akan dikeluarkan bersama tinja karena kuman yang ada di hepar akan kembali lagi di usus halus lalu terjadi infeksi lagi (Cita, 2011; Nuruzzaman dan Syahru, 2016).
VI.    Manifestasi yang Muncul di Rongga Mulut pada Demam Thypoid dan Demam Parathypoid
Manifestasi yang muncul pada rongga mulut pada minggu pertama lidah penderita muncul tanda khas yaitu kotor di tengah, lalu bagian tepi dan ujung berwarna merah dan juga mengalami tremor atau bergerak. Selain itu di bagian tenggorokan terasa kering dan beradang. Sedangkan pada minggu kedua lidah tampak kering, merah, dan mengkilap (Nelwan, 2012). Selain yang sudah disebutkan, pada jurnal Pramitasari (2013) disebutkan juga jika manifestasi yang muncul di rongga mulut pada demam thypoid dan demam parathypoid adalah nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah.
VII. Terapi Demam Thypoid dan Demam Parathypoid
Pada penyakit demam thypoid dan demam parathypoid terapi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut (Rohama, 2016; Rahmasari dan Lestari, 2018):

A.    Terapi Farmakologis
Terapi ini bisa dilakukan dengan perawatan di rumah apabila keadaan umum dan kesadaran baik, sedangkan di lakukan di rumah sakit pada keadaan tertentu pada keadaan klinis pasien. Terapi farmakologis ini sendiri dibagi menjadi 3, yaitu:
1.      Terapi antibiotik (kecuali untuk ibu dan ibu menyusui)
a.       Ciprofloxacin
Obat ini tidak direkomendasikan pada anak-anak dibawah 15 tahun.
Dosis dewasa            : 1 gram/hari dalam 2 dosis terbagi.
Dosis anak-anak        : 30 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi
b.      Cefixime
Obat ini bisa menjadi alternatif dari Ciproflaxin bagi anak-anak di bawah 15 tahun.
Dosis anak-anak (lebih dari 3 bulan): 20 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi
c.       Amoksisilin
Obat ini diberikan jika tidak adanya resisten
Dosis dewasa            : 3 gram/hari dalam 3 dosis terbagi
Dosis anak-anak        : 75-100 mg/kg/hari dalam 3 dosis terbagi
d.      Kloramfenikol
Obat ini diberikan jika tidak adanya resisten dan menjadi pilihan utama.
Dosis anak-anak (1-12 tahun)           : 100 mg/kg/hari dalam 3 dosis terbagi
Dosis anak-anak (≥13 tahun)            : 3 gram/hari dalam 3 dosis terbagi
e.       Tiamfenikol
Obat ini mempunyai efek samping hematologis lebih jarang dibandingkan klorafenikol
Dosis: 75 mg/kgBB/hari

f.       Azitromisin
Obat ini efektif dan aman diberikan pada anak-anak dan dewsa yang menderita demam thyfoid tanpa komplikasi
Dosis: 20mg/kg/hari
g.      Cefriaxone
Obat ini digunakan saat bakteri dengan cepat berkembang resisten terhadap kuinolon.
Dosis dewasa: 2-4 gram sehari sekali
Dosis anak-anak: 75 mg/kg sehari sekali
2.      Terapi antibiotik untuk ibu dan ibu menyusui
a.       Amoksisilin
Obat ini diberikan jika tidak ada resisten
Dosis dewasa: 3 gram/hari dalam 3 dosis terbagi
b.      Ceftriaxone
3.      Terapi kortikoteroid
a.       Dexamethasone
Obat ini diberikan kepada pasien yang mengalami tifois berat dengan keadaan halusinasi, perubahan kesadaran, atau perndarahan usus)
Dosis awal      : 3 mg/kg setiap 6 jam
Dosis lanjutan: 1 mg/kg setiap 6 jam
B.     Terapi Non Farmakolofis
1.      Tirah baring
Dilakukan sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih sampai 14 hari.
2.      Diet lunak rendah serat
Asupan serat maksimal 8 gram/ hari, menghindari susu, daging berserat kasar, lemak, terlalu manis, asam , berbumbu tajam, serta diberikan dalam porsi kecil.
3.      Menjaga kebersihan
Tangan harus dicuci sebelum menangani makanan, selama persiapan makan, dan setelah menggunakan toilet.
VIII.   Daerah Endemi Demam Thypoid dan Demam Parathypoid di Indonesia
Negara indonesia sebenarnya merupakan negara yang endemik penyakit demam thypoid maupun parathypoid (Andayani dan Fibriana, 2018). Jadi ini membuktikan bahwa hampir seluruh daerah di Indonesia merupakan daerah endemik demam thypoid maupun parathypoid. Dalam jurnal Nadyah (2014) disebutkan bahwa Sulawesi Selatan merupakan daerah endemik penyakit ini. Selain itu disebutkan juga bahwan Jawa Tengah juga merupakan daerah endemik penyakit ini.
IX.         Daerah Endemi Demam Thypoid dan Demam Parathypoid di Luar Indonesia
Penyakit ini biasanya di temukan di negara-negara yang sedang berkembang dan negara tropis contohnya Indonesia. Sebagian kasus demam thypoid ini ditemukan di negara seperti Bangladesh, Laos, Nepal, Pakistan, India, dan Vietnam (Nandyah, 2014). Sedangkan untuk demam parathypoid sendiri biasanya terjadi pada area besar Asia, Africa, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan (Tjipto, 2009).



DAFTAR PUSTAKA


Alamsyah, S. 2006, Merakit Sendiri Alat Penjernih Air untuk Rumah Tangga, Kawan Pustaka, Jakarta.

Andayani, dan Fibriana, A. I., 2018, Kejadian demam tifoid di wilayah kerja puskersmas karangmalang, Higeia Journal of Public Health Research and Development, 2(1): 57-68.

Cita, Y. P., 2011, Bakteri salmonella typhi dan demam tifoid, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6(1): 42-46.

Djauzi, S., 2009, Raih Kembali Kesehatan, Kompas, Jakarta.

Nadyah, 2014, Hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi insidens penyakit demam tifoid di kelurahan samata kecamatan somba opu kabupaten gowa 2014, Jurnal Kesehatan, 7(1): 305-321.

Nelwan, R.H.H., 2012, Tata laksana terkini demam tifoid, Continuing Medical Education, 39(4): 247-250.

Nuruzzaman, H., dan Syahru;, F., 2016, Analisis risiko keadian demam tifoid berdasarkan kebersihan diri dan kebiasaan jajan di rumah, Jurnal Berkala Epidemiologi, 4(1), 74-86.

Pramitasari, O. P., 2013, Faktor risiko kejadian penyakit demam tifoid pada penderita yang dirawat di rumah sakit umum daerah ungaran, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2(1):1-10.

Purba, I. E., Wandra, T., Nugrahini, N., Nawawi, S., dan Kandun, N., 2016, Program pengendalian deman tifoid di indonesia: tantangan dan peluang, Media Litbangkes, 26(2): 99-108.

Rahmasari, V., dan Lestari K., 2018, Review: manajemen terapi demam ifoid: kajian terapi farmakologis dan non farmakologis, Jurnal Farmaka, 16(1):184-195.

Rohana, Y., 2016,  Perbedaan pengetahuan dan pencegahan primer demam tifoid balita antara oarng tua di pedesaan dan perkotaan, Jurnal Berkala Epidemiologi, 4(3): 384-395.

Tapan E., 2004, Flu, HFMD, Diare pada Pelancong, Malaria, Demam Berdarah, Malaria, Tifus, Pustaka Populer Obor, Jakarta.

Tjipto, B. W., Kristiana, L. dan Ristrini, 2009, Kajian faktor pengaruh terhadap penyakit demam tifoid pada balita indonesia, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 12(4):313-340.

1 comment:

  1. S128Cash adalah Situs Betting Online Indonesia Teraman dan Terpercaya yang menyediakan jasa taruhan Terbaik seperti Sportsbook, Live Casino, Sabung Ayam Online, IDN Poker, Slot Games Online, Tembak Ikan Online dan Klik4D.

    Hanya dengan modal Rp 25.000,- Anda sudah bisa bermain semua permainan.
    Disini juga menyediakan PROMO BONUS yang sangat mudah untuk didapatkan, yaitu :
    - BONUS NEW MEMBER 10%
    - BONUS DEPOSIT SETIAP HARI 5%
    - BONUS CASHBACK 10%
    - BONUS 7x KEMENANGAN BERUNTUN !!

    Sangat menguntungkan bukan? Segera daftarkan diri Anda bersama kami.
    Info lebih lanjut bisa hubungi kami melalui :
    - Livechat : Live Chat Judi Online
    - WhatsApp : 081910053031

    Link Alternatif :
    - http://www.s128cash.biz

    Judi Bola

    Agen Judi Bola Terbaik dan Terpercaya

    ReplyDelete

Health Management

Health Management 1.       Kewajiban-kewajiban pemerintah dalam Undang-Undang Kesehatan Pada Undang Undang Republik Indonesia Nomor ...