Sunday, December 2, 2018

“Aku Generasi Unggul Kebanggaan Bangsa Indonesia” Pencegahan Penyakit untuk Indonesia yang Lebih Baik


“Aku Generasi Unggul Kebanggaan Bangsa Indonesia”
Pencegahan Penyakit untuk Indonesia yang Lebih Baik

Oleh: Salwa Az-Zahra

Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Kesehatan adalah faktor penting untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, secara sosial dan ekonomi. Oleh sebab itu, setiap orang, di samping mempunyai hak, juga mempunyai kewajiban untuk memelihara dan melindungi kesehatan diri dan lingkungannya. Walaupun demikian, banyak orang dan masyarakat yang belum menyadari pentingnya kesehatan dalam kehidupannya. 
Kesadaran masyarakat yang kurang ini membuat laju pertumbuhan kesehatan di Indonesia menjadi buruk. Ketidaksadaran masyarakat mengenai kesehatan bisa dilihat melalui berbagai macam hal, yang pertama adalah tidak hadirnya para ibu untuk mengimunisasikan anaknya di posyandu. Hal ini yang mungkin dianggap sepele oleh para orang tua sebenarnya merupakan hal yang bisa membahayakan anak mereka sendiri maupun membahayakan masyarakat luas di sekitarnya. Tidak mendapatkan imunisasi terlebih imunisasi penyakit menular akan bisa berdampak pada tingkat kesehatan di Indonesia karena apabila satu orang terinfeksi suatu penyakit menular, ada kemungkinan besar untuk ditularkan kepada orang lain.
Yang kedua adalah merokok, berdasarkan data terakhir Riset Kesehatan Dasar 2013, perokok aktif mulai dari usia 10 tahun ke atas berjumlah 58.750.592 orang yang berarti lebih dari 22% masyarakat Indonesia merupakan perokok aktif. Saya mengatakan bahwa hal ini merupakan bentuk ketidaksadaran karena, para perokok aktif ini sebenarnya tau bahwa merokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit. Penyakit yang disebabkan bukan hanya berbahaya bagi dirinya sendiri namun lebih berbahaya bagi para perokok pasif.
Dua masalah ini merupakan hal yang sebenarnya bisa dicegah. Sebagai tenaga kesehatan sebaiknya harus memberikan banyak sosialisasi dan edukasi dari tingkatan bawah yaitu para anak-anak yang duduk di Sekolah Dasar sampai para orang tua hingga lansia. Dalam hal ini sebagai mahasiswa calon tenaga kesehatan, kita juga bisa ikut berkontribusi untuk melakukan edukasi ke masyarakat sesuai dengan ilmu yang sudah kita pelajari dalam perkuliahan.
Sebagai individu yang menjalani pendidikan pada bidang kesehatan. Untuk memulainya secara individu kita bisa melakukan edukasi kepada keluarga kita sebagai masyarakat yang paling dekat dengan kita. Selain keluarga, teman-teman dan tetangga juga bisa kita berikan edukasi terkait kesehatan.
Edukasi yang hanya dilakukan oleh individu menurut saya masih kurang bisa berpengaruh pada masyarakat. Untuk bisa membuat sosialisasi mengenai pentingnya pencegahan penyakit, kita bisa mengikuti organisasi yang berdasar untuk melakukan bantuan secara medis seperti yang saya ikuti yaitu Tim Bantuan Medis. Sosialisasi yang sudah pernah saya lakukan adalah sosialisasi mengenai cara menyikat gigi dengan baik dan cara mencuci tangan yang baik. Mungkin memang ini bukan suatu hal yang besar, namun dengan permulaan yang baik diharapkan kedepannya banyak organisasi-organisasi yang akan melakukan berbagai sosialisasi demi meningkatkan derajat kesehatan di Indonesia.
Sebagai calon dokter gigi, selain juga ikut berperan dalam pencegahan penyakit umum, ada yang lebih penting lagi yaitu pada peenyakit yang ada dalam bidang kita yaitu penyakit gigi dan mulut. Zaman sekarang banyak sekali masyarakat yang tidak mempedulikan kesehatan gigi dan mulut mereka. Sangat disayangkan hampir seuruh masyarakat di Indonesia belum memeriksakan giginya secara rutin yaitu 6 bulan sekali. Kebanyakan dari mereka hanya ke dokter gigi apabila mereka sudah merasakan sakit.
Sampai saat ini, masyarakat masih beranggapan bahwa kontrol ke dokter gigi 6 bulan sekali memerlukan biaya yang mahal. Sebenarnya hal itu sangat salah, sekarang ini masyarakat Indonesia sudah memiliki asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Asuransi BPJS ini bisa menjadi salah satu pemecah masalah kesehatan yang mahal. Sebagai calon tenaga kesehatan kita juga harus memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa pencegahan akan memakan uang yang lebih sedikit dibandingkan penyembuhan yang mempunyai risiko lebih tinggi.
Bahkan banyak sekali masyarakat yang sebenarnya merasakan sakit pada gigi mereka tapi hanya mengabaikannya karena menurut mereka ini merupakan penyakit yang sepele. Ini merupakan hal yang sangat fatal, masyarakat tidak tahu bahwa sakit gigi bisa menyebabkan masalah besar apabila dibiarkan. Penyakit jantung, stroke, dan kanker merupakan penyakit-penyakit dapat terjadi akibat sakit gigi. Rasa sakit gigi ada yang disebabkan oleh bakteri, bakteri ini dapat menempel pada arteri yang bisa menyebabkan penggumpalan darah. Penggumpalan darah inilah yang menyebabkan penyakit jantung jika menghalangi aliran darah ke jantung, dan menyebabkan stroke apabila menghalangi aliran darah ke arah otak. Apabila sakit gigi disebabkan oleh pembengkakan gusi apabila tidak segera diperiksakan ke dokter bisa menyebabkan rusaknya jaringan di sekitarnya dan menyebabkan kanker.
Edukasi-edukasi terhadap masalah-masalah kecil namum berdampak besar inilah yang merupakan tugas generasi unggul bangsa Indonesia untuk membawa Indonesia yang lebih sejahtera. Seperti pengertiannya saja kesehatan adalah hal yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Hidup sehat merupkan kunci utama untuk melakukan aktivitas-aktivitas produktif dalam kehidupan kita.
Apabila kita sehat, kita dapat menjalankan pekerjaan sehingga dapat mendapatkan uang untuk membiayai pendidikan. Tanpa adanya kesehatan, sesuai dengan alurnya sendiri kita tidak bisa menjalankan pendidikan. Tanpa adanya pendidikan, negara kita ini tidak akan bisa maju karena para masyarakatnya saj masih dirundung kebodohan tanpa pendidikan. Hal ini sangat disayangkan dimana mulai dari tahun 2015 sudah ada Masyarakat Ekonomi ASEAN yang dapat menyebabkan direbutnya kekuasaan masyarakat Indonesia di negara Indonesia ini sendiri karena masyarakatnya tidak bisa memimpin negaranya karena kurangnya pendidikan.
Kita bisa mencapainya apabila kita bersama-sama berjuang untuk mewujudkannya. Sebagai generasi unggul kebanggaan Indonesia kita harus senantiasa berjuang dengan semangat membara untuk memajukan Indonesia kita agar tidak terjajah untuk yang kedua kalinya. Tiga ratus lima puluh tahun sudah cukup kita terima sebagai penjajahan. Ini merupakan kepentingan bersama agar semua masarakat di Indonesia bisa menjalani hidup dengan layak di negaranya sendiri.
Hal ini memang sulit dilaksanakan, namun bersatu kita teguh bercerai kita runtuh harus selalu menjadi dasar kita untuk selalu maju berjuang demi Indonesia. Mulailah perubahan dari hal yang kecil dan dari diri kita sendiri dahulu untuk memajukan Indonesia yang sejahtera.

Essay “Peran Himpunan Mahasiswa dalam Memajukan KBMKG dengan Meningkatkan Solidaritas dan Eksistensi Ttanpa Batas dalam Lingkup Interna Maupun Eksterna”


Essay “Peran Himpunan Mahasiswa dalam Memajukan KBMKG dengan Meningkatkan Solidaritas dan Eksistensi Tanpa Batas dalam Lingkup Interna Maupun Eksterna”

Mahasiswa sebagai individu sendiri merupakan sosok yang besar dalam lingkup masyarakat sekitar. Masyarakat menganggap bahwa seorang mahasiswa merupakan orang yang dapat membantu masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintahan. Bukan hanya sebagai perantara aspirasi saja, sebagai mahasiswa kita juga merupakan seorang pelaksana untuk membantu kehidupan masyarakat yang membutuhkan bantuan para mahasiswa. Sebagai agen perubahan bergerak secara aktif merupakan hal yang utama, tanpa adanya keinginan untuk bergerak perubahan merupakan suatu hal yang fana dan hanya bisa di andai-andaikan saja. Dengan adanya potensi yang yang dimiliki oleh setiap individu mahasiswa, perubahan merupakan hal yang sangat mungkin bahkan pasti tapi harus tetap dibumbui dengan gerak aktif dari mahasiswa.
Organisasi sendiri merupakan suatu kelompok orang dua atau lebih yang berada dalam suatu lingkup yang mengerjakan hal secara bersama-sama dengan tujuan yang sama. Organisasi sendiri biasanya dibentuk untuk menjalankan suatu tujuan bersama yang akan bisa dicapai jika bekerja sama. Kerja sama yang dilakukan merupakan kerja sama tiap komponen yang ada di organisasi tersebut. Kerja sama tersebut apabila dilakukan secara bersama dan dilakukan secara tuntas oleh setiap komponennya, tujuan bersama dari organisasi tersebut pasti akan dengan mudahnya tercapai. Jika kerja sama dari tiap komponennya terdapat masalah, maka tujuan bersama organisasi ini akan sangat sulit untuk dicapai. Apabila tercapai, pasti ada beberapa komponen yang sangat bekerja keras untuk menutupi komponen-komponen yang kurang bekerja keras, sehingga terjadi ketidak adilan dalam pembagian tugas pada komponen organisasi tersebut.
Himpunan mahasiswa atau yang biasa disebut HIMA merupakan suatu organisasi di universitas yang berada pada tingkat jurusan. HIMA pada umumnya merupakan tempat berkumpulnya mahasiswa-mahasiswa yang berminat untuk mengembangkan diri baik secara interpersonal maupun intrapersonal. Pengembangan diri yang dilakukan mahasiswa biasanya dilakukan dengan menuangkan suatu ide dan gagasan mereka, bekarya, kreatif, dan inovatif, serta mengembangkan potensi, talenta, dan minat mereka dalam berbagai bidang. Perlu diketahui juga mahasiswa seringkali dalam kehidupan perkuliahan hanya berfokus pada kegiatan akademik, namun pada kenyataannya bidang non akademik juga diperlukan agar menyeimbangkan antara hard skill dengan soft skill. Kedua hal tersebut dapat dikembangkan melalui keikutsertaan dalam HIMA, serta beberapa program kerja yang dilaksanakan oleh HIMA.
Di dalam ruang lingkup internal HIMA maupun mahasiswa, adanya jiwa solidaritas yang tinggi antara satu dengan yang lain sangat penting karena pondasi yang kuat merupakan kunci dari bangunan yang kuat. Solidaritas dari warga KBMKG (Keluarga Besar Mahasiswa Kedokteran Gigi) bisa diciptakan dengan adanya beberapa proker yang dijalankan oleh HIMA seperti adanya program kerja Pronasi untuk meningkatkan jiwa kekompakkan tiap-tiap angkatan, program kerja Olabul yang dapat mempertemukan antara angkatan satu dan lainnya sehingga solidaritas antar warga KBMKG  ini dapat terus bertambah. Hal ini tentu saja memerlukan partisipasi dari segala unsur yang berada di KBMKG, tanpa adanya partisipasi maka akan sangat mustahil hal tersebut dapat terwujud sesuai keinginan kita.
Dengan adanya beberapa proker diatas kekerabatan yang erat dan juga tidak adanya sekat antar mahasiswa di berbagai angkatan akan hilang. Akhirnya antar mahasiswa akan mudah bertukar informasi maupun membantu dalam memecahkan berbagai masalah. Perlu di garis bawahi juga bahwa banyak sekali keuntungan yang dapat diberikan dengan adanya hubungan yang harmonis dalam KBMKG. Pada dasarnya sesuai dengan analogi sebuah biji kecambah, ketika biji itu ditanam di dalam tanah maka tentu akar akan tumbuh terlebih dahulu ke dalam tanah sebagai pijakan agar tanaman tidak goyah barulah batang daun, bunga dan buah menyusul menuju ke permukaan.
Setelah terbentuknya jiwa solidaritas dalam KBMKG, maka eksistensi dari KBMKG ini akan dengan mudah tercapai. Apabila terdapat hubungan yang harmonis dalam KBMKG maka program kerja yang akan dilakukan pasti dapat terlaksana dengan baik. Hal ini dikarenakan pergerakan yang harmonis dan kerja sama panitia penyelenggara yang baik, acara seperti SDSM ataupun Dentistry Perforation yang bisa meningkatkan eksistensi KBMKG menjadi lebih baik bisa benar-benar dimaksimalkan akibat adanya rasa memiliki dan solidaritas yang tinggi sehingga nama KBMKG pun akan bisa meningkat di mata masyarakat luas.


Artikel Demam Thypoid dan Demam Parathypoid


Artikel Demam Thypoid dan Demam Parathypoid

I.          Gambaran Umum Thypoid dan Paratypoid
Demam thypoid adalah penyakit yang disebabkan kuman Salmonella typhii, kuman ini adalah kuman berbentuk batang yang merupakan kuman gram negatif dan anaerob (Tapan, 2004). Kuman pathogen ini menginfeksi usus halus, yang menyebabkan penderita mengalami panas dan ada keluhan pada saluran cerna yang muncul 1-3 minggu setelah terkena. Kuman ini biasanya ditularkan melalui konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh tinja atau urin orang yang terkontaminasi (Nuruzzaman dan Syahru, 2016).
Demam parathypoid adalah penyakit enterik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella paratyphoid. Secara klinis maupun patologis penyakit ini sama dengan demam thypoid namun biasanya lebih ringan (Alamsyah, 2006). Demam parathypoid ini mempunyai masa inkubasi lebih pendek dan masa sakit juga lebih pendek sehingga bisa dikatakan jika demam parathyfoid lebih ringan dibandingkan dengan demam thypoid (Djauzi, 2009).
II.       Insidensi Demam Thypoid dan Parathypoid
Menurut Cita (2011) dalam jurnalnya disebutkan bahwa di Indonesia insidensi demam thypoid dan parathypoid diperkirakan sekitar 300-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun , dimana ini berarti ada 600.000-1.500.000 kasus per tahun. Menurut jurnal Pramitasari (2013) disebutkan bahwa data WHO tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di dunia dengan indidensi 600.000 kasis kematihan per tahun. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009, demam tifoid atau paratifoid menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2009 yaitu sebanyak 80.850 kasus dan banyaknya pasien yang meninggal adalah 1.747 pasien. Sedangkan tahun 2010 yaitu sebanyak 41.081 paseien rawat inap di rumah sakit dan banyaknya pasien yang meninggal adalah 274 pasien.
Jurnal Purba dkk. (2016) menyebutkan bahwa, studi yang dilaukkan di daerah urban di negara Asia pada anak-anak usia 5-15 tahun menunjukkan bahwa insidensi dengan biakan darah positif mencapai 180-194 per 100.000 anak, di Asia Selatan sebesar 400-500 per 100.000 anak, di Asia Tenggara 100-200 per 100.000 anak, dan di Asia Timur Laut kurang dari 100 kasus per 100.000 anak.
III.    Etiologi Demam Thypoid dan Parathypoid
Demam thypoid dan parathypoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi atau Salmonella parathypi dari genus Salmonella enterica. Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif yang memiliki flagellata, berbentuk batang, tidak membentuk spora, otil, dan berkapsul. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti dalam air, sampah dan debu, bahkan bisa bertahan sampai selama beberapa bulan sampai setahun jika melekat di dalam tija, mentega, susu, keju, dan air beku, namun dapat mati dengan pemanasan suhu 60oC selama 15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi (Cita, 2011).
Bakteri Salmonella thypi dan Salmonella parathypi merupakan salah satu penyebab infeksi tersering di daerah tropis, khususnya tempat yang kumuh dengan kebersihan yang kurang. Infeksi dari bakteri ini biasanya masuk secara fekal-oral. Bakteri Salmonella thypi dan Salmonella parathypi ini harus mencapai usus halus untuk menimbulkan infeksi dari penyakit demam thypoid dan parathypoid ini. Salah satu faktor yang menghalangi Salmonella thypi mencapai usus halus adalah asam lambung, bila asam lambung berkurang atau makanan terlalu cepat melewat i lambung maka akan memudahkan infeksi Salmonella typhi (Cita, 2011).
Setelah masuk ke saluran cerna dan mencapai usus halus, Salmonella typhi akan ditangkap oleh makrofag di usus halus dan memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteremia primer. Selanjutnya, Salmonella typhi akan mengikuti aliran darah hingga sampai di kandung empedu. Bersama dengan sekresi empedu ke dalam saluran cerna, Salmonella typhi kembali memasuki saluran cerna dan akan menginfeksi Peyer’s patches, yaitu jaringan limfoid yang terdapat di ileum, kemudian kembali memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteremia sekunder. Pada saat terjadi bakteremia sekunder, dapat ditemukan gejala-gejala klinis dari demam tifoid (Cita, 2011).
IV.    Manifestasi Klinis Demam Typhoid dan Demam Paratyphoid
Manifestasi klinis penyakit ini dimulai dari masa inkubasi yang berlangsung pada umumnya 10-12 hari. Biasanya pada pada awal penyakit gejalanya tidak khas seperti anoreksia, rasa malas, sakit kepala bagian  depan, nyeri otot, lidah kotor, dan gangguan perut. Manifestasi klinis penyakt ini bisa dibagi menjadi minggu-minggu sebagai berikut (Nelwan, 2012):
A.    Minggu Pertama (Awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºC hingga 40ºC, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali per menit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan sembelit silih berganti.
Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Pada anak , diare dijumapi pada awal gejaa lalu dilanjutkan dengan konstipasi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ke-7 dan terbatas pada perut disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi.
B.     Minggu Kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi. Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif nadi penderita, semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh.
Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium. Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering, merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain.
C.     Minggu Ketiga
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa kurang fokus,otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Kembung masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.


D.    Minggu Keempat
Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.
V.       Patofisiologi Demam Thypoid dan Parathypoid
Patofisiologi penyakit ini dimulai dari kuman Salmonella typhi dan Salmonella parathypi  masuk ke saluran gastrointestinal akan masuk ke mukosa dan ditelan oleh makrofag di lamina propia lau masuk ke kelenjar getah bening mesenterium. Tidak semua kuman bisa masuk ke dalam usus halus, karerna sebagian akan dimusnahkan oleh asam lambung. Setelah masuk ke kelenjar getah bening bakteri memasuki peredaran darah lalu terjadi bakteremia pertama yang asimomatis, lalu masuk ke organ terutama hati dan tulang yang dilanjutkan dengan pelepasan kumam dan endotoksin ke peredaran darah sehingga menyebabkan bakteremia kedua. Sebagian kuman akan dikeluarkan bersama tinja karena kuman yang ada di hepar akan kembali lagi di usus halus lalu terjadi infeksi lagi (Cita, 2011; Nuruzzaman dan Syahru, 2016).
VI.    Manifestasi yang Muncul di Rongga Mulut pada Demam Thypoid dan Demam Parathypoid
Manifestasi yang muncul pada rongga mulut pada minggu pertama lidah penderita muncul tanda khas yaitu kotor di tengah, lalu bagian tepi dan ujung berwarna merah dan juga mengalami tremor atau bergerak. Selain itu di bagian tenggorokan terasa kering dan beradang. Sedangkan pada minggu kedua lidah tampak kering, merah, dan mengkilap (Nelwan, 2012). Selain yang sudah disebutkan, pada jurnal Pramitasari (2013) disebutkan juga jika manifestasi yang muncul di rongga mulut pada demam thypoid dan demam parathypoid adalah nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah.
VII. Terapi Demam Thypoid dan Demam Parathypoid
Pada penyakit demam thypoid dan demam parathypoid terapi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut (Rohama, 2016; Rahmasari dan Lestari, 2018):

A.    Terapi Farmakologis
Terapi ini bisa dilakukan dengan perawatan di rumah apabila keadaan umum dan kesadaran baik, sedangkan di lakukan di rumah sakit pada keadaan tertentu pada keadaan klinis pasien. Terapi farmakologis ini sendiri dibagi menjadi 3, yaitu:
1.      Terapi antibiotik (kecuali untuk ibu dan ibu menyusui)
a.       Ciprofloxacin
Obat ini tidak direkomendasikan pada anak-anak dibawah 15 tahun.
Dosis dewasa            : 1 gram/hari dalam 2 dosis terbagi.
Dosis anak-anak        : 30 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi
b.      Cefixime
Obat ini bisa menjadi alternatif dari Ciproflaxin bagi anak-anak di bawah 15 tahun.
Dosis anak-anak (lebih dari 3 bulan): 20 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi
c.       Amoksisilin
Obat ini diberikan jika tidak adanya resisten
Dosis dewasa            : 3 gram/hari dalam 3 dosis terbagi
Dosis anak-anak        : 75-100 mg/kg/hari dalam 3 dosis terbagi
d.      Kloramfenikol
Obat ini diberikan jika tidak adanya resisten dan menjadi pilihan utama.
Dosis anak-anak (1-12 tahun)           : 100 mg/kg/hari dalam 3 dosis terbagi
Dosis anak-anak (≥13 tahun)            : 3 gram/hari dalam 3 dosis terbagi
e.       Tiamfenikol
Obat ini mempunyai efek samping hematologis lebih jarang dibandingkan klorafenikol
Dosis: 75 mg/kgBB/hari

f.       Azitromisin
Obat ini efektif dan aman diberikan pada anak-anak dan dewsa yang menderita demam thyfoid tanpa komplikasi
Dosis: 20mg/kg/hari
g.      Cefriaxone
Obat ini digunakan saat bakteri dengan cepat berkembang resisten terhadap kuinolon.
Dosis dewasa: 2-4 gram sehari sekali
Dosis anak-anak: 75 mg/kg sehari sekali
2.      Terapi antibiotik untuk ibu dan ibu menyusui
a.       Amoksisilin
Obat ini diberikan jika tidak ada resisten
Dosis dewasa: 3 gram/hari dalam 3 dosis terbagi
b.      Ceftriaxone
3.      Terapi kortikoteroid
a.       Dexamethasone
Obat ini diberikan kepada pasien yang mengalami tifois berat dengan keadaan halusinasi, perubahan kesadaran, atau perndarahan usus)
Dosis awal      : 3 mg/kg setiap 6 jam
Dosis lanjutan: 1 mg/kg setiap 6 jam
B.     Terapi Non Farmakolofis
1.      Tirah baring
Dilakukan sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih sampai 14 hari.
2.      Diet lunak rendah serat
Asupan serat maksimal 8 gram/ hari, menghindari susu, daging berserat kasar, lemak, terlalu manis, asam , berbumbu tajam, serta diberikan dalam porsi kecil.
3.      Menjaga kebersihan
Tangan harus dicuci sebelum menangani makanan, selama persiapan makan, dan setelah menggunakan toilet.
VIII.   Daerah Endemi Demam Thypoid dan Demam Parathypoid di Indonesia
Negara indonesia sebenarnya merupakan negara yang endemik penyakit demam thypoid maupun parathypoid (Andayani dan Fibriana, 2018). Jadi ini membuktikan bahwa hampir seluruh daerah di Indonesia merupakan daerah endemik demam thypoid maupun parathypoid. Dalam jurnal Nadyah (2014) disebutkan bahwa Sulawesi Selatan merupakan daerah endemik penyakit ini. Selain itu disebutkan juga bahwan Jawa Tengah juga merupakan daerah endemik penyakit ini.
IX.         Daerah Endemi Demam Thypoid dan Demam Parathypoid di Luar Indonesia
Penyakit ini biasanya di temukan di negara-negara yang sedang berkembang dan negara tropis contohnya Indonesia. Sebagian kasus demam thypoid ini ditemukan di negara seperti Bangladesh, Laos, Nepal, Pakistan, India, dan Vietnam (Nandyah, 2014). Sedangkan untuk demam parathypoid sendiri biasanya terjadi pada area besar Asia, Africa, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan (Tjipto, 2009).



DAFTAR PUSTAKA


Alamsyah, S. 2006, Merakit Sendiri Alat Penjernih Air untuk Rumah Tangga, Kawan Pustaka, Jakarta.

Andayani, dan Fibriana, A. I., 2018, Kejadian demam tifoid di wilayah kerja puskersmas karangmalang, Higeia Journal of Public Health Research and Development, 2(1): 57-68.

Cita, Y. P., 2011, Bakteri salmonella typhi dan demam tifoid, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6(1): 42-46.

Djauzi, S., 2009, Raih Kembali Kesehatan, Kompas, Jakarta.

Nadyah, 2014, Hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi insidens penyakit demam tifoid di kelurahan samata kecamatan somba opu kabupaten gowa 2014, Jurnal Kesehatan, 7(1): 305-321.

Nelwan, R.H.H., 2012, Tata laksana terkini demam tifoid, Continuing Medical Education, 39(4): 247-250.

Nuruzzaman, H., dan Syahru;, F., 2016, Analisis risiko keadian demam tifoid berdasarkan kebersihan diri dan kebiasaan jajan di rumah, Jurnal Berkala Epidemiologi, 4(1), 74-86.

Pramitasari, O. P., 2013, Faktor risiko kejadian penyakit demam tifoid pada penderita yang dirawat di rumah sakit umum daerah ungaran, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2(1):1-10.

Purba, I. E., Wandra, T., Nugrahini, N., Nawawi, S., dan Kandun, N., 2016, Program pengendalian deman tifoid di indonesia: tantangan dan peluang, Media Litbangkes, 26(2): 99-108.

Rahmasari, V., dan Lestari K., 2018, Review: manajemen terapi demam ifoid: kajian terapi farmakologis dan non farmakologis, Jurnal Farmaka, 16(1):184-195.

Rohana, Y., 2016,  Perbedaan pengetahuan dan pencegahan primer demam tifoid balita antara oarng tua di pedesaan dan perkotaan, Jurnal Berkala Epidemiologi, 4(3): 384-395.

Tapan E., 2004, Flu, HFMD, Diare pada Pelancong, Malaria, Demam Berdarah, Malaria, Tifus, Pustaka Populer Obor, Jakarta.

Tjipto, B. W., Kristiana, L. dan Ristrini, 2009, Kajian faktor pengaruh terhadap penyakit demam tifoid pada balita indonesia, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 12(4):313-340.

Sunday, September 16, 2018

MASALAH PENGELOLAAN SAMPAH DAN SANITASI AIR MINUM


A.      Klasifikasi Istilah
1.      Landfill : cara pengumpulan sampah dan pengalihan sampah ke tempat pembuangan akhir dengan cara ditimbun oleh tanah kembali secara berlapis-lapis (Zaman, dkk., 2008)
2.      Siklus: putaran waktu yang di dalamnya terdapat rangkaian kejadian yang berulang-ulang secara tetap dan teratur (KBBI).
3.      Biogas: campuran CH4 (± 60%), CO2 (±38%), dan lainnya N2, O2, H2 & H2S (±2%) yang berasal dari kotoran ternak, limbah pertanian, dan sampah limbah organik (Febrianita, 2015).
4.      Senyawa berbahaya: bahan yang karena sifatnya atau konsentrasinya dapat merusak lingkungan dan makhluk hidup (Utomo, 2012).
5.      Incinerator: alat untuk membakar sampah secara terkendali melalui pembakaran dengan suhu tinggi (Chandra, 2009).
6.      Sampah medis: sampah yang dihasilkan dari tempat pelayanan kesehatan seperti perban, kasa, alat injeksi, ampul, dan botol bekas obat injeksi, akteter, swab, plester, masker, dan sebagainya (Chandra, 2005).
7.      Senyawa plastik: benda yang terbuat dari minyak dan gas sebagai sumber alami dan bisadigantikan oleh bahan-bahan sintesis sehingga dapat diperoleh sifat plastik yang diinginkan dengan cara kopolimerisasi, laminasi, dan ekstruksi (Nurminah, 2002)
8.      Sampah Organik: sampah yang bisa mengalami pelapukan dan terurai menjadi bahan yang lebih kecil dan tidak berbau seperti sisa sayuran dan dedaunan yang berguguran (Sofian, 2006).
9.      Sampah Anorganik: sampah yang dihasilkan dari bahan non-hayati sintetik atau hasil proses teknologi pengolahan tambang (Basriyanta, 2007).
10.  Pemilahan sampah: penyortiran sampah agar bisa dikelompokan menjadi sampah organik dan anorganik atau kelompok lain (Djaja, 2008).
11.  Komposting: proses penguraian suatu bahan organik oleh mikroorganisme pengurai dalam bentuk jamur dan bakteri yang bisa dilakukan secara aerob dan anaerob (Soeleman, dan Rahayu, 2013).
12.  Daur Ulang: penggunaan kembali barang yang sudah tidak digunakan menjadi produk lain yang bertujuan untuk mengurangi sampah terutama anorganik agar bisa menghindari kerusakan lingkungan dan menjaga keseimbangan ekosistem (Furqonita, 2006).
B.       Pembahasan
1.      Jenis-Jenis dan Pengolahan Sampah
 Jenis–jenis sampah yang kita ketahui dan sering disebutkan merupakan:
a.       Sampah Organik, yaitu sampah yang bisa mengalami pelapukan dan terurai menjadi bahan yang lebih kecil dan tidak berbau seperti sisa sayuran dan dedaunan yang berguguran (Sofian, 2006).
b.      Sampah Anorganik, yaitu sampah yang dihasilkan dari bahan non-hayati sintetik atau hasil teknologi pengolahan tambang (Basriyanta, 2007).
Selain itu ada juga yang disebut sampah medis yaitu sampah yang dihasilkan dari tempat pelayanan kesehatan seperti perban, kasa, alat injeksi, ampul, dan botol bekas obat injeksi, akteter, swab, plester, masker, dan sebagainya (Chandra, 2005). Limbah medis dibedakan menjadi 2 yaitu limbah infeksius seperti perban, pembalut berdarah, bahan-bahan organik seperti ketuban, jarum suntik dan lain-lain, serta limbah non-infeksius seperti kertas, bungkus plastik, dan bungkus obat (McConnan, 2004).  
Dengan adanya berbagai macam sampah ada beberapa cara untuk mengolahnya menurut Suryati (2009), yaitu reduce , yaitu proses pengelolaan sampah ini bisa dilakukan dengan mengurangi penggunaan suatu barang seperti menghindari membeli barang yang menghasilkan banyak sampah, menggunakan produk yang bisa diisi ulang, atau mengurangi pemakaian kantong plastik dengan membawa tas sendiri saat berbelanja; reuse, yaitu proses pengelolaan sampah ini bisa dilakukan seperti menggunakan lagi barang yang dianggap sampah dari kegiatan pertama namun sebenarnya bisa berguna untuk kegiatan berikutnya dan bisa memperpanjang umur pemakaian barang sebelum ke tempat sampah, seperti contoh yaitu menggunakan kertas bekas untuk membungkus kado atau membuat amplop; dan recycle, yaitu proses pengelolaan sampah ini bisa dilakukan dengan cara mengubah benda bekas menjadi benda lain yang layak dipakai dan berguna. Contoh adalah mengubah botol gelas plastik dan kaleng biskuit menjadi vas bunga. Daur ulang sampah plastik sendiri menurut Surono dan Ismanto (2016) dapat dibagi menjadi 4 yaitu daur ulang primer, sekunder, tersier dan kuarter.
Untuk pengolahan sampah medis, tempat sampah medis diberi plastik warna kuning dengan logo dan tulisan sampah infeksius atau limbah infeksi dan untuk sampah seperti jarum suntik bisa ditampung di tempat khusus (safety box). selanjutnya sampah ini diangkut setiap hari dan dibakar dengan menggunakan incinerator (McConnan, 2004).  
2.      Penyebab Terjadinya Penumpukan Sampah
Tumpukan sampah yang ada disekitar kita ada karena beberapa penyebab seperti, meningkatnya jumlah manusia dan hewan penghasil sampah; kepedulian masyarakat yang masih rendah yaitu dengan membuang sampah sembarangan; keengaanan masyarakat membuang sampah pada tempat yang sudah disediakan; bertambahnya sampah domestik sejalan dengan perkembangan pembangunan fisik dan pertambahan peningkatan sarana dan prasarana yang memadai; rendahnya tingkat pengomposan dibandingkan dengan sampah organik yang ada; dan pengelolaan sampah yang hanya menjadi tanggung jawab pemerintah karena kurang memadainya peraturan hukum yang mengatur tentang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah (Mulasari dan Sulistyawati, 2014; Mahyudin, 2017).
3.      Dampak Yang Timbul Akibat Penumpukan Sampah
Banyaknya sampah yang ada menimbulkan beberapa dampak seperti, pencemaran logam berat, apabila sampah menumpuk maka pencemaran logam berat yang bisa meracuni makhluk hidup dan lingkungan di sekitar lingkungan penumpukan sampah; pencemaran air bersih oleh air bekas mandi dan air cucian yang menyebabkan air bersih tidak bisa digunakan lagi untuk kegiatan selanjutnya; menyebabkan bau busuk karena protein yang mengandung gugus anin; berpotensi menyebabkan penyakit seperti diare, kudis, dan kurap; dan terjadi eutrofikasi, yaitu perairan menjadi lebih subur sehingga terjadi ledakan alga dan fitoplankton yang berebut mendapat cahaya sehingga bagian bawahnya mengalami kematian massal (Sukrorini dkk., 2014; Hasibuan, 2016).
4.      Jenis-Jenis Pencemaran Air Bersih
Sebelum membahas mengenai jenis-jenis pencemarannya, ada baiknya kita mengetahui bagaimana kandungan air bersih menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2017.
Tabel 1. Parameter Fisik dalam Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan untuk Media Air untuk Keperlian Higiene Sanitasi
No
Parameter Wajib
Unit
Standar Baku Mutu (Kadar Maksimum)
1.
Kekeruhan
NTU
25
2.
Warna
NCU
50
3.
Zat padat terlarut (Total Dissolved Solid)
mg/l
1000
4.
Suhu
oC
Suhu Udara ±3
5.
Rasa

Tidak Berasa
6.
Bau

Tidak Berbau
Dengan adanya kriteria air bersih yang sudah tertera diatas pencemaran air bersih bisa tercemar oleh beberapa macam zat yang mengakibatkan air tersebut tidak dapat difungsikan lagi, seperti pencemaran oleh pupuk pertanian yaitu oleh pestisida dan pupuk penyebab eutrofikasi; pencemaran air tanah dari tangki septik yaitu dari kotoran manusia akibat sumur yang dangkal terutama saat musim hujan dan nitrogen dari bahan cucian; pencemaran limbah industri dan domestik yaitu seperti pembuangan kaleng-kaleng bekas, kontainer bekas, botol dan gelas plastik yang dibuang sembarangan telah mencemari air yang dari limbah industri tersebut mengandung Pb, Hg, Zn, dan CO yang dapat terakumulasi dan bersifat racun; pencemaran oleh residu pestisida yaitu hasil residu dari pestisida yang mengendalikan hama penyakit yang masuk ke tubuh manusia dan menyebabkan karsinogenik, teratogenik, dan mutagenik; dan pencemaran oleh tumpahan minyak yaitu akibat tumpahnya minyak kapal tanker (Sembel, 2015).
5.      Penyebab Kurangnya Ketersediaan Air Bersih
Kekurangan air bersih sering menjadi masalah dalam kehidupan, namun perlu kita sadari bahwa ada beberapa penyebab kurangnya air bersih yang dikarenakan oleh kita sendiri seperti, laju pertambahan dan perpindahan penduduk ke perkotaan yang cukup tinggi; penggunaan lahan yang tidak memperhatikan konservasi tanah dan air; pembangunan gedung-gedung di kota besar banyak yang tidak mematuhi perbandingan lahan terpakai dan lahan terbuka, sehingga mengganggu proses penyerapan air hujan ke dalam tanah; pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan aktivitas domestik, industri, erosi, dan pertanian; dan eksploitasi air tanah yang berlebihan yang dilakukan oleh gedung besar(Prihatin, 2013).
6.      Dampak Akibat Kurangnya Air Bersih
Masa-masa krisis air di Indonesia pada zaman sekarang ini tidak bisa dihindari lagi namun dengan adanya krisis air beberapa masalah sering terjadi seperti, banyaknya peyakit yang bisa menyerang akibat tidak adanya air bersih seperti kolera, diare, malaria, disentri, penyakit cacingan, dan lain-lain; naiknya harga air minum dalam kemasan yang apabila terus menerus terjadi bisa saja menyebabkan hanya masyarakat menengah ke atas yang bisa membeli air bersih; dan kekurangan bahan makanan karena petani tidak bisa mengairi sawahnya dengan air bersih dan juga budidaya ikan tawar tidak dapat berjalan tanpa adanya air bersih (Puspitasari, 2009).
7.      Periode Pengukuran Air Bersih
Dalam pengukuran air bersih frekuensi pengambilan contoh dapat dilakukan setiap 2 minggu untuk sungai, 8 minggu untuk waduk atau danau, dan 12 minggu untuk air tanah. Cara pengambilan sampel air yang ingin diukur bisa menggunakan 2 cara yaitu manual dan otomatis. Cara manual mempunyai keuntungan yaitu mudah diatur waktu dan tempatnya dan bisa menggunakan berbagai macam alat. Cara otomatis mempunyai keuntungan adalah dapat dilakukan dengan interval yang tepat secara terus-menerus dan otomatis ke dalam botol (SNI, 2004). Dalam pengukutan air, kita juga bisa menggunakan alat bernama water quality kit test yang berfungsi untuk mengukur zat amoniak, nitrit, pH, DO, klorin, sulfida, ortofosfat, tembaga, besi, alkanity, hardness, hexavalent chromium, nephelometric turbidity unit, dan sulfate (Khairuman dan Amri, 2013).
8.      Upaya Pemerintah Dalam Menanggulangi Masalah Sampah Dan Air Bersih
Menurut Jati (2013) dalam menanggulangi sampah pemerintah bisa melaksanaknnya dalam bidang infrastruktur yaitu menyelenggarakan pelayanan infrastruktur yang bersifat public goods seperti menyiapkan regulasi bagi partisipasi swasta, menetapkan standar pelayanan dan sertifikasi, memberikan lisensi operator yang diperlukan berdasarkan prinsip-prinsip yang optimal dan transparan bagi kepentingan publik dan investor. Dalam bidang penolahan sampah, pemerintah dapat berperan sebagai pengatur kebijakan menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan kebersihan dan penyedia layanan dengan memfasillitasi, mengembangkan dan melaksanakan pengirangan, penanganan dan pemanfaatan sampah.
           Dalam menanggulangi masalah air bersih di Indonesia pemerintah bisa melakukan penyediaan air bersih di daerah yang kapasitas airnya sangat sedikit; dan memfasilitasi masyarakat dengan cara memberikan bimbingan teknis maupun non teknis agar bisa mengelola sarana prasarana sanitasi air sendiri (Saukani, 2014).
9.      Hubungan Masalah Sampah dan Air Bersih
Apabila membahas mengenai hubungan masalah sampah dan air bersih bisa dibahas mengenai penumpukan sampah yang mempengaruhi kehigienisan air. Higiene sanitasi sendiri berarti adalah upaya kesehatan untuk mengurangi atau menghilangkan faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya pencemaran. Sampah merupakan salah satu faktor yang menjadi penyebab pencemaran apabila tidak diolah dengan baik. Hasil penelitian sendiri menyatakan bahwa di kota besar seperti Semarang ditemukan 34% depot yang tercemar oleh bakteri, dimana bakteri ini sendiri bisa disebabkan oleh penumpukan sampah yang mengakibatkan air tercemar oleh bakteri (Suraidi, dkk., 2016).
C.      Mind Mapping




DAFTAR PUSTAKA

Basriyanta, 2007, Memanen Sampah, Penerbut Kanisius, Yogyakarta.
Chandra, B., 2005, Pengantar Kesehatan Lingkungan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Chandra, B., 2009, Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Djaja, W., 2008, Langkah Jitu Membuat Kompos dari Kotoran Ternak dan Sampah, Agromedia Pustaka, Jakarta.
Febriyanita, W., 2015, Pengembangan biogas dalam rangka pemanfaatan energi terbarukan di desa jetak kecamata getasan kabupaten semarang, Skripsi, Universitas Negeri Semarang, Semarang.
Furqonita, D., 2006, Seri Ilmu Pengetahuan Alam Biologi SMP Kelas VII, Quadra, Jakarta.
Hasibuan, R., 2016, Analisis dampak limbah/sampah rumah tangga terhadap pencemaran lingkungan hidup, Jurnal Ilmiah "Advokasi", 4(1): 42-52.
Jati, T. K., 2013, Peran pemerintah boyolali dalam pengelolaan sampah lingkungan pemukiman perkotaan, Jurnal Wilayah dan Lingkungan, 1 (1): 1-16.
Khairuman, H. dan Amri, K., 2013, Budidaya Ikan Nila, Agromedia Pustaka, Jakarta.
Mahyudin, R. P., 2017, Kajian permasalahan pengelolaan sampah dan dampak lingkungan di tpa, Jurnal Teknik Lingkungan, 3(1): 66-74.
McConnan, I., 2004, Proyek Sphere: Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimum dalam Respons Bencana, PT Grasindo, Jakarta.
Muasari, S. A., dan Sulistyawati, 2014, Keberadaan tps legal dan tps ilegal di kecamatan godean kabupaten sleman, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 9(2):122-130.
Nurminah, M., 2002, Penelitian Sifat Berbagai Bahan Kemasan Plastik dan Kertas Serta Pnegaruhnya Terhadap bahan yang Dikemas, Universitas Sumatera Utara Digital, Medan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2017 Tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan Dan Persyaratan Kesehatan Air Untuk Keperluan Higiene Sanitasi, Kolam Renang, Solus Per Aqua, Dan Pemandian Umum.
Prihatin, R. B., 2013, Problem air bersih di perkotaan, Jurnal Kesejahteraan Sosial, 5(7): 9-12.
Puspitasari, D.E., 2009, Dampak pencemaran air terhadap kesehatan lingkungan dalam perspektif hukum lingkungan, Jurnal Mimbar Hukum, 21(1):23-34.
Puspitasari, S. dan Mukono, J., 2013, Hubungan kualitas bakteriologis air sumur dan perilaku sehat dengan kejadian waterborne disease di desa tambak sumur, kecamatan waru, kabupaten sidoarjo, Jurnal Kesehatan Lingkungan, 7(1): 76-82.
Rizal, M., 2011, Analisis pengelolaan persampahan perkotaan (studi kasus pada kelurahan boya kecamatan banawa kabupaten donggala), Jurnal Sipil Mesin Arsitektur Elektro, 9(2): 155-172.
Saukani, 2014, Upaya pemerintah desa dalam menyediakan air bersih di desa gunung intan kecamatan babulu kabupaten penajam paser utara, E-Journal Ilmu Pemerintahan, 2(3): 2967-2979.
Sembel, D.T., 2015, Toksikologi Lingkungan, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Soeleman, S., dan Rahayu, D., 2013, Halaman Organik: Mengubah Taman Rumah Menjadi Taman Sayuran Organik untuk Gaya Hidup Sehat, Agromedia Pustaka, Jakarta.
Sofian, 2006, Sukses Membuat Kompos dari Sampah, Agromedia Pustaka, Jakarta.
Standar Nasional Indonesia, 2004, Tata Cara Pengambilan Contoh dalam Rangka Pemantauan Kualitas Air pada Suatu Daerah Pengaliran Sungai, Badan Standardisasi Nasional.
Sukrorini, T., Budiastuti, S., Ramelan, A. H., dkk., 2014, Kajian dampak timbunan sampah, Jurnal Ekonomi dan SAINS, 6(3): 56-70.
Suriadi, Husaini, dan Marliane, L., 2016, Hubungan hygiene sanitasi dengan kualitas bakteriologis depot air minum (dam) di kabupaten balangan, Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 5(1):28-35.
Surono, U. B. dan Ismanto, 2016, Pengolahan sampah plastik jenis pp, pet, dan pe menjadi bahan bakar minyak dan karakteristiknya, Jurnal Mekanika dan Sistem Termal, 1(1):32-37.
Suryati, T., 2009, Bijak dan Cerdas Mengolah Sampah (Membuat Kompos dari Sampah Rumah Tangga), Agromedia Pustaka, Jakarta.
Utomo, S., 2012, Bahan berbahaya dan beracun (b-3) dan keberadaannya di dalam limbah, Jurnal Konversi, 1(1): 37-46.
Zaman, B., Syarifudin, dan Pratiwi, D., 2008, Detail engineering tempat pembuangan akhir (tpa) regional pekalongan, Jurnal Teknik, 29(3):209-213.

Health Management

Health Management 1.       Kewajiban-kewajiban pemerintah dalam Undang-Undang Kesehatan Pada Undang Undang Republik Indonesia Nomor ...