I.
Aturan Tentang
Batasan Dokter Boleh Mengiklankan Diri
Seorang
dokter tidak diperkenankan untuk mengiklankan dirinya dan kehebatannya dalam
menyembuhkan pasien. Seorang dokter harus sadar dimana semua kemampuan baik
pengetahuan dan ketrampilan profesi yang ia miliki adalah karena karunia dan
kemurahan dari Tuhan Yang Maha Esa saja (Pelafu, 2015).
Batasan
pengiklanan diri dari dokter diatur dalam kode etik kedokteran indonesia pasal
4 yang berbunyi “Setiap dokter harus menghindari diri dari perbuatan yang
bersifat memuji diri” dalam pasal ini dijelaskan bahwa ridak boleh mengiklankan
kemampuannya, atau kelebihan-kelebihan yang dimilikinya baik lisan maupun dalam
tulisan (Pelafu, 2015).
Selain
pada kode etik kedokteran indonesia, aturan tentang pengiklanan diri ada pada
pasal 3 yang berbunyi “Dalam menjalankan profesinya Dokter Gigi di Indonesia tidak
boleh dipengaruhi oleh pertimbangan untuk mencari keuntungan pribadi” dimana
pada ayat 1 disebutkan juga bahwa jelasnya “Dokter Gigi di Indonesia dilarang
melakukan promosi dalam bentuk apapun seperti memuji diri, mengiklankan alat
dan bahan apapun, memberi iming-iming baik langsung maupun tidak langsung dan
lain – lain, dengan tujuan agar pasien datang berobat kepadanya.” (Pokja
Rancangan Kode Etik Kedokteran Gigi, 2014).
II.
Definisi
Malpraktik
Malpraktek
adalah kegagalan seorang profesional untuk melakukan praktik sesuai dengan
standar profesi yang berlaku bagi seseorang yang karena memiliki ketrampilan
dan pendidikan, yang tidak boleh dilakukan oleh teaga kesehtan. Malpraktik bisa
juga diartikan tidak melakukan apa yang harus dilakukan atau lalai dalam
kewajibannya dan/atau melanggar suatu ketentuan berdasarkan peraturan
perundang-undangan (Ake, 2002).
Menurut
Azwar (1996 dalam Heryanto, 2010)
malpraktik adalah kesalahan profesional oleh dokter yang dikarenakan saat
melakukan pekerjaan profesionalnya tidak memeriksa, tidak menilai, tidak
berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau
dikalukan oleh dokter pada umumnya dalam situasi dan kondisi yang sama. Azwar
(1996 dalam Heryanto, 2010) juga
menyebutkan bahwa malpraktik adalah kesalahan yang diperbuat oleh dokter, oleh
karena melakukan pekerjaan kedokteran di bawah standar yang sebenarnya secara
rata-rata dan masuk akal, dapat dilakukan oleh setiap dokter dalam situasi atau
tempat yang sama. (1996 dalam
Heryanto, 2010) juga menegaskan malpraktik yang ketiga adalah setiap kesalahan
profesional diperbuat oleh seorang dokter, yang di dalamnya termasuk kesalahan
karena perbuatan yang tidak masuk akal karena keterampilan yang kurang dalam
menyelenggarakan kewajiban atau keprofesionalan yang dimilikinya.
Dalam
hukum Indonesia tidak dikenal adanya istilah malpraktik, baik dalam
Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan maupun dalam Undang-Undang
No. 24 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Pada undang-undang tersebut
malpraktik disebut sebagai kesalahan atau kelalaian dokter pada pasal 54 dan 55
Undang-undang No. 23 Tahun 1992, sedangkan disebutkan sebagai pelanggaran
disiplin dokter pasal 84 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 (Heryanto, 2010).
III.
Macam-Macam
Malpraktik
Malpraktik
bisa dibagi menjadi 2 bentuk jika ditinjau dari segi etika profesi dan segi
hukum yaitu (Isfandyarie, 2005):
A.
Malpraktek Etik
(Ethical Malpractice)
Malpraktik etik
adalah dimana saat seorang tenaga kesehatan melakukan tindakan yang
bertentangan etika profesinya. Etika yang dituangkan dalam kode etik merupakan
standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku bagi tenaga kesehatan
dalam kode etik dan bidangnya masing-masing.
B.
Malpraktik
Yuridis (Yuridical Malpractice)
Malpraktik
yuridis bisa dibedakan menjadi 3 bentuk, yaitu:
1.
Malpraktik
Perdata (Civil Malpractice)
Malpraktik ini
terjadi jika terdapat wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum sehingga
menimbulkan kerugian kepada pasien. Pada malpraktik ini yang dijadikan ukuran
adalah kelalaiannya yang ringan (culpa
levis), namun apabila terjadi kelalaian berat (culpa lata) maka sudah termasuk ke malpraktik pidana. Contoh
kasusnya adalah misal dokter meninggalkan sisa perban di dalam tubuh pasien,
hal ini kesalahan masih dapat diperbaiki dengan adanya operasi kedua untuk
mengambil perban sehingga tidka menimbulkan negatif yang berkepanjangan
terhadap pasien.
2.
Malpraktik
Pidana (Criminal Malpractice)
Malpraktik
pidana terjadi apabila pasien meninggal atau mengalami kecacatan karena
kekurang hati-hatian atau krang cermat dalam upaya perawatan, malpraktik pidana
ada 3 bentuk, yaitu:
a.
Malpraktik
pidana karena kesengajaan (intensional)
Malpraktik
pidana karena kesengajaan terjadi misalnya tenaga medis yang tidak melakukan
pertolongan pada kasus gawat darurat padahal diketahui tidak ada orang lain
yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan yang tidak benar, selain
itu melakukan aborsi tanpa tindakan medis juga termasuk dalam malpraktik ini
b.
Malpraktik
pidana karena kecerobohan (recklessness)
Malpraktik
pidana karena kecerobohan terjadi misalnya saat tenaga kesehtan melakukan
tindakan tida sesuai dengan standar proefsi arau melakukn tindakan tanpa
disertai persetujuan tindakan medis.
c.
Malpraktik
pidana karena kealpaan (negligence)
Malpraktik
pidana karena kealpaan terjadi misalnya apabila terjadi kecacaran atau kematian
pada pasien akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-hati.
3.
Malpraktik
Administratif (Administrative Malpractice)
Malpraktik
administratif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran terhadap
hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktik bidan
tanpa lisensi atau izin praktik atau sudah kadaluarsa. Selain itu menjalankan
praktik tanpa membuat catatan medik juga termasuk dalam malpraktik ini.
IV.
Peran PDGI, MKEK
dan MKDKI dalam Penyelesaian Sengketa Medik
Penyelesaian
sengketa medik bisa diselesaikan dengan berbagai cara. Peran Persatuan Dokter
Gigi Indonesia (PDGI) sebagai organisasi profesi dalam menyikapi anggotanya
yang tersangkut dalam sengketa medis harus bijaksana. Dalam menyikapi
anggotanya PDGI dapat membentuk Badan Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BPPA)
berdasarkan pasal 7 ADRT tahun 2008. BPPA mempunyai tugas dan wewenangnya
antara lain melaksanakan tugas pembelaan dan pembinaan pelaksanaan etik
kedokteran gigi, disiplin dan hukum, memberi pertimbangan atau usul kepada yang
berwenang atas pelanggaran etika, disiplin dan hukum, mengadakan konsultasi
timbal balik dengan instansi terjait sehubungan dengna pembelaan dan pembinaan
anggota (Budi, 2010).
PDGI
memang telah menyiapkan BPPA untuk kepentingan membela anggotanya, namun
apabila dokter gigi tersebut melanggal peraturan dan perundangan yang berlaku
maka tidak akan dilindungi. Seorang dokter gigi akan dilindungi oleh BPPA
apabila dituduh melanggar hukum dimana dokter gigi dalam melaksanakan tugas
profesinya dilakukan sesuai dengan kode etik kedokteran gigi, lafal sumpah dokterm
standar profesi, peraturan dan perundangan bagi tenaga kesehatan berlaku.
Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung no. B 006/R-31/I/1982 tanggal 19 Oktober
1982 Tentang Perkara Profesi Kesehatan, bahwa tenaga kesehatan tidak meneruskan
perkara sebelum konsultasi dengan pejabat Dinas Kesehatan atau Departemen
Keseharan Republik Indonesia (Budi, 2010).
Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) mempunyai peran dalam penyelesaian
sengketa medik, MKEK mempunyai wewenangan untuk menyidangkan dokter apabila
melanggar etika, selain itu MKEK juga dapat menyidangkan dokter yang melanggar
disiplin profesi dokter di wilayah yang belum terdapat Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Apabila seorang dokter diduga melakukan
sengketa medik yang berupa pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar norma
hukum), maka dokter tersebut akan dipanggil dan disidang oleh MKEK untuk
diintai pertanggung jawaban (etik dan disiplin profesi) nya (IDI, 2012; Sukohar
dan Carolia, 2016).
Peran
MKEK hanya melakukan persidangan disiplin profesi, sedangkan gugatan perdata
dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan
umum. Putusan MKEK tidak ditunjukan untuk kepentingan peradilan, jadi tidak
dapat dipergunakan sebagai bukti di peradilan keuai atas perintah pengadilan
sebagai permintaan keterangan ahli. Eksekusi putusan MKEK wilayah dilaksanakan
oleh pengurus IDI wilayah yang bersangkutan (Sukohar dan Carolia, 2016).
MKDKI
juga mempunyai peran dalam penyelesaian sengketa medik. MKDKI mempunyai tugas
untuk menegakkan aturan-aturan dan ketentuan penerapan keilmuan kedokteran
dalam pelaksanaan pelayanan medis yang seharusnya diikuti oleh dokter dan
dokter gigi. Oleh karenanya MKDKI merupakan badan yang menagani kasus-kasus
dugaan pelanggaran disiplin kedokteran atau kedokteran gigi dan menetapkan
sangsi (Guwandi, 2009; Budi, 2010).
MKDKI
menangani perkara sengketa medik berdasarkan Keputusan Konsil Kedokteran
Indonesia No. 17/KKI/KEP/VIII/2006 Tentang Penegakaan Disiplin Profesi Kedoktern.
Pelanggaran disiplin dapat dikelompokkan menjadi 3 hal yaitu, melaksanakan
praktik kedokteran yang tidak kompeten, tugas dan tanggung jawab profesional
pada pasien tidak dilaksanakan dengan baik, berperilaku tercela yang merusak
martabat dan kehormatan profesi kedokteran (Nusye, 2009; Budi, 2010).
V.
Prosedur
Penyelesaian Tindakan Malpraktik dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Medik
Penyelesaian
tindakan malpraktik dan sengketa medik bisa dibilang dapat dilakukan dengan
cara yang sama. Sengketa medik sendiri bisa dibilang sebagai malpraktik medik
karena malpraktik sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh dokter saja namun juga
dilakukan oleh profesional-profesionalnya pada profesinya masing-masing (Putra,
2012).
Penyelesaian
tindakan malpraktik dan sengketa medik bisa dilakukan dengan berbagai cara
yaitu:
A.
Mediasi
Mediasi adalah hal yang biasa dilakukan dalam suatu
persoalan kehidupan. Ini merupakan proses bernegosiasi dengan melibatkan pihak
diluar yang bersengketa untuk membantu kedua belah pihak mendapatkan keputusan.
Pihak ketiga biasanya dipilih karena kehendak sendiri, ditunjuk oleh penguasa,
atau diminta oleh kedua belah pihak (Fuady, 2000). Keuntungan menggunakan jalan
ini adalah menghasilkan kesepakatan win-win
solution sehingga para pihak secara bebas menentukan kesepakatan dan tetap
mempunyai hubungan baik antar pihak yang bersegketa (Putra, 2012).
B.
Lembaga Profesi
Dikarenakan zaman yang sudah berkembang, dan masyarakat
yang berkembang dugaan malpraktik semakin marak terjadi. Konsil Kedokteran
Indonesia mempunyai lembaga yang bernama MKDKI yang bisa mengkaji kejadian
malpraktik dan sengketa medik. MKDKI bertugas mengkaji apakah dugaan malpraktik
yang dilakukan oleh seorang dokter tersebut benar adanya. MKDKI akan mencari
tau apakah kerugian yang dialami pasien dikarenakan oleh kelalaian atau risiko
tindakan medik. Apabila disebabkan oleh kelalaian maka pasien berhak
mendapatkan ganti rugi, sedangkan apabila disebabkan oleh risiko tindakan medik
maka tidak akan mendapatkan ganti rugi. MKDKI bisa menjalankan tugasnya apabila
ada pengaduan, apabila pengaduan diterima maka akan disidangkan dan apabila
melanggar disiplin ada beberapa rekomendasi sanksi yaitu peringatan tertulis
atau pencabutan STR sementara atau tetap (Seran dan Setyowati, 2010).
C.
Peradilan
Apabila lembaga
profesi menduga kasus malpraktik yang diadukan oleh masyarakat didapati
melanggar hukum MKDKI akan menganjurkan supaya bisa dibawa ke pengadilan untuk
diperiksa, karena Undang-Undang Praktik Kedokteran hanya fokus pada disiplin
kedokteran saja, dan gugatan pidana atau perdata diserahkan kepada peradilan
umum dengan memakai saksi ahli apabila diperlukan. Di peradilan, dokter akan
disidang sesuai dengan pasal-pasal dalam KUHP atau KUHPer sesuai dengan
kesalahan yang dilakukan oleh dokter tersebut. Selanjutnya apabila dokter
terbukti bersalah makan akan dihukum sesuai dengan tindakannya dan apabila
tidak dihukum akan dibebaskan dan dibersihkan nama baiknya (Yunanto dan Helmi,
2010).
Daftar Pustaka
Ake,
J., 2002, Malpraktik dalam Keperawatan,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Azwar,
A., 1996, Kriteria Malpraktik dalam
Profesi Kesehatan, Makalah Kongres Nasional IV PERHUKI, Surabaya.
Budi,
A., T., 2010, Upaya bantuan hukum dokter gigi dalam menghadapi sengketa medis, Jurnal PDGI, 59(1): 1-7.
Fuady,
M., 2000, Abritase Nasional, Alternatif
Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Guwandi,
J., 2009, Pengantar Ilmu Hukum Medik dan
Bioetika, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Heryanto,
B., 2010, Malpraktik dokter dalam perspektif hukum, Jurnal Dinamika Hukum, 10(2): 183-191.
Ikatan
Dokter Indonesia, Kode Etik Kedokteran
Indonesia, IDI, Jakarta.
Isfandyarie,
A., 2005, Malpraktek dan Resiko Medik,
Prestasi Pustaka, Jakarta.
Nusye,
K. J., 2009, Penyelesaian Hukum dalam
Malpraktik, Pustaka Yustisia, Yogyakarta.
PB
PDGI, 2008, Anggaran Dasar Rumah Tangga,
Konggres PDGI XXIII, Surabaya.
Pelafu,
J., 2015, Pelaksanaan penegakan kode etik kedokteran, Jurnal Lex Crimen, 4(3): 43-49.
Pokja
Rancangan Kode Etik Kedokteran Gigi, 2014, Lafal
Sumpah Dokter Gigi Dan Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia, Pengurus Besar
Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Jakarta.
Putra,
R. K., 2012, Peran ikatan dokter indonesia dalam penyelesaian kasus sengketa
medik di polda diy, Skripsi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Seran,
M., dan Setyowati, A. M. W., 2010, Dilema
Etik dan Hukum dalam Pelayanan Medis, Mandar Maju, Bandung.
Sukohar,
A., dan Carolia, N., Peraan majelis kehormatan etik kedokteran indonesia, Jurnal Kedokteran Unila, 1(2): 363-368.
Yunanto,
A., dan Helmi, 2010, Hukum Pidana
Malapraktik Medik Tinjauan dan Prespektif Medikolegal, Penerbit Andi,
Yogyakarta.