Artikel
Demam Thypoid dan Demam Parathypoid
I.
Gambaran Umum Thypoid dan Paratypoid
Demam thypoid
adalah penyakit yang disebabkan kuman Salmonella
typhii, kuman ini adalah kuman berbentuk batang yang merupakan kuman gram
negatif dan anaerob (Tapan,
2004). Kuman pathogen ini menginfeksi usus halus, yang menyebabkan penderita
mengalami panas dan ada keluhan pada saluran cerna yang muncul 1-3 minggu
setelah terkena. Kuman ini biasanya ditularkan melalui konsumsi makanan atau
minuman yang terkontaminasi oleh tinja atau urin orang yang terkontaminasi (Nuruzzaman
dan Syahru, 2016).
Demam
parathypoid adalah penyakit enterik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella paratyphoid. Secara klinis
maupun patologis penyakit ini sama dengan demam thypoid namun biasanya lebih
ringan (Alamsyah, 2006). Demam parathypoid ini mempunyai masa inkubasi lebih
pendek dan masa sakit juga lebih pendek sehingga bisa dikatakan jika demam
parathyfoid lebih ringan dibandingkan dengan demam thypoid (Djauzi, 2009).
II. Insidensi
Demam Thypoid dan Parathypoid
Menurut Cita
(2011) dalam jurnalnya disebutkan bahwa di Indonesia insidensi demam thypoid
dan parathypoid diperkirakan sekitar 300-810 kasus per 100.000 penduduk per
tahun , dimana ini berarti ada 600.000-1.500.000 kasus per tahun. Menurut jurnal
Pramitasari (2013) disebutkan bahwa data WHO tahun 2003 memperkirakan terdapat
sekitar 17 juta kasus demam tifoid di dunia dengan indidensi 600.000 kasis
kematihan per tahun. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009, demam
tifoid atau paratifoid menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien
rawat inap di rumah sakit tahun 2009 yaitu sebanyak 80.850 kasus dan banyaknya
pasien yang meninggal adalah 1.747 pasien. Sedangkan tahun 2010 yaitu sebanyak
41.081 paseien rawat inap di rumah sakit dan banyaknya pasien yang meninggal
adalah 274 pasien.
Jurnal Purba
dkk. (2016) menyebutkan bahwa, studi yang dilaukkan di daerah urban di negara
Asia pada anak-anak usia 5-15 tahun menunjukkan bahwa insidensi dengan biakan
darah positif mencapai 180-194 per 100.000 anak, di Asia Selatan sebesar
400-500 per 100.000 anak, di Asia Tenggara 100-200 per 100.000 anak, dan di
Asia Timur Laut kurang dari 100 kasus per 100.000 anak.
III. Etiologi
Demam Thypoid dan Parathypoid
Demam thypoid
dan parathypoid disebabkan oleh bakteri Salmonella
thypi atau Salmonella parathypi
dari genus Salmonella enterica. Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif yang
memiliki flagellata, berbentuk batang, tidak membentuk spora, otil, dan
berkapsul. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti
dalam air, sampah dan debu, bahkan bisa bertahan sampai selama beberapa bulan
sampai setahun jika melekat di dalam tija, mentega, susu, keju, dan air beku,
namun dapat mati dengan pemanasan suhu 60oC selama 15-20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan khlorinisasi (Cita, 2011).
Bakteri Salmonella thypi dan Salmonella parathypi merupakan salah
satu penyebab infeksi tersering di daerah tropis, khususnya tempat yang kumuh
dengan kebersihan yang kurang. Infeksi dari bakteri ini biasanya masuk secara
fekal-oral. Bakteri Salmonella thypi
dan Salmonella parathypi ini harus
mencapai usus halus untuk menimbulkan infeksi dari penyakit demam thypoid dan
parathypoid ini. Salah satu faktor yang menghalangi Salmonella thypi mencapai usus halus adalah asam lambung, bila asam
lambung berkurang atau makanan terlalu cepat melewat i lambung maka akan
memudahkan infeksi Salmonella typhi (Cita, 2011).
Setelah masuk ke
saluran cerna dan mencapai usus halus, Salmonella typhi akan ditangkap oleh
makrofag di usus halus dan memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteremia
primer. Selanjutnya, Salmonella typhi akan mengikuti aliran darah hingga sampai
di kandung empedu. Bersama dengan sekresi empedu ke dalam saluran cerna,
Salmonella typhi kembali memasuki saluran cerna dan akan menginfeksi Peyer’s
patches, yaitu jaringan limfoid yang terdapat di ileum, kemudian kembali
memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteremia sekunder. Pada saat terjadi
bakteremia sekunder, dapat ditemukan gejala-gejala klinis dari demam tifoid
(Cita, 2011).
IV. Manifestasi
Klinis Demam Typhoid dan Demam Paratyphoid
Manifestasi
klinis penyakit ini dimulai dari masa inkubasi yang berlangsung pada umumnya
10-12 hari. Biasanya pada pada awal penyakit gejalanya tidak khas seperti
anoreksia, rasa malas, sakit kepala bagian
depan, nyeri otot, lidah kotor, dan gangguan perut. Manifestasi klinis
penyakt ini bisa dibagi menjadi minggu-minggu sebagai berikut (Nelwan, 2012):
A. Minggu
Pertama (Awal terinfeksi)
Setelah melewati
masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit
infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi
39ºC hingga 40ºC, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah,
batuk, dengan nadi antara 80-100 kali per menit, denyut lemah, pernapasan
semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak
enak, sedangkan diare dan sembelit silih berganti.
Pada akhir
minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Pada anak , diare dijumapi pada
awal gejaa lalu dilanjutkan dengan konstipasi. Khas lidah pada penderita adalah
kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis
dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang.
Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan
gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga.
Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ke-7 dan terbatas pada perut
disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5
hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita
golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok,
timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah,
kelihatan
memucat bila ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat
dijumpai. Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi.
B. Minggu
Kedua
Jika pada minggu
pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya
menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena
itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi.
Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung.
Terjadi perlambatan relatif nadi penderita, semestinya nadi meningkat bersama
dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan
peningkatan suhu tubuh.
Gejala toksemia
semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium.
Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering, merah mengkilat.
Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare menjadi
lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan.
Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan
kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan
lain-lain.
C. Minggu
Ketiga
Suhu tubuh
berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika terjadi
tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala
akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat
ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat
lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana
toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa kurang fokus,otot-otot
bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Kembung masih
terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut.
Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai
oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya
perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas dan kolaps
dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi
miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita
demam tifoid pada minggu ketiga.
D. Minggu
Keempat
Merupakan
stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya
pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.
V. Patofisiologi
Demam Thypoid dan Parathypoid
Patofisiologi
penyakit ini dimulai dari kuman Salmonella
typhi dan Salmonella parathypi masuk ke saluran gastrointestinal akan masuk
ke mukosa dan ditelan oleh makrofag di lamina propia lau masuk ke kelenjar
getah bening mesenterium. Tidak semua kuman bisa masuk ke dalam usus halus,
karerna sebagian akan dimusnahkan oleh asam lambung. Setelah masuk ke kelenjar
getah bening bakteri memasuki peredaran darah lalu terjadi bakteremia pertama
yang asimomatis, lalu masuk ke organ terutama hati dan tulang yang dilanjutkan
dengan pelepasan kumam dan endotoksin ke peredaran darah sehingga menyebabkan bakteremia
kedua. Sebagian kuman akan dikeluarkan bersama tinja karena kuman yang ada di
hepar akan kembali lagi di usus halus lalu terjadi infeksi lagi (Cita, 2011; Nuruzzaman dan Syahru, 2016).
VI. Manifestasi
yang Muncul di Rongga Mulut pada Demam Thypoid dan Demam Parathypoid
Manifestasi yang
muncul pada rongga mulut pada minggu pertama lidah penderita muncul tanda khas
yaitu kotor di tengah, lalu bagian tepi dan ujung berwarna merah dan juga
mengalami tremor atau bergerak. Selain itu di bagian tenggorokan terasa kering
dan beradang. Sedangkan pada minggu kedua lidah tampak kering, merah, dan
mengkilap (Nelwan, 2012). Selain yang sudah disebutkan, pada jurnal Pramitasari
(2013) disebutkan juga jika manifestasi yang muncul di rongga mulut pada demam
thypoid dan demam parathypoid adalah nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan
pecah-pecah.
VII. Terapi
Demam Thypoid dan Demam Parathypoid
Pada penyakit demam
thypoid dan demam parathypoid terapi yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut (Rohama, 2016; Rahmasari dan Lestari, 2018):
A. Terapi
Farmakologis
Terapi ini bisa
dilakukan dengan perawatan di rumah apabila keadaan umum dan kesadaran baik,
sedangkan di lakukan di rumah sakit pada keadaan tertentu pada keadaan klinis
pasien. Terapi farmakologis ini sendiri dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Terapi
antibiotik (kecuali untuk ibu dan ibu menyusui)
a. Ciprofloxacin
Obat ini tidak direkomendasikan
pada anak-anak dibawah 15 tahun.
Dosis dewasa : 1 gram/hari dalam 2 dosis terbagi.
Dosis anak-anak : 30 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi
b. Cefixime
Obat ini bisa menjadi alternatif
dari Ciproflaxin bagi anak-anak di bawah 15 tahun.
Dosis anak-anak (lebih dari 3
bulan): 20 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi
c. Amoksisilin
Obat ini diberikan jika tidak
adanya resisten
Dosis dewasa : 3 gram/hari dalam 3 dosis terbagi
Dosis anak-anak : 75-100 mg/kg/hari dalam 3 dosis
terbagi
d. Kloramfenikol
Obat ini diberikan jika tidak
adanya resisten dan menjadi pilihan utama.
Dosis anak-anak (1-12 tahun) : 100 mg/kg/hari dalam 3 dosis
terbagi
Dosis anak-anak (≥13 tahun) : 3 gram/hari dalam 3 dosis terbagi
e. Tiamfenikol
Obat ini mempunyai efek samping
hematologis lebih jarang dibandingkan klorafenikol
Dosis: 75 mg/kgBB/hari
f. Azitromisin
Obat ini efektif dan aman diberikan
pada anak-anak dan dewsa yang menderita demam thyfoid tanpa komplikasi
Dosis: 20mg/kg/hari
g. Cefriaxone
Obat ini digunakan saat bakteri
dengan cepat berkembang resisten terhadap kuinolon.
Dosis dewasa: 2-4 gram sehari
sekali
Dosis anak-anak: 75 mg/kg sehari
sekali
2. Terapi
antibiotik untuk ibu dan ibu menyusui
a. Amoksisilin
Obat ini diberikan jika tidak ada
resisten
Dosis dewasa: 3 gram/hari dalam 3
dosis terbagi
b. Ceftriaxone
3. Terapi
kortikoteroid
a. Dexamethasone
Obat ini diberikan kepada pasien
yang mengalami tifois berat dengan keadaan halusinasi, perubahan kesadaran,
atau perndarahan usus)
Dosis awal : 3 mg/kg setiap 6 jam
Dosis lanjutan: 1 mg/kg setiap 6
jam
B. Terapi
Non Farmakolofis
1. Tirah
baring
Dilakukan sampai minimal 7 hari
bebas demam atau kurang lebih sampai 14 hari.
2. Diet
lunak rendah serat
Asupan serat maksimal 8 gram/ hari,
menghindari susu, daging berserat kasar, lemak, terlalu manis, asam , berbumbu
tajam, serta diberikan dalam porsi kecil.
3. Menjaga
kebersihan
Tangan harus dicuci sebelum
menangani makanan, selama persiapan makan, dan setelah menggunakan toilet.
VIII. Daerah
Endemi Demam Thypoid dan Demam Parathypoid di Indonesia
Negara indonesia
sebenarnya merupakan negara yang endemik penyakit demam thypoid maupun
parathypoid (Andayani dan Fibriana, 2018). Jadi ini membuktikan bahwa hampir
seluruh daerah di Indonesia merupakan daerah endemik demam thypoid maupun
parathypoid. Dalam jurnal Nadyah (2014) disebutkan bahwa Sulawesi Selatan
merupakan daerah endemik penyakit ini. Selain itu disebutkan juga bahwan Jawa
Tengah juga merupakan daerah endemik penyakit ini.
IX.
Daerah Endemi Demam Thypoid dan Demam
Parathypoid di Luar Indonesia
Penyakit ini
biasanya di temukan di negara-negara yang sedang berkembang dan negara tropis contohnya
Indonesia. Sebagian kasus demam thypoid ini ditemukan di negara seperti
Bangladesh, Laos, Nepal, Pakistan, India, dan Vietnam (Nandyah, 2014).
Sedangkan untuk demam parathypoid sendiri biasanya terjadi pada area besar
Asia, Africa, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan (Tjipto, 2009).
DAFTAR
PUSTAKA
Alamsyah,
S. 2006, Merakit Sendiri Alat Penjernih
Air untuk Rumah Tangga, Kawan Pustaka, Jakarta.
Andayani,
dan Fibriana, A. I., 2018, Kejadian demam tifoid di wilayah kerja puskersmas
karangmalang, Higeia Journal of Public
Health Research and Development, 2(1): 57-68.
Cita, Y.
P., 2011, Bakteri salmonella typhi dan demam tifoid, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6(1): 42-46.
Djauzi,
S., 2009, Raih Kembali Kesehatan,
Kompas, Jakarta.
Nadyah,
2014, Hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi insidens penyakit demam tifoid
di kelurahan samata kecamatan somba opu kabupaten gowa 2014, Jurnal Kesehatan, 7(1): 305-321.
Nelwan,
R.H.H., 2012, Tata laksana terkini demam tifoid, Continuing Medical Education, 39(4): 247-250.
Nuruzzaman, H., dan Syahru;, F., 2016,
Analisis risiko keadian demam tifoid berdasarkan kebersihan diri dan kebiasaan
jajan di rumah, Jurnal Berkala
Epidemiologi, 4(1), 74-86.
Pramitasari,
O. P., 2013, Faktor risiko kejadian penyakit demam tifoid pada penderita yang
dirawat di rumah sakit umum daerah ungaran, Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 2(1):1-10.
Purba, I.
E., Wandra, T., Nugrahini, N., Nawawi, S., dan Kandun, N., 2016, Program
pengendalian deman tifoid di indonesia: tantangan dan peluang, Media Litbangkes, 26(2): 99-108.
Rahmasari,
V., dan Lestari K., 2018, Review: manajemen terapi demam ifoid: kajian terapi
farmakologis dan non farmakologis, Jurnal
Farmaka, 16(1):184-195.
Rohana,
Y., 2016, Perbedaan
pengetahuan dan pencegahan primer demam tifoid balita antara oarng tua di
pedesaan dan perkotaan, Jurnal Berkala
Epidemiologi, 4(3): 384-395.
Tapan E., 2004, Flu,
HFMD, Diare pada Pelancong, Malaria, Demam Berdarah, Malaria, Tifus,
Pustaka Populer Obor, Jakarta.
Tjipto,
B. W., Kristiana, L. dan Ristrini, 2009, Kajian faktor pengaruh terhadap
penyakit demam tifoid pada balita indonesia, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 12(4):313-340.