Wednesday, August 29, 2018

MAKALAH PORCELAIN FUSED TO METAL (PFM)


Porcelain fused to metal


I.                   Pengertian Porcelain fused to metal
Porcelin fused to metal merupakan salah satu dental material keramik yang menggabungkan antara 2 bahan yaitu porcelain dan alloy. Porcelain fused to metal ini merupakan salah satu dental material yang kuat namun juga bisa digunakan sebagai pengganti gigi anterior karena warnanya yang masih menyerupai gigi yang lainnya (Mc Cabe dan Willss, 2008).
Porcelain fused to metal juga bisa disebut sebagai alloy yang di coating atau di beri jaket porcelain. Kedua materi yang berbeda ini dapat bersatu dikarenakan oleh kemampuan ikatan kimiawi antara alloy dan porcelain (Sukma, dkk., 2012).
Porcelain fused to metal ini sangat populer digunakan, selain karena adanya lapisan porcelain yang membuatnya terlihat aesthetic namun material ini juga memiliki jaringan dasar yang kuat yaitu berupa alloys (Fahmy, 2012).
Porcelain fused to metal senfiri dibagi menjadi 4 yaitu: high-gold alloys, low-gold-content alloys, silver-palladium alloys, dan nickel-chromium alloys (Mc Cabe dan Wills, 2008).

II.                Komposisi Logam dalam Porcelain Fused to Metal
Masing-masing dari macam porcelain fused to metal mempunyai kdanungan yang berbeda-beda. Berikut merupakan susunan komposisi dari logam pada tipe logam porcelain fused to metal yang ada (Mc Cabe dan Wills, 2008):
A.    High-gold Alloys
Komposisi high-gold alloys adalah:
1.      85%     Emas
2.      10%     Platinum
3.      3%       Palladium
4.      1%       Silver
5.      0.5%    Tin
6.      0.5%    Indium
B.     Low-gold Alloys
Komposisi low-gold alloys adalah:
1.      50%     Emas
2.   30%  Palladium (untuk meningkatkan titik leleh dan menurunkan koefisien temperatur pemuaian)
3.      10%     Silver
4.      10%     Indium dan Tin (untuk pengikat porcelain)
C.     Silver-palladium Alloy
Komposisi silver-palladium alloys adalah:
1.      60%     Palladium
2.      30%     Silver
3.      10%     Indium dan/atau tin
D.    Nickel-chromium Alloys
Komposisi nickel-chromium Alloys adalah
1.      70-80%  Nikel
2.  10-25%  Chromium (dengan sedikit tambahan seperti molyndenum, tungsen, dan beryllium.)

III.             Mekanisme Ikatan Porcelain Fused to Metal
Porcelain fused to metal merupakan salah satu bentuk dental maerial yang menggabungkan 2 materi yang berbeda. Kedua materi yang berbeda ini harus mempunyai suatu ikatan agar crown atau bridge bisa menyatu ke gigi dengan baik. Apabila tidak ada ikatan antara kedua material ini maka alat akan cepat rusak dan rapuh (Sukma, dkk., 2012).
Ikatan pertama yang membuat porcelain fused metal ini kuat adalah ikatan kima pada permukaan logam dan porcelain. Pada base metal melalui chromaric oxide sedangkan pada nobel metal melalui tin oxide dan iridium oxide terdapat pelekat berupa oksida yang penting agar kedua bahan tersebut dapat melekat dengan baik. Selain itu ada juga penguncian mekanis karena terdapat modul-modul pada permukaan porselin dan metal. logam dan keramik ini harus mempunyai tingkat koefisien ekspansi termal yang berbeda. Apabila kedua bahan ini kontrak pada tingkat yang berbeda selama pendinginan maka akan menyebabkan porcelain fused to metal ini kuat dan tidak menyebabkan kegagalan langsung (Sukma, dkk., 2012).

IV.             Sifat Porcelain Fused to Metal
Sifat dari porcelain fused to metal ini bisa dibilang kuat karena terdapat bahan campuran yang berupa logam. Tidak seperti pada crown atau bridge dengan all porcelain atau GIC (Glass Ionomer Cement) yang bersifat rapuh, porcelain fused to metal ini merupakan bahan yang kuat dan juga terlihat aesthetic karena lapisan jaketnya (Mc Cace dan Wills, 2008).

Ikatan keduanya yang kuat ini juga memunculkan sifat porcelain fused to metal yang bisa bertahan terhadap fraktur dan deformasi. Selain itu, karena harus berada pada salah satu organ kita, maka sifat porcelain fused to metal ini harus biokompatibel sehingga tidak menyebabkan infeksi dan menambah suatu penyakit baru (Mc Cabe dan Wills, 2008).

V.                Keuntungan dan Kelemahan Dibdaningkan Dengan All porcelain
A.    Keuntungan:
1.      Mempunyai kekuatan yang baik karena diberi base alloys, namun walaupun diberi base alloys porcelain fused to metal ini tetap bisa terlihat aesthetic karena diberi lapisan porcelain sehingga warna logam tersamarkan (Sinabutar, 2008; Anusavice, 2013).
2.      Memiliki modulus elastisitas yang kuat sehingga bisa bertahan saat proses firing (Mc Cabe dan Wills, 2008).
B.     Kekurangan:
1.      Ada beberapa alloys yang mempunyai harga sangat mahal karena mengdanung emas, berbeda dengan all porcelain yang tidak menggunakan bahan logam (Venkatachalam, dkk., 2009).
2.      Ada yang tidak bisa beradaptasi dengan sistem keramik yang merupakan pelapisnyaa (Venkatachalam, dkk., 2009).
3.      Harus dicarving menggunakan tangan manual, tidak seperti all porcelain ceramics yang bisa menggunakan sistem computer-aided design/computer-aided manufacturing (CAD/CAM) (Matinlinna, 2015).
4.      Pasien yang memiliki alergi terhadap suatu logam bisa mengalami gingivitis maupun periodontitis karena terpapar oleh logam pada alloys (Horas dan Machmud, 2014).

VI.             Pemanfaatan Porcelain Fused to Metal
Porcelain fused to metal biasanya dimanfaatkan sebagai crown untuk mengganti gigi yang sudah hilang. Pada penggantiannya dibutuhkan kira-kira 1.5 mm ketebalannya untuk coping logam (0.3-0.5mm) dan veneer porcelain (1.0 mm). Terkadang memang terjadi dimana gigi yang ingin di preparasi terlalu besar sehingga crown tidak cukup untuk masuk melapisi gigi. Pada saat hal ini terjadi, kita tidak boleh begitu saja mengurangi dari ketebalan crown itu sendiri, kita diharuskan untuk mengurangi jaringan yang ada di gigi tersebut. Hal ini disebabkan apabila kita mengurangi ketebalan veneer porcelainnya maka pada crown tersebut akan terlihat bayangan-bayangan dari logam sehingga mengurangi aesthetic dari crown itu sendiri dan apabila kita mengutangi coping logam dari crown tersebut bisa mengurangi tingkat kekuatan dari crown itu sendiri. (Mc Cabe dan Wills, 2008).
Selain digunakan sebagai crown, perawatan dengan menggunakan metode bridge juga bisa menggunakan material ini. Cara penggunaannya hampir sma dengan pembuatan crown, namun berbeda prinsip karena pembatan bridge dan crown berbeda pada dasarnya (Zarone, dkk., 2011).
Semakin berjalannya waktu penggunaan porcelain fused to metal ini sudah mulai ditinggalkan. Hal ini dikarenakan oleh proses pembuatannya yang harus menggunakan banyak sekali langkah-langkah perbaikan dan siklus pendaulatan, selain itu juga perlu teknik restorasi yang sangat sensitif untuk membuat kualitas final dalam pembuatannya. Hal ini ditambah lagi oleh penggunaan porcelain yang diharuskan lapisannya harus sesuai agar logam tidak transparan dan terlihat aesthetic. Lagi-lagi ini juga sudah mulai ditinggalkan karena harga logam yang semakin lama semakin mahal (Zarone, dkk., 2011).
                                                                                                               
DAFTAR PUSTAKA

Anusavice, K.J., Shen, C., dan Rawls, H.R., 2013, Phillps' Science of Dental Materials, Elsevier Science, Missouri.
Fahmy, A. M., 2012, Comparison of marginal fit beeween collarless metal ceramic and two all ceramic restortions, Journal of American Science, 8(6): 528-534.
Horas, B., dan Machmud, E., 2014, Pengaruh korosi bahan restorasi porcelain fused to metal terhadap terjadinya gingivitis, Makasar Dental Journal, 3(6):1-5.
Matinlinna, J.P., 2015, Handbook of Oral Biomaterials, Taylor and Francis Group, United State.
Mc Cabe, J.F. dan Wills, A.W.G., 2008, Applied Dental Materials, Blackwell Publishing Ltd, Carlton.
Sinabutar, E. R., 2008, Perbedaan marginal gap cavosurface margin berbentuk shoulder danchamfer overlay porcelain fused to metal dengan coping collarless pada gigi pasca edodonti (penelitian in vitro), Skripsi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara Medan
Sukma, D. A. D., Aziza, K. R., Prismasari, S., Yulyana, Y., Amalia, R., Alpiyana, E., 2012, Alloy: Porcelain Fused to Metal, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Venkatachalam, B., Goldstein, G. R., Pines, M.S., dan Hittelman, E.L., 2009, Ceramic pressed to metal versus feldphatic porcelain fused to metal: a comparative study of bond strength, The International Journal of Prosthodontics, 22(1): 94-100.
Zarone F, Russo S, dan Sorrentino R. 2011. From porcelain-fused-to-metal to zirconia: Clinical and experimental considerations. Dental Materials. 27: 83-96.


Sunday, August 19, 2018

Epidemiologi Filariasis


A.      Pengertian Istilah-Istilah
1.      Filariasis
Filariasis merupakan penyakit yang merusak limfe yang disebabkan oleh cacing filariasis yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening yang menyebabkan pembengkakan pada tangan, kaki, glandula mammae dan scrotum. (Amelia, 2014).
2.      Surveilance
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2014 surveilans kesehatan adalah kegiatan pengamatan, pengumpulan, pengolahan, analisis, interpretasi yang sistematis dan terus menerus tentang masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi peningkatan dan penularan penyakit untuk memperoleh informasi guna mengarahkan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien.
3.      Mikrofilaria
Mikrofilaria adalah larva yang menyerang penyakit filariasis yang hidup di dalam aliran darah dan saluran limfe (Lobo, dkk. 2014).
4.      Penyakit menular
Penyakit menular adalah penyakit yang dapat ditularkan melalui berbagai media (Widoyono, 2011).
5.      Angka Insidensi
Menurut Trihono dan Gitawati (2009) angka insidensi adalah jumlah penderita baru suatu penyakit dibandingkan dengan jumlah penduduk di daerah tersebut. Rumus dari angka insidensi adalah

6.      Angka Prevalensi
Menurut Trihono dan Gitawati (2009) prevalensi adalah jumlah dari kasus atau kejadian pada populasi tertentu pada suatu titik tertentu. Rumus dari angka prevalensi adalah

7.      Mikrofilaria rate
Mikrofilaria rate adalah perbandingan antara angka populasi yang darahnya positif terkena filariasis dan total populasi yang di uji (Landi, dkk. 2011).
8.      Pemeriksaan Darah Tepi
Pemeriksaan darah tepi merupakan pengambilan darah dari ujung jari tangan seseorang yang diletakkan pada kaca benda (slide) dan digunakan untuk mengidentifikasi ada tidaknya mikrofilaria (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2014).
9.      Filariasis Kronis
Filariasis Kronis adalah kondisi dimana penyakit ini sudah menyebabkan gejala yang biasanya berupa limfedema, lymph scrotum, kiluri, dan  hidrokel (Anindita dan Mutiara, 2016).
10.  Sehat
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009, orang bisa dikatakan sehat apabila, mereka sehat baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang memungkinkan orang tersebut hidup produktif secara ekonomi dan sosial.
11.  Gejala klinis
Gejala klinis adalah gejala  atau keluhan yang dirasakan oleh penderita suatu penyakit dan biasanya dapat dinilai secara objektif (Anindita dan Mutiara, 2016).
12.  Endemis
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Yahya dan Santoso, 2013) endemis merupakan penetapan suatu penyakit di suatu daerah dimana hanya kalangan orang-orang tertentu saja yang terkena penyakit tersebut.
13.  Kejadian Luar Biasa (KLB)
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991, Kejadian Luar Biasa adalah timbulnya atau peningkatan suatu penyakit di suatu daerah dalam kurum waktu tertentu dan menjurus pada terjadinya wabah.
14.  Epidemi atau Wabah
Menurut Undang Undang Nomor 4 Tahun 1984, wabah merupakan suatu kejadian berjangkitnya suatu penyakit yang jumlah penderitanya melebihi dari keadaan yang biasa ada dalam waktu dan daerah tertentu yang mengakibatkan malapetaka.
15.  Pandemi
Pandemi merupakan suatu wabah yang wilayahnya sangat luas yaitu dari suatu benua ke benua lainnya atau negara satu dan negara lainnya (Sedyaningsih dan Setiawaty, 2009).
16.  Holoendemi
Holoendemi adalah penyakit yang umumnya ada dalam populasi besar yang gejalanya ada dari saat anak-anak, dan insidensnya berkurang pada usia dewasa (Niass, dkk., 2017)

B.       Pembahasan
1.        Sejarah Penyakit Filariasis
Pengetahuan mengenai filariasis sudah ada pada akhir abad ke 19. Pada awalnya ditemukan mikrofilaria dalam cairan hidrokel Jean-Nicholas Demaequay di Paris tahun 1863 (Saputri, 2007). Filariasis mulai dikenal di Indonesia tahun 1889 disaat Haga dan Van Eecke menemukan kasus pembesaran scrotum di daerah Jakarta (Ramadhani, 2007).
2.        Penyebab Penyakit Filariasis
Penyebab dari penyakit filariasis ini sendiri dibagi menjadi 3 yaitu:
a.       Host
Host dari penyakit filariasis menurut Masrizal (2013) ada 3 yaitu:
1)      Host Definitif
Host definitif disini adalah manusia yang mengandung parasit yang menjadi sumber infeksi bagi orang lain. Dalam kasus ini biasanya pendatang baru di suatu daerah endemis filariasis lebih rentan terkena infeksi dari pada penduduk aslinya.
2)      Host Perantara
Host perantara ini lebih sering kita sebut sebagai vektor. Dalam kasus filariasis ini vektornya yang menularkan adalah bermacam spesies nyamuk. Biasanya spesies yang ditemukan adalah Mansonia sp., Anopheles sp., Culex sp., dan Armigeres sp.
3)      Host Reservoir
Cacing tipe Brugia malayi dapat hidup di dalam hewan seperti kucing, kera, dan lutung yang merupakan sumber infeksi untuk manusia.
b.      Agent
Agent dari filariasis ini disebabkan oleh berbagai macam cacing filaria. Di Indonesia ini sendiri ada 3 spesies yang paling sering ditemukan yaitu Brugia malayi, Brugia timori, dan Wuchereria bancrofti.
c.       Environment
Faktor lingkungan yang menjadi penyebab terjadinya filariasis dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan dalam rumah dan luar rumah. Faktor lingkungan dalam rumah adalah keadaan rumah yang lembab dan pencahayaan kurang. Faktor lingkungan luar rumah adalah daerah rawa, sungai, semak-semak, serta kandang binatang reservoir (Juriastuti, dkk., 2010).
3.        Gejala penyakit filariasis
Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Gejala akut biasanya berupa limfadenitis, limfangitis,dan adenolimfangitis yang disertai demam, sakit kepala, lemah, dan terjadi abses. Gejala kronis biasanya berupa limfedema, lymph scrotum, kiluri dan hidrokel yang biasanya disini terlihat berupa pembesaran pada kaki, lengan, payudara, dan alat kelamin (Anindita dan Mutiara, 2016).
4.        Organ yang Terserang oleh Penyakit Filariasis
Organ yang terserang oleh penyakit filariasis ini pada awalnya adalah saluran getah bening dan pembuluh darah. Aktifitas yang dilakukan oleh mikrofilaria yang menyebabkan penimbunan cairan limfe sehingga pengangkutan  bakteri dari kulit dan jaringan terganggu dan menyebabkan infeksi. Infeksi bakteri berulang akan mengakibatkan rusaknya sistem limfatik yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe dari kulit dan jaringan ke kelenjar limfe sehingga terjadi penebalan dan pengerasan kulit, hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan peningkatan pembentukan jaringan ikat sehingga terjadi pembengkakan yang menetap (Masrizal, 2013).
5.        Penularan Penyakit Filariasis
Penularan penyakit filariasis terjadi apabila ada host, agent, dan environment. Seseorang bisa tertular penyakit filariasis apabila orang tersebut digigit oleh nyamuk yang mengandung mikrofilaria (larva L3 atau stadium 3). Kemudian pada periode tertentu seseorang baru bisa terinfeksi filariasis apabila mikrofilaria tersebut berkembang biak di dalam darah manusia dalam fase waktu tertentu dan mikrofilaria tersebut berubah menjadi cacing dewasa dan menyebabkan terjadinya pembengkakan akibat dari aktifitas cacing tersebut (Masrizal, 2013).
6.        Pencegahan, Penanganan, dan Perawatan Penyakit Filariasis
a.       Individu
Penanganan individu bisa dilakukan sebelum kita terkena penyakit filariasis dengan cara membiasakan memakai kelambu saat tidur, menggunakan baju dan celana panjang bila berada di luar rumah, memakai kasa ventilasi agar terhindar dari nyamuk pembawa mikrofilaria. Selain itu dengan membersihkan air yang tergenang, sering melakukan pembersihan di rumah maupun lingkungan sekitar (Uloli, dkk., 2008).
b.      Pemerintah
1)      Preventif
Pencegahan yang bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri adalah pemberian penyuluhan pada masyarakat, mengidentifikasi cektor dengan mendeteksi adanya larva infektif dalam nyamuk, pengendalian vektor jangka panjang, dan pengobatan preventif dengan diethulcarbamazine citrate (DEC) (Masrizal, 2013).
2)      Kuratif
Pengobatan yang bisa dilakukan apabila manusia terkena filariasis adalah dengan menggunakan obat DEC yang bersifat membunuh mikrofilaria dan juga cacing dewasa yang diminum 6mg/kg berat badan selama 12 hari untuk filaria bancrofti lalu 5mg/kg berat badan selama 10 hari untuk filaria brugia. Obat lain yang juga bisa mengobati yaitu ivermektin yang mempunyai efek samping lebih ringan daripada DEC (Masrizal, 2013).
7.        Dampak dan Akibat dari Penyakit Filariasis
Dampak atau akibat yang disebabkan oleh filariasis ini sangatlah besar. Penyakit ini bersifat kronis dapat menimbulkan kecacatan yang menetap seumur hidup berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin. Selain itu dampak psikologis bagi penderita dan keluarga penderita akan menyebabkan kurangnya kepercayaan diri. Hal ini menyebabkan penderita filariasis ini tidak dapat berkerja secara optimal dan hidupnya bergantung pada keluarga, masyarakat, dan negara (Kementrian Kesehatan, 2015).
8.        Presentase Angka Insidensi dan Prevalensi
a.       Insidensi

b.      Prevalensi

C.       Mind Mapping       




DAFTAR PUSTAKA

Amelia, R., 2014, Analisis faktor risiko kejadian penyakit filariasis, Unnes Journal Of Public Health, 3(1): 1-12.
Anindita, H. dan Mutiara, 2016, Filariasis: pencegahan terkait faktor resiko, Majority Journal, 5(3):11-16.
Juriastuti, P., Katika, M., Djaja, I.M., dan Susanna, D., 2010, Faktor risiko kejadian fiariasis di kelurahan jati sampurna, Makara Kesehatan, 14(1):31-36.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015, InfoDatin Pusat Data dan Informasi, Jakarta.
Landi, S., Satoto, T. B. T., dan Soeyoko, 2011, Filariasis malayi in pondok village, west umbu ratinggay, central sumba regency, TMJ, 2(2):172-179.
Lobo, L. T., Chadijah, S., dan Tasidjawa, Y. N., 2014, Gambaran kadar hemoglobin pada penderita filariasis di desa polewali, kecamatan bambalamotu, kabupaten mamuju utara, sulawesi barat, Jurnal Vektor Penyakit, 8(2):61-66.
Masrizal, 2013, Penyakit filariasis, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(1):32-38.
Niass, O., Pierre, P. S., Niang, M., Diop, F., Diouf, B., Faye, M. M., Sarr, F. D., dkk., 2017, Modelling dynamic change of malaria  transmission in holoendemic setting (dielmo,  senegal) using longitudinal measures  of antibody prevalence to  plasmodium  falciparum  crude schizonts extract, Malaria Journal, 16(409):1-12.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2014 Tentang Penanggulangan Filariasis.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 Tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular.
Ramadhani, T., 2007, Mengenal parasit filaria, Balaba, 2(1):21-22.
Saputri, D., 2007, Filariasis limfatik, Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 7(1):49-62.
Sedyaningsih, E., R. dan Setiawaty, V., 2009, Awal pandemi influenza a(h1n1) 2009: sebuah tinjauan, Jurnal Penyakit Menular Indonesia, 1(1), 29-41.
Trihono dan Gitawati, R., 2009, Hubungan antara penyakit menular dengan kemiskinan di indonesia, Jurnal Penyakit Menular Indonesia, 1(1):38-42.
Uloli, R., Soeyoko, dan Sumarni, 2008, Analisis faktor-faktor risiko kejadian filariasis, Berita Kedokteran Masyarakat, 24(1):44-50.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Widoyono, 2011, Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasannya), Erlangga, Jakarta.
Yahya dan Santoso, 2013, Studi endemisitas filariasis di wilayah kecamatan pemayung, kabupaten batanghari pasca pengobatan massal tahap iii, Bulan Penelitian Kesehatan, 41(1):18-23.

Health Management

Health Management 1.       Kewajiban-kewajiban pemerintah dalam Undang-Undang Kesehatan Pada Undang Undang Republik Indonesia Nomor ...