Sunday, January 6, 2019

Tindakan Malpraktik dan Sengketa Medik


I.         Aturan Tentang Batasan Dokter Boleh Mengiklankan Diri
Seorang dokter tidak diperkenankan untuk mengiklankan dirinya dan kehebatannya dalam menyembuhkan pasien. Seorang dokter harus sadar dimana semua kemampuan baik pengetahuan dan ketrampilan profesi yang ia miliki adalah karena karunia dan kemurahan dari Tuhan Yang Maha Esa saja (Pelafu, 2015).
Batasan pengiklanan diri dari dokter diatur dalam kode etik kedokteran indonesia pasal 4 yang berbunyi “Setiap dokter harus menghindari diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri” dalam pasal ini dijelaskan bahwa ridak boleh mengiklankan kemampuannya, atau kelebihan-kelebihan yang dimilikinya baik lisan maupun dalam tulisan (Pelafu, 2015).
Selain pada kode etik kedokteran indonesia, aturan tentang pengiklanan diri ada pada pasal 3 yang berbunyi “Dalam menjalankan profesinya Dokter Gigi di Indonesia tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan untuk mencari keuntungan pribadi” dimana pada ayat 1 disebutkan juga bahwa jelasnya “Dokter Gigi di Indonesia dilarang melakukan promosi dalam bentuk apapun seperti memuji diri, mengiklankan alat dan bahan apapun, memberi iming-iming baik langsung maupun tidak langsung dan lain – lain, dengan tujuan agar pasien datang berobat kepadanya.” (Pokja Rancangan Kode Etik Kedokteran Gigi, 2014). 

II.      Definisi Malpraktik
Malpraktek adalah kegagalan seorang profesional untuk melakukan praktik sesuai dengan standar profesi yang berlaku bagi seseorang yang karena memiliki ketrampilan dan pendidikan, yang tidak boleh dilakukan oleh teaga kesehtan. Malpraktik bisa juga diartikan tidak melakukan apa yang harus dilakukan atau lalai dalam kewajibannya dan/atau melanggar suatu ketentuan berdasarkan peraturan perundang-undangan (Ake, 2002).
Menurut Azwar (1996 dalam Heryanto, 2010) malpraktik adalah kesalahan profesional oleh dokter yang dikarenakan saat melakukan pekerjaan profesionalnya tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau dikalukan oleh dokter pada umumnya dalam situasi dan kondisi yang sama. Azwar (1996 dalam Heryanto, 2010) juga menyebutkan bahwa malpraktik adalah kesalahan yang diperbuat oleh dokter, oleh karena melakukan pekerjaan kedokteran di bawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal, dapat dilakukan oleh setiap dokter dalam situasi atau tempat yang sama. (1996 dalam Heryanto, 2010) juga menegaskan malpraktik yang ketiga adalah setiap kesalahan profesional diperbuat oleh seorang dokter, yang di dalamnya termasuk kesalahan karena perbuatan yang tidak masuk akal karena keterampilan yang kurang dalam menyelenggarakan kewajiban atau keprofesionalan yang dimilikinya.
Dalam hukum Indonesia tidak dikenal adanya istilah malpraktik, baik dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan maupun dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Pada undang-undang tersebut malpraktik disebut sebagai kesalahan atau kelalaian dokter pada pasal 54 dan 55 Undang-undang No. 23 Tahun 1992, sedangkan disebutkan sebagai pelanggaran disiplin dokter pasal 84 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 (Heryanto, 2010).

III.   Macam-Macam Malpraktik
Malpraktik bisa dibagi menjadi 2 bentuk jika ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum yaitu (Isfandyarie, 2005):
A.      Malpraktek Etik (Ethical Malpractice)
Malpraktik etik adalah dimana saat seorang tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan etika profesinya. Etika yang dituangkan dalam kode etik merupakan standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku bagi tenaga kesehatan dalam kode etik dan bidangnya masing-masing.
B.       Malpraktik Yuridis (Yuridical Malpractice)
Malpraktik yuridis bisa dibedakan menjadi 3 bentuk, yaitu:
1.      Malpraktik Perdata (Civil Malpractice)
Malpraktik ini terjadi jika terdapat wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien. Pada malpraktik ini yang dijadikan ukuran adalah kelalaiannya yang ringan (culpa levis), namun apabila terjadi kelalaian berat (culpa lata) maka sudah termasuk ke malpraktik pidana. Contoh kasusnya adalah misal dokter meninggalkan sisa perban di dalam tubuh pasien, hal ini kesalahan masih dapat diperbaiki dengan adanya operasi kedua untuk mengambil perban sehingga tidka menimbulkan negatif yang berkepanjangan terhadap pasien.
2.      Malpraktik Pidana (Criminal Malpractice)
Malpraktik pidana terjadi apabila pasien meninggal atau mengalami kecacatan karena kekurang hati-hatian atau krang cermat dalam upaya perawatan, malpraktik pidana ada 3 bentuk, yaitu:
a.       Malpraktik pidana karena kesengajaan (intensional)
Malpraktik pidana karena kesengajaan terjadi misalnya tenaga medis yang tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat darurat padahal diketahui tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan yang tidak benar, selain itu melakukan aborsi tanpa tindakan medis juga termasuk dalam malpraktik ini
b.      Malpraktik pidana karena kecerobohan (recklessness)
Malpraktik pidana karena kecerobohan terjadi misalnya saat tenaga kesehtan melakukan tindakan tida sesuai dengan standar proefsi arau melakukn tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
c.       Malpraktik pidana karena kealpaan (negligence)
Malpraktik pidana karena kealpaan terjadi misalnya apabila terjadi kecacaran atau kematian pada pasien akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-hati.
3.      Malpraktik Administratif (Administrative Malpractice)
Malpraktik administratif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktik bidan tanpa lisensi atau izin praktik atau sudah kadaluarsa. Selain itu menjalankan praktik tanpa membuat catatan medik juga termasuk dalam malpraktik ini.

IV.   Peran PDGI, MKEK dan MKDKI dalam Penyelesaian Sengketa Medik
Penyelesaian sengketa medik bisa diselesaikan dengan berbagai cara. Peran Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) sebagai organisasi profesi dalam menyikapi anggotanya yang tersangkut dalam sengketa medis harus bijaksana. Dalam menyikapi anggotanya PDGI dapat membentuk Badan Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BPPA) berdasarkan pasal 7 ADRT tahun 2008. BPPA mempunyai tugas dan wewenangnya antara lain melaksanakan tugas pembelaan dan pembinaan pelaksanaan etik kedokteran gigi, disiplin dan hukum, memberi pertimbangan atau usul kepada yang berwenang atas pelanggaran etika, disiplin dan hukum, mengadakan konsultasi timbal balik dengan instansi terjait sehubungan dengna pembelaan dan pembinaan anggota (Budi, 2010).
PDGI memang telah menyiapkan BPPA untuk kepentingan membela anggotanya, namun apabila dokter gigi tersebut melanggal peraturan dan perundangan yang berlaku maka tidak akan dilindungi. Seorang dokter gigi akan dilindungi oleh BPPA apabila dituduh melanggar hukum dimana dokter gigi dalam melaksanakan tugas profesinya dilakukan sesuai dengan kode etik kedokteran gigi, lafal sumpah dokterm standar profesi, peraturan dan perundangan bagi tenaga kesehatan berlaku. Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung no. B 006/R-31/I/1982 tanggal 19 Oktober 1982 Tentang Perkara Profesi Kesehatan, bahwa tenaga kesehatan tidak meneruskan perkara sebelum konsultasi dengan pejabat Dinas Kesehatan atau Departemen Keseharan Republik Indonesia (Budi, 2010).
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) mempunyai peran dalam penyelesaian sengketa medik, MKEK mempunyai wewenangan untuk menyidangkan dokter apabila melanggar etika, selain itu MKEK juga dapat menyidangkan dokter yang melanggar disiplin profesi dokter di wilayah yang belum terdapat Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Apabila seorang dokter diduga melakukan sengketa medik yang berupa pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka dokter tersebut akan dipanggil dan disidang oleh MKEK untuk diintai pertanggung jawaban (etik dan disiplin profesi) nya (IDI, 2012; Sukohar dan Carolia, 2016).
Peran MKEK hanya melakukan persidangan disiplin profesi, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Putusan MKEK tidak ditunjukan untuk kepentingan peradilan, jadi tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di peradilan keuai atas perintah pengadilan sebagai permintaan keterangan ahli. Eksekusi putusan MKEK wilayah dilaksanakan oleh pengurus IDI wilayah yang bersangkutan (Sukohar dan Carolia, 2016).
MKDKI juga mempunyai peran dalam penyelesaian sengketa medik. MKDKI mempunyai tugas untuk menegakkan aturan-aturan dan ketentuan penerapan keilmuan kedokteran dalam pelaksanaan pelayanan medis yang seharusnya diikuti oleh dokter dan dokter gigi. Oleh karenanya MKDKI merupakan badan yang menagani kasus-kasus dugaan pelanggaran disiplin kedokteran atau kedokteran gigi dan menetapkan sangsi (Guwandi, 2009; Budi, 2010).
MKDKI menangani perkara sengketa medik berdasarkan Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia No. 17/KKI/KEP/VIII/2006 Tentang Penegakaan Disiplin Profesi Kedoktern. Pelanggaran disiplin dapat dikelompokkan menjadi 3 hal yaitu, melaksanakan praktik kedokteran yang tidak kompeten, tugas dan tanggung jawab profesional pada pasien tidak dilaksanakan dengan baik, berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi kedokteran (Nusye, 2009; Budi, 2010).

V.      Prosedur Penyelesaian Tindakan Malpraktik dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Medik
Penyelesaian tindakan malpraktik dan sengketa medik bisa dibilang dapat dilakukan dengan cara yang sama. Sengketa medik sendiri bisa dibilang sebagai malpraktik medik karena malpraktik sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh dokter saja namun juga dilakukan oleh profesional-profesionalnya pada profesinya masing-masing (Putra, 2012).
Penyelesaian tindakan malpraktik dan sengketa medik bisa dilakukan dengan berbagai cara yaitu:
A.      Mediasi
Mediasi adalah hal yang biasa dilakukan dalam suatu persoalan kehidupan. Ini merupakan proses bernegosiasi dengan melibatkan pihak diluar yang bersengketa untuk membantu kedua belah pihak mendapatkan keputusan. Pihak ketiga biasanya dipilih karena kehendak sendiri, ditunjuk oleh penguasa, atau diminta oleh kedua belah pihak (Fuady, 2000). Keuntungan menggunakan jalan ini adalah menghasilkan kesepakatan win-win solution sehingga para pihak secara bebas menentukan kesepakatan dan tetap mempunyai hubungan baik antar pihak yang bersegketa (Putra, 2012).
B.       Lembaga Profesi
Dikarenakan zaman yang sudah berkembang, dan masyarakat yang berkembang dugaan malpraktik semakin marak terjadi. Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai lembaga yang bernama MKDKI yang bisa mengkaji kejadian malpraktik dan sengketa medik. MKDKI bertugas mengkaji apakah dugaan malpraktik yang dilakukan oleh seorang dokter tersebut benar adanya. MKDKI akan mencari tau apakah kerugian yang dialami pasien dikarenakan oleh kelalaian atau risiko tindakan medik. Apabila disebabkan oleh kelalaian maka pasien berhak mendapatkan ganti rugi, sedangkan apabila disebabkan oleh risiko tindakan medik maka tidak akan mendapatkan ganti rugi. MKDKI bisa menjalankan tugasnya apabila ada pengaduan, apabila pengaduan diterima maka akan disidangkan dan apabila melanggar disiplin ada beberapa rekomendasi sanksi yaitu peringatan tertulis atau pencabutan STR sementara atau tetap (Seran dan Setyowati, 2010).
C.       Peradilan
Apabila lembaga profesi menduga kasus malpraktik yang diadukan oleh masyarakat didapati melanggar hukum MKDKI akan menganjurkan supaya bisa dibawa ke pengadilan untuk diperiksa, karena Undang-Undang Praktik Kedokteran hanya fokus pada disiplin kedokteran saja, dan gugatan pidana atau perdata diserahkan kepada peradilan umum dengan memakai saksi ahli apabila diperlukan. Di peradilan, dokter akan disidang sesuai dengan pasal-pasal dalam KUHP atau KUHPer sesuai dengan kesalahan yang dilakukan oleh dokter tersebut. Selanjutnya apabila dokter terbukti bersalah makan akan dihukum sesuai dengan tindakannya dan apabila tidak dihukum akan dibebaskan dan dibersihkan nama baiknya (Yunanto dan Helmi, 2010).



Daftar Pustaka


Ake, J., 2002, Malpraktik dalam Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Azwar, A., 1996, Kriteria Malpraktik dalam Profesi Kesehatan, Makalah Kongres Nasional IV PERHUKI, Surabaya.

Budi, A., T., 2010, Upaya bantuan hukum dokter gigi dalam menghadapi sengketa medis, Jurnal PDGI, 59(1): 1-7.

Fuady, M., 2000, Abritase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Guwandi, J., 2009, Pengantar Ilmu Hukum Medik dan Bioetika, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Heryanto, B., 2010, Malpraktik dokter dalam perspektif hukum, Jurnal Dinamika Hukum, 10(2): 183-191.

Ikatan Dokter Indonesia, Kode Etik Kedokteran Indonesia, IDI, Jakarta.

Isfandyarie, A., 2005, Malpraktek dan Resiko Medik, Prestasi Pustaka, Jakarta.

Nusye, K. J., 2009, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktik, Pustaka Yustisia, Yogyakarta.

PB PDGI, 2008, Anggaran Dasar Rumah Tangga, Konggres PDGI XXIII, Surabaya.

Pelafu, J., 2015, Pelaksanaan penegakan kode etik kedokteran, Jurnal Lex Crimen, 4(3): 43-49.

Pokja Rancangan Kode Etik Kedokteran Gigi, 2014, Lafal Sumpah Dokter Gigi Dan Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia, Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Jakarta.

Putra, R. K., 2012, Peran ikatan dokter indonesia dalam penyelesaian kasus sengketa medik di polda diy, Skripsi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Seran, M., dan Setyowati, A. M. W., 2010, Dilema Etik dan Hukum dalam Pelayanan Medis, Mandar Maju, Bandung.

Sukohar, A., dan Carolia, N., Peraan majelis kehormatan etik kedokteran indonesia, Jurnal Kedokteran Unila, 1(2): 363-368.

Yunanto, A., dan Helmi, 2010, Hukum Pidana Malapraktik Medik Tinjauan dan Prespektif Medikolegal, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Hubungan Antara Dokter dan Pasien

I.               Transaksi Terapetik Dokter dan Pasien
Transaksi terapetik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatan dipusatkan untuk kebutuhan pasien (Uripni, dkk., 2002). Transaksi ini juga merupakan perjanjian berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedia belah pihak, perjanjian ini memiliki objek dan sifat yang khusus (Nasution, 2005).
Transaksi ini dilakukan dengan suasana saling percaya mempercayai (konfidential), dimana bentuk perjanjiannya yaitu penjanjian melakukan usaha (perikatan usaa) untuk menyembuhkan pasiennya, bukan perjanjian hasil (memperjanjikan kesembuhan) (Octovian dan Sitohang, 2017). Transaksi ini bukan hanya berlaku untuk dokter dan pasien saja namun juga tenaga medis yang lainnya. Transaksi ini dilakukan karena masyarakat menggantungkan harapan hidup dan/atau kesembuhan pasien kepada tenaga medis (Yunanto, 2011).

II.            Informed Concent
Informed concent adalah surat pernyataan persetujuan yang disetujui pasien atau orang tuanya untuk setiap tindakan perawatan yang mengandung risiko (Sariningsih, 2006). Informed consent diatur dalam pasal 45 Undang-undang no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Di dalam pasal pasal peraturan tersebut menyatakan setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) juga bisa menjadi dasar hukum dari informed concent dimana walaupun tidak menyebutkan kataa-kata ini secara langsung. Di dalam KUHPer ini dijelasskan bahwa suatu perajanjian tidak diharuskan secara tertulis kecuali untuk perjanjian-perjanjian tertentu yang secara khusus disyaratkan adanya formalitas ataupun perbuatan (fisik) tertentu. Dijelaskan juga arti perjanjian pada pasal 1313 tentang harusnya melibatkan 2 orang ata lebih, lalu dipertehas dalam pasal 1320 KUHPer bahwa haruslah dibuat kata sepakat dari pihak tanpa adanya paksaan kekhilafan maupun penipuan (Octovian dan Sitohang, 2017).
Saat terjadi perjanjian antara dokter dan pasien dengan menggunakan informed concent perlu digarisbawahi yaitu persetujuan ini bisa diberikan apabila pasien sudah menerima penjelasan dari dokter. Pasien atau keluarga pasien harus mendapatkan informasi yang jelas mengenai tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter. Keharusan mendapat informasi yang jelas ini merupakan hal mutlak bagi pasien dan/atau keluarga pasien. (Mayasari, 2017). Sebagaimana yang sudah disebutkan juga pada Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 sekurang-kurangnya pasien mendapakan penjelasan yaitu (Wardhani, 2009):
A.      Diagnosis dan tata cara tindakan medis,
B.       Tujuan tindakan medis yang dilakukan,
C.       Alternatif tindakan lain dan risikonya,
D.      Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
E.       Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Informed concent atau persetujuan ini bisa dilakukan atau disetujui baik secara lisan maupun tertulis. Pada Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 290/Menkes/Per/III/2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran pasal 2 dan 3 disebutkan bahwa informed concent yang tertulis dilakukan pada tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi dan tindakan kedokteran yang tidak mengandung risiko tinggi bisa diberikan persetujuan secara lisan. Selain itu, dalam keadaan emergency informed concent tidak diperlukan dan menjadi tanggung jawab dari rumah sait dan dokter (Realita, 2016).
Informed concent yang tertulis wajib ditandatangani oleh pihak berwenang yaitu antara 2 pihak yang melaksanakan perjanjian. Pada Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 dijelaskan bahwa:
A.      Mereka yang ada dalam keadaan sadar dan sehat mental, telah berumur 21 tahun/telah melangsungkan perkawinan,
B.       Bagi mereka yang telah berusia lebih dari 21 tahun tapi di bawah pengampuan maka persetujuan diberikan oleh wali/pengampu
C.       Bagi mereka yang di bawah umur (belum 21 tahun & belum melangsungkan perkawinan) diberikan oleh orang tua/wali/ keluarga terdekat atau induk semang
D.      Bagi pasien yang dalam keadaan tidak sadar/pingsan & tidak didampingi oleh keluarga terdekat & secara medik memerlukan tindakan segera, tidak diperlukan persetujuan
E.       Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
F.        Yang bertanggungjawab atas pelaksanaan informasi & persetujuan adalah dokter, dalam hal dilaksanakan di RS/klinik, maka RS/klinik tersebut ikut bertanggungjawab.

III.         Hak dan Kewajiban Dokter dan Pasien
A.    HAK DAN KEWAJIBAN DOKTER
Hak dan Kewajiban Dokter ada pada Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 50 dan 51, berikut merupakan hak dan kewajiban dokter dan dokter gigi:
1.      Hak:
a.       Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai standar profesi dan standar operasional prosedur.
b.      Memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar operasional prosedur.
c.       Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya.
d.      Menerima imbalan jasa.
2.      Kewajiban:
a.       Memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar operasional prosedur serta kebutuhan medis.
b.      Apabila tidak tersedia alat kesehatan atau tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan/pengobatan, bisa merujuk pasien ke dokter/sarana kesehatan lain yang mempunyai kemampuan lebih baik.
c.       Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan setelah pasien itu meninggal dunia.
d.      Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang mampu melakukannya.
e.       Mengikuti perkembangan ilmu kedokteran.
B.       Hak dan Kewajiban Pasien
Hak dan Kewajiban Dokter ada pada Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 52 dan 53, berikut merupakan hak dan kewajiban pasien:
1.      Hak:
a.    Mendapatkan penjelasan lengkap tentang rencana tindakan medis yang akan dilakukan dokter.
b.    Bisa meminta pendapat dokter lain (second opinion).
c.    Mendapat pelayanan medis sesuai dengan kebutuhan.
d.   Bisa menolak tindakan medis yang akan dilakukan dokter bila ada keraguan.
e.    Bisa mendapat informasi rekam medis.
2.      Kewajiban:
a.    Memberikan informasi yang lengkap, jujur dan dipahami tentang masalah kesehatannya.
b.    Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter.
c.    Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan.
d.   Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
IV.        Perbedaan Inspaning Verbintenis dan Resultant Verbintenis
A.      Inspaning Verbintenis
Inspaning verbintenis merupakan perikatan berdasarkan usaha daya upaya aatau ikhtiar untuk mencapai suaru hasil. Pasien memberikan kepercayaan sepenuhnya pada dokter supaya dokter berupaya semaksimal mungkin untuk menyembuhkan pasien. Jadi pada perikatan ini dokter tidak menjamin dan menjanjikan bahwa pasien akan sembuh (Putra, 2001).
B.     Resultaats Verbintenis
Resultaats verbintenis merupakan perikatan berdasarkan prestasi atau hasil kerja, misal pada contoh untuk kasus dokter gigi adalah membuat gigi palsu, pada dokter ahli orthopedi membuat prothesa kaki, pada dokter ahli bedah kosmetik yang memperbaiki agar gidung mancung atau bentuk bagian tubuh lainnya (Putra, 2001).

V.            Analisis Skenario
A.      Skenario
-

B.     Analisis Berhubungan dengan Kontrak Terapetik, Hak dan Kewajiban Dokter
Pada skenario ini kontrak terapetik yang dilakukan keduanya adalah pertama-tama pada keinginan Wanda yang mempercayai drg. Ricky ini untuk menangani sakit yang dideritanya. Pada skenario ini drg. Ricky sudah memenuhi beberapa hal dan kewajibannya sebagai dokter gigi, hak yang sudah ia dapatkan adalah info lengkap dari pasien pada kasus ini dan ia juga sidah menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya seperti melayani Wanda sesuai dengan prosedur yang seharusnya dijalankan yaitu prosedur perawatan saluran akar dimana drg. Ricky juga sudah menjelaskan semua informasi yang berhak didapatkan oleh Wanda sebagai pasien. Tetapi ada juga hak yang bisa dibilang tidak terpenuhi yaitu menerima imbalan jasa, dalam kasus ini dijelaskan bahwa Wanda meminta diskon perawatan dan meminta cicilan pada proses pembayarannya. Apabila persetujuan dari masalah pembayaran ini dilaksanakan pada awal saat pembentukan informed concent maka hal ini tidak masalah karena sudah ada perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, namun disisi lain apabila hal ini belum disetujui oleh kedua belah pihak, hal ini bisa dibawa sampai ke ranah hukum. Pada kasus ini juga disebutkan bahwa ada tetangga dari pasien Wanda yang menyampaikan bahwa dokter memberikan garansi perawatan dengan hasil yang memuaskan dan perawatannya cepat. Hal ini apabila disebutkan oleh drg. Ricky sendiri maka hal ini sangat melanggar kode etik kedokteran karena seorang dokter tidak boleh menjanjikan kesembuhan pasien dari awal kontrak terapetik yang dilakukan juga karena ada beberapa risiko yang tidak bisa ditebak oleh seorang dokter itu sendiri yang dinamakan risiko medis yang juga akan dijelaskan pada awal informed consent. Disisi lain apabila tetangganya tersebut yang menyebutkan mengenai garansi perawatan drg. Ricky maka hal tersebut tidak dipermasalahkan karena masyarakat mempunyai pandangan sendiri dan bisa berpendapat sesuai dengan yang ia dapatkan. Namun pada skenario ini menurut saya drg. Ricky tidak mungkin mengatakan bahwa dia dapat memberikan garansi perawatan cepat karena buktinya pada saat Wanda meminta untuk melakukan perawatan yang dipersingkat menjadi satu hari drg. Ricky tidak menyanggupi dan mengatakan bahwa hanya berusaha merawat dengan semaksimal mungkin sesuai dengan inspaning verbitenis dari tenanga medis. Pada kasus ini juga disebutkan bahwa Wanda sebagai seorang artis ingin mengiklankan tempat praktek drg. Ricky di media sosial miliknya, hal ini tidak diperbolehkan karena juga melanggar kode etik kedokteran. Di media sosial perawatan hanya boleh di sebarluaskan untuk kepentingan edukasi saja dimana untuk membantu masyarakat mengerti akan hal yang terjadi pada kesehatan diri dia masing-masing.



Daftar Pustaka

 

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)

Mayasari, D. E., 2017, Tinjauan yuridis tentang informed consent sebagai hak pasien dan kewajiban dokter, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika, 13(2): 93-102.

Nasution, B. J., 2005, Hukum Kesehatan Pertanggungkan Dokter, Rineka Cipta, Surabaya.
Octovion, E. S., 2017, Kajian hukum mengenai persetujuan tindakan medis (informed consent) dalam pelayanan kesehatan ditinjau dari aspek hukum perjanjian, Jurnal Lex Crimen, 6(9): 50-57.

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran

Putra, S., 2001, Ispaningsverbintenis dan resultaatsverbintenis dalam transaksi terapeutik kaitannya dengan uu no. 8 tahun 1999 tentang perlindungan pasien, Jurnal Hukum, 8(18), 199-211.

Realita, F., Widanti, A., dan Wibowo, D. B., 2016, Implementasi persetujuan tindakan medis (informed consent) pada kegiatan bakti sosial kesehatan di rumah sakit islam sultan agung semarang, Jurnal Hukum Kesehatan, 2(1): 30-41.

Sariningsih, E., 2006, Teknik Mengeluarkan Gigi Fraktur Dengan Mudah Dan Cepat, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

Uripni, C. L., Sujianto, U., dan Indrawati, T., 2002, Komunikasi Kebidanan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Wardhani, R., K., 2009, Tinjauan yutidis persetujuan tindakan medis (infored concent) di rsup dr. kariadi semarang, Thesis, Universitas Diponegoro, Semarang.
Yunanto, 2011, Pertanggungjawaban dokter dalam transaksi terapeutik, Jurnal Law Reform, 6(1): 109-123.


Health Management

Health Management 1.       Kewajiban-kewajiban pemerintah dalam Undang-Undang Kesehatan Pada Undang Undang Republik Indonesia Nomor ...